Oleh:
Akrom Khasani
Dipresentasikan dalam kuliah Ushul
Fiqh II
I.
PENDAHULUAN
Qa’idah fiqhiyyah merupakan kaedah-kaedah yang bersifat umum,
meliputi sejumlah masalah fiqh, dan melaluinya dapat diketahui sejumlah masalah
yang berada dalam cakupannya. Sebagai landasan aktivitas umat Islam sehari-hari
dalam memahami maksud-maksud ajaran Islam (maqasidusy syar’iyah) secara
lebih menyeluruh, keberadaan qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat
penting. Baik di mata para ahli ushul (ushuliyyun) maupun fuqaha,
pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan
suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam
permasalahan-permasalahan kehidupan manusia.[1]
Melihat betapa pentingnya qa’idah fiqhiyyah dalam kehidupan
manusia, yaitu untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diuturunkan
dari nash asalnya (al-Qur’an dan al-Hadits) kepada manusia. Maka dalam makalah
ini akan dibahas mengenai sejarah qa’idah fiqhiyyah, sumber-sumber qa’idah
fiqhiyyah, dan pembagian qa’idah fiqhiyyah.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana
Sejarah Qa’idah Fiqhiyyah?
B.
Apa Saja
Sumber-sumber Qa’idah Fiqhiyyah?
C.
Bagaimana
Pembagian Qa’idah Fiqhiyyah?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Qa’idah
Fiqhiyyah
Menurut Ali Ahmad al-Nadwi, secara garis besar ada tiga periode
penyusunan qawa’id fiqhiyyah; yaitu periode kelahiran,
pertumbuhan-pertumbuhan, dan penyempurnaan.[2]
Pada awalnya, cikal-bakal kemunculan qawa’id fiqhiyyah bersamaan dengan
hadirnya Rasulullah SAW melalui hadits-haditsnya yang menjelaskan dan merinci
ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Bahkan tak jarang beliau juga
menetapkan suatu hukum yang belum disebutkan ketentuannya secara eksplisit
dalam al-Qur’an. Rasulullah Muhammad SAW sebagai insan pilihan, pembawa risalah
Islam yang menyempurnakan ajaran-ajaran Nabi dan Rasul sebelumya, dikaruniai
kemampuan berbahasa yang singkat, padat, bermakna, mencakup, dan mudah untuk
dipahami (jawami’ al-kalim).[3]
Pada masa tabi’in
dan imam madzhab, gaya jawami’ al-kalim Nabi semakin banyak dicontoh dan
menginspirasi mereka untuk berlomba-lomba membuat kaedah yang dapat memudahkan
mereka dalam mengelompokkan masalah-masalah fiqh sehingga dapat cepat merespons
problematika kasus-kasus hukum yang semakin banyak bermunculan. Beberapa kaedah
yang muncul pada masa ini misalnya:
Perkataan Qadhi
Syuriah bin Haris al-Kindi:
من شرط على نفسه طا ئعا غير مكروح فهو عليه
“Siapa yang
harus menanggung pengelolaan harta, (maka) ia berhak mengambil keuntungan
tersebut.”
Perkataan
Khair bin Nu’man:
من أقر عند نا بشئ ألزمناه إياه
“Siapa yang
mengaku memiliki sesuatu, kami memberikan sesuatu itu padanya.”
Sedangkan
dikalangan madzhab, kaedah-kaedah fiqh ini banyak dimunculkan oleh pengiikut
madzhab Hanafi dan Syafi’i. Dalam madzhab Hanafi (80 H/699 M) misalnya,
dipelopori oleh dua orang murid imam Abu Hanifah yang bernama Abu Yusuf Ya’qub
bin Ibrahim (113-182 H/731-798 M)
dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (132-189
H/750-804 M). Abu Yusuf yang
pernah menjadi hakim (qadhi), mengeluarkan pernyataan:
التعزير إلى الإمام بقدر عظم الجرم وصغره
“Hukum ta’zir
diserahkan kepada penguasa sesuai kadar besar kecilnya kesalahan.”
Qawa’id fiqhiyyah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri pada abad
IV H, dan dimatangkan pada abad-abad sesudahnya.[4]
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa fuqaha Hanafiyah menjadi kelompok
pertama yang mengkaji qawa’id fiqhiyah. Pengumpulan qawa’id fiqhiyyah dalam
madzhab Hanafiyah dilakukan pertama kali oleh Abu Thahir al-Dabbas al-Hanafi, seorang
ulama yang hidup pada abad III dan IV. Namun, qawa’id fiqhiyyah yang
dikumpulkan pada saat itu tidak mudah untuk di identifikasi, kecuali beberapa
qai’dah dasar yang populer, diantaranya:
1.
