Tuesday, November 15, 2016

SEJARAH DAN PEMBAGIAN QAWA’ID AL-LUGHAWIYAH

Oleh:
Akrom Khasani

Dipresentasikan dalam kuliah Ushul Fiqh II

I.         PENDAHULUAN
Qa’idah fiqhiyyah merupakan kaedah-kaedah yang bersifat umum, meliputi sejumlah masalah fiqh, dan melaluinya dapat diketahui sejumlah masalah yang berada dalam cakupannya. Sebagai landasan aktivitas umat Islam sehari-hari dalam memahami maksud-maksud ajaran Islam (maqasidusy syar’iyah) secara lebih menyeluruh, keberadaan qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Baik di mata para ahli ushul (ushuliyyun) maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam permasalahan-permasalahan kehidupan manusia.[1]
Melihat betapa pentingnya qa’idah fiqhiyyah dalam kehidupan manusia, yaitu untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diuturunkan dari nash asalnya (al-Qur’an dan al-Hadits) kepada manusia. Maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai sejarah qa’idah fiqhiyyah, sumber-sumber qa’idah fiqhiyyah, dan pembagian qa’idah fiqhiyyah.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.  Bagaimana Sejarah Qa’idah Fiqhiyyah?
B.  Apa Saja Sumber-sumber Qa’idah Fiqhiyyah?
C.  Bagaimana Pembagian Qa’idah Fiqhiyyah?

III.   PEMBAHASAN
A.  Sejarah Qa’idah Fiqhiyyah
Menurut Ali Ahmad al-Nadwi, secara garis besar ada tiga periode penyusunan qawa’id fiqhiyyah; yaitu periode kelahiran, pertumbuhan-pertumbuhan, dan penyempurnaan.[2] Pada awalnya, cikal-bakal kemunculan qawa’id fiqhiyyah bersamaan dengan hadirnya Rasulullah SAW melalui hadits-haditsnya yang menjelaskan dan merinci ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Bahkan tak jarang beliau juga menetapkan suatu hukum yang belum disebutkan ketentuannya secara eksplisit dalam al-Qur’an. Rasulullah Muhammad SAW sebagai insan pilihan, pembawa risalah Islam yang menyempurnakan ajaran-ajaran Nabi dan Rasul sebelumya, dikaruniai kemampuan berbahasa yang singkat, padat, bermakna, mencakup, dan mudah untuk dipahami (jawami’ al-kalim).[3]
            Pada masa tabi’in dan imam madzhab, gaya jawami’ al-kalim Nabi semakin banyak dicontoh dan menginspirasi mereka untuk berlomba-lomba membuat kaedah yang dapat memudahkan mereka dalam mengelompokkan masalah-masalah fiqh sehingga dapat cepat merespons problematika kasus-kasus hukum yang semakin banyak bermunculan. Beberapa kaedah yang muncul pada masa ini misalnya:
            Perkataan Qadhi Syuriah bin Haris al-Kindi:
من شرط على نفسه طا ئعا غير مكروح فهو عليه
“Siapa yang harus menanggung pengelolaan harta, (maka) ia berhak mengambil keuntungan tersebut.”
Perkataan Khair bin Nu’man:
من أقر عند نا بشئ ألزمناه إياه
“Siapa yang mengaku memiliki sesuatu, kami memberikan sesuatu itu padanya.”
           
            Sedangkan dikalangan madzhab, kaedah-kaedah fiqh ini banyak dimunculkan oleh pengiikut madzhab Hanafi dan Syafi’i. Dalam madzhab Hanafi (80 H/699 M) misalnya, dipelopori oleh dua orang murid imam Abu Hanifah yang bernama Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim (113-182 H/731-798 M) dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (132-189 H/750-804 M). Abu Yusuf  yang pernah menjadi hakim (qadhi), mengeluarkan pernyataan:
التعزير إلى الإمام بقدر عظم الجرم وصغره
“Hukum ta’zir diserahkan kepada penguasa sesuai kadar besar kecilnya kesalahan.”

