1. Pengertian
Hadhonah
Hadhlonah berasal dari kata “Hidhan”,
artinya: lambung. Dan seperti kata: hadhonan
ath-thaairu baidhahu, artinya burung itu mengempit telur dibawah sayapnya.
Begitu pula ibu yang mengempit anaknya.
Para ahli fiqh mendefinisikan “hadhonah” ialah: melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar,
tetapi belum tamyiz tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya,
mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawabnya.[1]
2. Hukum Hadhonah
Mengasuh anak yang masih kecil hukummnya
wajib. Sebab mengabaikan berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada
bahaya kebinasaan. Dan ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhonah,
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍ
واَنَّ امْرَأَةً قَا لَتْ : يَا رَسُوْ لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اِنَّ ابْنِيْ هَذَا كَانَ بَطْنِيْ لَهُ وِعَاءٌ وَحِجْرِيْ لَهُ حِوَاءٌ ,
وَثَدْبِيْ لَهُ سِقَاءٌ , وَزَعَمَ اَبُوْهُ اَنَّهُ يَنْزِعُهُ مِنِّيْ ,
فَقَالَ : اَنْتِ اَحَقُّ بِهِ مَالَمْ تَنْكِحِيْ
(اخرجه احمد وابو داود والبيهق والحاكم وصححه)
“Dari Abdullah bin Amr, bahwa seseorang perempuan
bertanya: “ Ya Rosulullah, sesungguhnya bagi anak laki-lakiku ini perutkulah
yang menjadi bejananya, lambungku yang menjadi perlindunganya dan tetekku yang
menjadi minumanya.tetapi tiba-tiba ayahnya merasa berhak untuk mengambilnya
dariku.” Maka sabdanya : “engkau lebih berhak terhadapnya, selama engkau belum
kawin dengan orang lain.”
Jika
Hadhonah dapat ditangani orang lain, seumpama datuk peremuanya dan ia rela
melakukanya sedang ibunya sendiri tidak mau, maka hak ibu untuk mengasuh gugur
dengan sebab datuk perempan mengasuhnya. Kerena datuk perempuan juga punya hak
hadhonah.
3. Urut-Urutan
Orang yang Berhak dalam Hadhonah
Jika dalam hadhonah ibulah yang pertama
kali berhak atas hadhonah, maka dalam hal ini ahli fiqh kemudian memperhatikan
bahwa kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah. Dan urut-urutanya
adalah sebagai berikut:
Ibu, ibunya ibu sampai keatas, ayah,
saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah,
kemenakan perempuan sekandung, kemenakan perempuan seibu, saudara perempuan ibu
yang sekandung, saudara perempuan ibu yang seibu, saudara perempuan ibu yang
seayah, anak perempuan saudara laki-lakinya sekandung, anak perempuan saudara
laki-lakinya seibu, anak perempuan saudara laki-lakinya seayah, bibi dari ibu
yang sekandung, bibi dari ibu yang seibu, bibi dari ibu yang seayah., bibinya
ibu, bibinya ayah, bibinya ibu dari ayah ibu, bibinya ayah dari ayahnya ayah.
Jika anak yang masih kecil tersebut tak
punya kerabat diantara muhrim-muhrinya diatas, atau punya tetapi tidak pandai
melakukan hadhonah, maka berpindahlah tugas tersebut ketangan para ashobah yang
laki-laki dari muhrim-muhrimnya diatas sesuai dengan tertib dalam hukum waris.
Jika sudah tak ada satupun kerabatnya, maka pengadilan bertanggung jawab untuk
menetapkan siapakah orang yang patut menangani hadhonah ini.
4. Syarat-Syarat
Hadhonah
a. Berakal
sehat
b. Dewasa
c. Mampu
mendidik
d. Amanah
dan berbudi
e. Islam
f. Ibunya
g. Merdeka
5. Masa
hadhonah
Imam hanafi mengatakan bahwa: masa
asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan sembilan tahun untuk wanita.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada batasan tertentu bagi
asuhan, anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan
ataukah tinggal bersama ibu atau ayahnya.[2]
6. Upah
Hadhonah
Upah hadhonah seperti upah menyusui, ibu
tidak berhak atas upah hadhonah, selama ia masih menjadi isteri dari ayah anak
tersebut, atau selama masa iddahnya.
Menurut Syafi’i dan Hambali bahwa wanita
yang mengasuh berhak atas upah bagi pengasuhan yang diberikanya, baik ia
berstatus ibu sendiri maupun orang lain bagi anaka itu. Imam Syafi’i menegaskan
bahwa mankala anak yang diasuh itu mempunyai harta sendiri maka upah tersebut
diambilkan dari hartanya. Sedangkan bila tidak upah itu merupakan tanggung
jawab ayahnya atau orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada si anak.[3]
7. Berhentinya
Hadhonah
Hadhonah berhenti (habis) bila si anak
kecil tersebut sudah tidak lagi memerlukan pelayanan perempuan, telah dewasa
dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu untuk mengurus sendiri kebutuhan
pokoknya. Fatwa pada mazhab Hanafi dan lain-lainnya yaitu: “masa hadhonah
berakhir bilamana si anak telah berumur 7 tahun, kalau laki-laki; dan 9 tahun
kalau ia perempuan.[4]
[1]Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunah 8, (Bandung : PT. Al-Ma’arif), hlm.173
[2]Muhammad Jawad Mugniyah,
Fiqih Lima Mazhab Buku Kedua , (Jakarta: Basrie Pers, 1994), hlm. 136.
[3]Muhammad Jawad Mugniyah,
Fiqih Lima Mazhab buku kedua , (Jakarta: Basrie Pers, 1994)Hlm. 137
[4]Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunah 8.., hlm.174-187.
No comments:
Post a Comment