الأمور
بمقا صدها
2.
اليقين
لايزال بالشك
3.
المشقه
تجلب التيسير
4.
العادة
محكم
5.
يزال الضرر
Pada abad IV H, Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) telah melakukan
kajian ilmiah tentang qawa’id fiqhiyyah, dan menggabungkannya dengan qa’idah
al-Karkhi (w.340 H). Kajian al-Dabbusi ini dapat dilihat dalam karya besarnya Ta’sis
al-Nazhar. Dengan demikian, abad IV H dapat dikatakan sebagai abad atau
fase perkembangan dan pengkodifikasian qa’idah fiqhiyah. Karena abad IV H
merupakan awal penyusunan kitab-kitab qa’idah, maka abad ini dapat dianggap
sebagai awal kelahiran pengkodifikasian ilmu qawa’id.
Pada awal abad V
H, tidak ditemukan kitab yang secara khusus mengkaji masalah qawa’id fiqhiyyah
selain kitab Ta’sis al-Nazhar karya al-Dabbusi. Begitu juga pada abad VI
H, tidak ditemukan kitab yang secara khusus mengkaji masalah qawa’id fiqhiyyah
selain kitab Idhah al-Qawa’id karya Alauddin Muhammad bin Ahmad
al-Samarqandi (w.540 H). Hal ini tidak berarti bahwa dalam dua abad ini
kreatifitas para ulama terputus dalam mengkaji ilmu qawa’id fiqhiyyah, tetapi
kemungkinan perjalanan sejarah tidak dapat melacaknya, seperti halnya juga
menimpa sejumlah besar ilmu-ilmu lainnya.
Pada abad VII H,
ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang pesat meskipun belum mencapai puncaknya. Hal
ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh ulama dalam ilmu ini, seperti
Muhammad bin Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613 H) yang menyusun kitab al-Qawa’id
fi Furu’ al-Syafi’iyyah, ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam (w.660) yang menyusun
kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, dan Muhammad bin Abdillah
bin Rasyid al-Bakri al-Qafshiy al-Maliki (w.670 H) yang menyusun kitab al-Muzhab
fi Dhabt Qawa’id al-Madzhab.
Pada abad VIII H,
ilmu qawa’id fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyak
bermunculannya kitab-kitab qawa’id fiqhiyyah. Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah
termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad
ini adalah sebagai berikut:[5]
1.
Al-Asybah wa
al-Nazha’ir karya Ibnu
al-Wakil al-Syafi’i (w.716 H)
2.
Kitab al-Qawa’id
karya al-Maqqari al-Maliki (w.758 H)
3.
Al-Majmu’
al-Muzhab fi Dhabt Qawa’id al-Madzhab karya
al-‘Alai al-Syafi’i (w.761 H)
4.
Al-Asybah wa
al-Nazha’ir karya al-Subki
al-Syafi’i (w.771 H)
5.
Al-Asybah wa
an-Nazha’ir karya
al-Isnawi (w.772 H)
6.
Al-Mantsur fi
Qawa’id karya al-Zarkasi al-Syafi’i (w.794
H)
7.
Qawa’id fi
al-Fiqh karya Ibnu Rajab al-Hambali (w.795
H)
8.
Al-Qawa’id fi
al-Furu’ karya al-Ghazzi (w.799 H)
Pada abad IX H, perkembangan ilmu
qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama
sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat
misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin (w.804 H) dan Taqiyuddin al-Hishni (w.829
H).
Pada abad X H, pengkodifikasian
qawa’id fiqhiyyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti (w.991 H) telah berusaha
mengumpulkan qa’idah fiqhiyyah yang paling penting dari karya al-‘Alai (w.761 H),
al-Subki (w.771 H), dan al-Zarkasyi (w.794 H). Ia mengumpulkan qa’idah-qa’idah
tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazha’ir. Kitab-kitab karya
ketiga tooh tersebut masih mencakup qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah,
kecuali kitab hasil karya al-Zarksyi (w.794 H).
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang.
Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase
perkembangan dan pembukuan (pengkodifikasian). Pengkodifikasian qawa’id
fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah
oleh komite (lajnah) fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan
al-Utsmani (1861 – 1876 M) pada akhir abad XIII H (1292 H). Majallat
al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan (referensi) lembaga-lembaga peradilan
pada masa itu, ini menandai sebagai era kematangan qawa’id fiqhiyyah.[6]
B.
Sumber-sumber
Qa’idah Fiqhiyyah
Pada
hakikatnya sandaran qa’idah seperti telah dijelaskan di muka adalah Al-Qur’an,
As-Sunnah dan sering pula dari kata-kata hikmah dan kearifan para sahabat nabi
serta para ulama-ulama mujtahid, yang sangat dalam ilmu fiqihnya.[7]
Ada dua metode yang dijadikan dasar pengambilan kaidah fiqhiyah, yaitu
dasar Formil dan dasar Materiil. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan
dasar ulama dalam merumuskan kaidah fiqhiyah itu, jelasnya nash-nash manakah
yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan kaidah fiqhiyah.
Adapun dasar materiil maksudnya darimana materi kaidah fiqhiyah itu dirumuskan.
1.
Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu kaidah yang memuat satu
masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari alquran maupun sunnah.
Seperti dari Firman Allah pada surat al Bayyinah ayat 5:
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ
أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ
إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )أخرجه البخاري)
(BUKHARI
- 1) : Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia
berkata, Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan
kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah
bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab
diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi
tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya
karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan"[8]
Diistimbatkan hukum melakukan niat untuk setiap perbuatan ibadah. Karena
persoalan niat juga mempunyai arti penting dalam soal-soal lain, maka
dirumuskannya kaidah fiqhiyah:
الامور بمقا
صد ها
“Setiap perkara tergantung kepada
maksud mengerjakannya”
Jadi perumusan kaidah fiqhiyah itu berdasarkan pada Alquran
dan Sunnah dalam rangka untuk mempermudah pelaksanaan istinbath dan ijtihad.
2.
Dasar materiil
Adapun dasar
materiil atau tegasnya bahan-bahan yang dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu,
adakalanya nash hadis, seperti kaidah yang berbunyi:
الضرر يزال
“Kemadlaratan itu harus dihilangkan”
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا
مَعْمَرٌ عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (أخرجه ابن
ما جه(
(IBNUMAJAH - 2332) : Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada
kami Abdurrazaq berkata, telah memberitakan kepada kami Ma'mar dari Jabir Al
Ju'fi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang
menimbulkan madlarat."[9]
Kaidah yang berasal dari hadist tersebut berlaku untuk semua lapangan
hukum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat maupun jinayat. Disamping kaidah
fiqhiyah yang dirumuskan dari lafadh hadis, seperti tersebut di atas, maka
dapat dipastikan bahwa kaidah fiqhiyah itu hasil perumusan ulama yang
kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.
C.
Pembagian
Qa’idah Fiqhiyyah
Apabila qa’idah-qa’idah fiqhiyyah ini kita perinci berdasarkan
ruang lingkup dan cakupannya, setidaknya ada lima ruang lingkup, dan cakupan
yang paling luas dan paling menyeluruh, scope dan sequence-nya
berjenjang mulai dari:[10]
1.
جلب
المصالح ودفع المفاسد
“Meraih
kemaslahatan dan menolak kemudaratan”
2.
Al-qawa’id
al-khamsah, qa’idah-qa’idah fiqh pokok yang lima meliputi keseluruhan bidang
fiqh yaitu:
a.
لأمور
بمقا صدها “Segala seasuatu sesuai dengan maksudnya”
Contoh:
Bersamaan dengan niat ibadah, seseorang juga
niat untuk tujuan lain yang bukan ibadah. Misalnya menyembelih hewan kurban
yang diniati karena Allah dan bukan karena Allah, misalnya karena tujuan
menjaga gengsi, atau karena tujuan politis, atau karena tujuan mencari simpati
masyarakat, maka tujuan yang bukan ibadah tersebut membatalkan tujuan yang
sebenarnya dan juga ibadahnya.[11]
b.
الضرر
يزال “Kemudaratan harus dihilangkan”
Contoh:
Jika
ada orang meminjamkan tanah kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu untuk
dibangun sebuah bangunan, atau ditanami sesuatu. Namun, sebelum masa yang
ditentukan pemberi pinjaman mencabut pinjamannya, maka ia harus mengganti biaya
pembangunan dan biaya tanaman yang telah dikeluarkan oleh orang yang dipinjami.[12]
c.