Qawa’id fiqhiyyah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri pada abad IV H, dan dimatangkan pada abad-abad sesudahnya.[4] Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa fuqaha Hanafiyah menjadi kelompok pertama yang mengkaji qawa’id fiqhiyah. Pengumpulan qawa’id fiqhiyyah dalam madzhab Hanafiyah dilakukan pertama kali oleh Abu Thahir al-Dabbas al-Hanafi, seorang ulama yang hidup pada abad III dan IV. Namun, qawa’id fiqhiyyah yang dikumpulkan pada saat itu tidak mudah untuk di identifikasi, kecuali beberapa qai’dah dasar yang populer, diantaranya:
1.     الأمور بمقا صدها
2.     اليقين لايزال بالشك
3.      المشقه تجلب التيسير
4.      العادة محكم
5.     يزال الضرر

Pada abad IV H, Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) telah melakukan kajian ilmiah tentang qawa’id fiqhiyyah, dan menggabungkannya dengan qa’idah al-Karkhi (w.340 H). Kajian al-Dabbusi ini dapat dilihat dalam karya besarnya Ta’sis al-Nazhar. Dengan demikian, abad IV H dapat dikatakan sebagai abad atau fase perkembangan dan pengkodifikasian qa’idah fiqhiyah. Karena abad IV H merupakan awal penyusunan kitab-kitab qa’idah, maka abad ini dapat dianggap sebagai awal kelahiran pengkodifikasian ilmu qawa’id.
            Pada awal abad V H, tidak ditemukan kitab yang secara khusus mengkaji masalah qawa’id fiqhiyyah selain kitab Ta’sis al-Nazhar karya al-Dabbusi. Begitu juga pada abad VI H, tidak ditemukan kitab yang secara khusus mengkaji masalah qawa’id fiqhiyyah selain kitab Idhah al-Qawa’id karya Alauddin Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (w.540 H). Hal ini tidak berarti bahwa dalam dua abad ini kreatifitas para ulama terputus dalam mengkaji ilmu qawa’id fiqhiyyah, tetapi kemungkinan perjalanan sejarah tidak dapat melacaknya, seperti halnya juga menimpa sejumlah besar ilmu-ilmu lainnya.
            Pada abad VII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang pesat meskipun belum mencapai puncaknya. Hal ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh ulama dalam ilmu ini, seperti Muhammad bin Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613 H) yang menyusun kitab al-Qawa’id fi Furu’ al-Syafi’iyyah, ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam (w.660) yang menyusun kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, dan Muhammad bin Abdillah bin Rasyid al-Bakri al-Qafshiy al-Maliki (w.670 H) yang menyusun kitab al-Muzhab fi Dhabt Qawa’id al-Madzhab.
            Pada abad VIII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab qawa’id fiqhiyyah. Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah sebagai berikut:[5]
1.    Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’i (w.716 H)
2.    Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w.758 H)
3.    Al-Majmu’ al-Muzhab fi Dhabt Qawa’id al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’i (w.761 H)
4.    Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya al-Subki al-Syafi’i (w.771 H)
5.    Al-Asybah wa an-Nazha’ir karya al-Isnawi (w.772 H)
6.    Al-Mantsur fi Qawa’id karya al-Zarkasi al-Syafi’i (w.794 H)
7.    Qawa’id fi al-Fiqh karya Ibnu Rajab al-Hambali (w.795 H)
8.    Al-Qawa’id fi al-Furu’ karya al-Ghazzi (w.799 H)
Pada abad IX H, perkembangan ilmu qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin (w.804 H) dan Taqiyuddin al-Hishni (w.829 H).
Pada abad X H, pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti (w.991 H) telah berusaha mengumpulkan qa’idah fiqhiyyah yang paling penting dari karya al-‘Alai (w.761 H), al-Subki (w.771 H), dan al-Zarkasyi (w.794 H). Ia mengumpulkan qa’idah-qa’idah tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazha’ir. Kitab-kitab karya ketiga tooh tersebut masih mencakup qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah, kecuali kitab hasil karya al-Zarksyi (w.794 H).
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan dan pembukuan (pengkodifikasian). Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan al-Utsmani (1861 – 1876 M) pada akhir abad XIII H (1292 H). Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan (referensi) lembaga-lembaga peradilan pada masa itu, ini menandai sebagai era kematangan qawa’id fiqhiyyah.[6]

B.  Sumber-sumber Qa’idah Fiqhiyyah
Pada hakikatnya sandaran qa’idah seperti telah dijelaskan di muka adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan sering pula dari kata-kata hikmah dan kearifan para sahabat nabi serta para ulama-ulama mujtahid, yang sangat dalam ilmu fiqihnya.[7]
Ada dua metode yang dijadikan dasar pengambilan kaidah fiqhiyah, yaitu dasar Formil dan dasar Materiil. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan kaidah fiqhiyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan kaidah fiqhiyah. Adapun dasar materiil maksudnya darimana materi kaidah fiqhiyah itu dirumuskan.
1.    Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu kaidah yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari alquran maupun sunnah. Seperti dari Firman Allah pada surat al Bayyinah ayat 5:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

Dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ  )أخرجه البخاري)
(BUKHARI - 1) : Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan"[8]

Diistimbatkan hukum melakukan niat untuk setiap perbuatan ibadah. Karena persoalan niat juga mempunyai arti penting dalam soal-soal lain, maka dirumuskannya kaidah fiqhiyah:
الامور بمقا صد ها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”

Jadi perumusan kaidah fiqhiyah itu berdasarkan pada Alquran dan Sunnah dalam rangka untuk mempermudah pelaksanaan istinbath dan ijtihad.
2.    Dasar materiil
Adapun dasar materiil atau tegasnya bahan-bahan yang dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya nash hadis, seperti kaidah yang berbunyi:
الضرر يزال
“Kemadlaratan itu harus dihilangkan”

Kaidah ini berasal dari hadis Nabi  Muhammad SAW:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (أخرجه ابن ما جه(
(IBNUMAJAH - 2332) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata, telah memberitakan kepada kami Ma'mar dari Jabir Al Ju'fi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang menimbulkan madlarat."[9]

Kaidah yang berasal dari hadist tersebut berlaku untuk semua lapangan hukum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat maupun jinayat. Disamping kaidah fiqhiyah yang dirumuskan dari lafadh hadis, seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa kaidah fiqhiyah itu hasil perumusan ulama yang kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.

C.  Pembagian Qa’idah Fiqhiyyah
Apabila qa’idah-qa’idah fiqhiyyah ini kita perinci berdasarkan ruang lingkup dan cakupannya, setidaknya ada lima ruang lingkup, dan cakupan yang paling luas dan paling menyeluruh, scope dan sequence-nya berjenjang mulai dari:[10]
1.    جلب المصالح ودفع المفاسد
“Meraih kemaslahatan dan menolak kemudaratan”
2.    Al-qawa’id al-khamsah, qa’idah-qa’idah fiqh pokok yang lima meliputi keseluruhan bidang fiqh yaitu:
a.    لأمور بمقا صدها “Segala seasuatu sesuai dengan maksudnya”
Contoh:
 Bersamaan dengan niat ibadah, seseorang juga niat untuk tujuan lain yang bukan ibadah. Misalnya menyembelih hewan kurban yang diniati karena Allah dan bukan karena Allah, misalnya karena tujuan menjaga gengsi, atau karena tujuan politis, atau karena tujuan mencari simpati masyarakat, maka tujuan yang bukan ibadah tersebut membatalkan tujuan yang sebenarnya dan juga ibadahnya.[11]