اليقين
لايزال بالشك “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Contoh:
Ketika
ada seseorang yang akan melakukan shalat Subuh, tentu dia akan melakukan hal
yang sama seperti yang dikerjakan orang lain ketika akan melakukan shalat
Subuh, yaitu dilakukannya di waktu Subuh, kemudian berdiri menghadap kiblat,
lalu melakukan takbirat al-ihram disertai dengan niat shalat Subuh. Ia
tidak perlu untuk mengulang-ulang shalatnya hanya karena sebuah keraguan atau
was-was dalam bertakbir atau melafalkan niat, karena hatinya telah merasa yakin
bahwa ia mamang akan melaksanakan shalat Subuh, bukan ibadah shalat yang
lainnya.[13]
d.
المشقه
تجلب التيسير “Kesulitan itu dapat mendatangkan kemudahan”
Contoh:
Karena
berpergian, maka dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) di bulan Ramadhan. Dan
dibolehkan mengqosor shalat yang empat rakaat, dan gugurnya kewajiban shalat
Jumat, jamaah dan dobolehkan tayamum.[14]
e.
العادة
محكمة “Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum”
Contoh:
Kegiatan mudharabah
(bagi untung) dalam perdagangan yang sudah berkembang pada masyarakat sebelum
Islam.[15]
Di dalam mazhab Hanafi ditambahkan
satu qa’idah lagi,
لاثواب إلا
بالنية “Tidak ada pahala kecuali dengan niat”
Keenam qa’idah ini meliputi
keseluruhan fiqh-fiqh di dalam berbagai macam bidang fiqh
.
3.
Cabang dari
qa’idah-qa’idah pokok yang lima tersebut di atas, seperti dari qa’idah No. 2: “kemudaratan
harus dihilangkan” bercabang lagi menjadi qa’idah, antara lain:
a.
الضرورات
تبيح المخظورات ”Kemudaratan tidak bisa dihilangkan dengan kemudaratan lagi”
Contoh:
Orang
yang terpepet dalam kelaparan, tidak boleh memotong sebagian tubuh orang lain
yang sama-sama terpepet dalam kelaparan, untuk dimakan, karena yang demikian
ini sama halnya dengan menyelamatkan dirinya, namun menimbulkan dlarar
kepada orang lain. Hal ini diharamkan, meskipun yang dipotong adalah anggota
tubuh orang yang tidak terjaga (ma’sum).[16]
b.
الضرر
يدفع بقدر الإمكان “Kemudaratan harus ditolak (dihilangkan) sekadarnya saja”
Contoh:
Tindakan
Abu Bakar dalam mengumpulkan Al-Qur’an demi terpeliharanya Al-Qur’an; usaha
damai agar tidak terjadi perang, usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat
tidak kelaparan.[17]
4.
Qa’idah-qa’idah
fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya hanya dalam bidang fiqh tertentu,
seperti:
a.
كل
من أدلى إلى الهالك بواسطة فلا يرث بوجودها “Setiap orang
yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka dia tidak
mewarisi selama perantara itu ada.”
Contoh:
Antara
kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak orang yang meninggal
masih ada, karena kakek dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui bapak.
Demikian pula anak laki-laki dengan cucu laki-laki. Cucu laki-laki tidak
menjadi ahli waris selama ada anak laki-laki dari orang yang meninggal, karena
cucu laki-laki dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui anak laki-laki.[18]
Qa’idah ini hanya berlaku di dalam
bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga)
b.
إذا
بطل الشيئ بطل ما فىضمنه “Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada di dalam
tanggungannya.”
Contoh:
Penjual
dan pembeli telah melaksanaka akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang
dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual
beli tadi. maka, hak pembeli terhadapa barang menjadi batal dan hak penujal
terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan
barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.[19]
Qa’idah ini hanya berlaku di dalam fiqh
muamalah.
5.
Qa’idah yang
merupakan cabang dari bidang hukum tertentu, misalnya, dalam bidang ibadah:
كل ماء لم يتغير أحد أوصافه فهو طهور “Setiap air
yang tidak berubah salah satu sifatnya, maka air tersebut adalah suci”
Dhabit
ini hanya berlaku pada satu bagian fiqh ibadah.
Di
dalam bidang muamalah, ada dhabit:
الغرم بالغنم “Kerugian dibebankan karena orang mendapat keuntungan”
Peminjam
barang harus menanggung ongkos pengembalian, beda dengan yang menitipkan
barang, maka pemiliklah yang harus menanggung bebannya.
Selain itu ada juga qa’idah-qa’idah fiqh yang tidak dari sisi ruang
lingkup, tapi dari sisi fungsinya untuk menyelesaikan benturan kepentingan,
mana yang harus didahulukan.
Contohnya seperti qa’idah:
المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة “Kemaslahatan publik didahulukan daripada
kemaslahatan individu”
Penggunaanya harus dihubungkan dengan qa’idah lain seperti.
لا ضرر ولا ضرار “Tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan”
Contoh kasus:
pemerintah akan membuat jalan untuk kepentingan umum, tetapi jalan itu melewati
tanah milik orang lain, maka penyelesaiannya dengan menggunakan qa’idah tadi.
Pemerintah bisa melanjutkan rencananya, tetapi harus mengganti dengan harga
pasaran yang wajar pada waktu itu di tempat tersebut.
IV.
KESIMPULAN
Cikal-bakal kemunculan qawa’id fiqhiyyah bersamaan dengan hadirnya
Rasulullah SAW melalui hadits-haditsnya yang menjelaskan dan merinci ajaran
Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Pada masa tabi’in dan imam madzhab, gaya
jawami’ al-kalim Nabi semakin banyak dicontoh dan menginspirasi mereka
untuk berlomba-lomba membuat kaedah yang dapat memudahkan mereka dalam
mengelompokkan masalah-masalah fiqh. Sementara itu, qawa’id fiqhiyyah menjadi
satu disiplin ilmu tersendiri pada abad IV H, dan dimatangkan pada abad-abad
sesudahnya, yaitu abad V, VI, VII, dan VIII. Hingga pada abad X , XII ilmu
qawa’id fiqhiyyah terus berkembang dan menjadi referensi lembaga-lembaga
peradilan pada masa itu pada abad XIII. Pada hakikatnya sandaran qa’idah adalah
Al-Qur’an, As-Sunnah dan sering pula dari kata-kata hikmah dan kearifan para
sahabat nabi serta para ulama-ulama mujtahid, yang sangat dalam ilmu fiqihnya.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, dengan harapan semoga
bermanfaat bagi semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat dperlukan demi
kemaslahatan bersama, dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
[1]Toha Andiko,
Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum
Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), hlm. V.
[2]Ali Ahmad
al-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t
th), hlm. 89.
[3]Toha Andiko, Ilmu
Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam
Kontemporer, hlm. 7.
[4]Toha Andiko, Ilmu
Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam
Kontemporer, hlm. 10.
[5]Ade Dedi
Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gema Media Pratama, 2008),
hlm. 62.
[6]Toha Andiko, Ilmu
Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam
Kontemporer, hlm. 18.
[7]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2006), hlm. 7.
[8]Lidwa Pusaka
i-Software - Kitab 9 Imam Hadits, Kitab Bukhari, Hadits No. I
[9]Lidwa Pusaka
i-Software - Kitab 9 Imam Hadits, Kitab Ibnu Majah, Hadits No. 2332.
[10]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hlm. 8-11.
[11]Toha Andiko, Ilmu
Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam
Kontemporer, hlm. 55.
[12]Toha Andiko, Ilmu
Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam
Kontemporer, hlm. 118.
[13]Toha Andiko, Ilmu
Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam
Kontemporer, hlm. 70.
[14]Toha Andiko, Ilmu
Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam
Kontemporer, hlm. 96.
[15]Toha Andiko, Ilmu
Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam
Kontemporer, hlm. 142.
[16]Jalaludin
al-Mahalli, Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin li Nawawy, Juz IV (Beirut:
Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyyah, t. Th.), hlm. 264.
[17]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hlm. 73.
[18]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hlm. 126.
[19]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hlm. 134.
Baca Juga:
Objek Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an
Ahli Waris Nasabiyah dan Ahli Waris Sababiyah
Proses Belajar Mengajar (PBM)
Ar-Rahn
Prediksi Risiko Kematian dari Kecepatan Berjalan Kaki
Perhatikan 8 Kalimat Ini Saat Kamu Wawancara Kerja
Baca Juga:
Objek Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an
Ahli Waris Nasabiyah dan Ahli Waris Sababiyah
Proses Belajar Mengajar (PBM)
Ar-Rahn
Prediksi Risiko Kematian dari Kecepatan Berjalan Kaki
Perhatikan 8 Kalimat Ini Saat Kamu Wawancara Kerja
No comments:
Post a Comment