b.    الضرر يزال “Kemudaratan harus dihilangkan”
Contoh:
Jika ada orang meminjamkan tanah kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu untuk dibangun sebuah bangunan, atau ditanami sesuatu. Namun, sebelum masa yang ditentukan pemberi pinjaman mencabut pinjamannya, maka ia harus mengganti biaya pembangunan dan biaya tanaman yang telah dikeluarkan oleh orang yang dipinjami.[12]

c.    اليقين لايزال بالشك “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Contoh:
Ketika ada seseorang yang akan melakukan shalat Subuh, tentu dia akan melakukan hal yang sama seperti yang dikerjakan orang lain ketika akan melakukan shalat Subuh, yaitu dilakukannya di waktu Subuh, kemudian berdiri menghadap kiblat, lalu melakukan takbirat al-ihram disertai dengan niat shalat Subuh. Ia tidak perlu untuk mengulang-ulang shalatnya hanya karena sebuah keraguan atau was-was dalam bertakbir atau melafalkan niat, karena hatinya telah merasa yakin bahwa ia mamang akan melaksanakan shalat Subuh, bukan ibadah shalat yang lainnya.[13]
d.   المشقه تجلب التيسير “Kesulitan itu dapat mendatangkan kemudahan”
Contoh:
Karena berpergian, maka dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) di bulan Ramadhan. Dan dibolehkan mengqosor shalat yang empat rakaat, dan gugurnya kewajiban shalat Jumat, jamaah dan dobolehkan tayamum.[14]

e.    العادة محكمة “Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum”
Contoh:
Kegiatan mudharabah (bagi untung) dalam perdagangan yang sudah berkembang pada masyarakat sebelum Islam.[15]

Di dalam mazhab Hanafi ditambahkan satu qa’idah lagi,
لاثواب إلا بالنية “Tidak ada pahala kecuali dengan niat”
Keenam qa’idah ini meliputi keseluruhan fiqh-fiqh di dalam berbagai macam bidang fiqh
.
3.    Cabang dari qa’idah-qa’idah pokok yang lima tersebut di atas, seperti dari qa’idah No. 2: “kemudaratan harus dihilangkan” bercabang lagi menjadi qa’idah, antara lain:
a.    الضرورات تبيح المخظورات ”Kemudaratan tidak bisa dihilangkan dengan kemudaratan lagi”
Contoh:
Orang yang terpepet dalam kelaparan, tidak boleh memotong sebagian tubuh orang lain yang sama-sama terpepet dalam kelaparan, untuk dimakan, karena yang demikian ini sama halnya dengan menyelamatkan dirinya, namun menimbulkan dlarar kepada orang lain. Hal ini diharamkan, meskipun yang dipotong adalah anggota tubuh orang yang tidak terjaga (ma’sum).[16]

b.    الضرر يدفع بقدر الإمكان “Kemudaratan harus ditolak (dihilangkan) sekadarnya saja”
Contoh:
Tindakan Abu Bakar dalam mengumpulkan Al-Qur’an demi terpeliharanya Al-Qur’an; usaha damai agar tidak terjadi perang, usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan.[17]

4.    Qa’idah-qa’idah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya hanya dalam bidang fiqh tertentu, seperti:
a.       كل من أدلى إلى الهالك بواسطة فلا يرث بوجودها “Setiap orang yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka dia tidak mewarisi selama perantara itu ada.”
Contoh:
Antara kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak orang yang meninggal masih ada, karena kakek dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui bapak. Demikian pula anak laki-laki dengan cucu laki-laki. Cucu laki-laki tidak menjadi ahli waris selama ada anak laki-laki dari orang yang meninggal, karena cucu laki-laki dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui anak laki-laki.[18]
Qa’idah ini hanya berlaku di dalam bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga)
b.      إذا بطل الشيئ بطل ما فىضمنه “Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada di dalam tanggungannya.”
Contoh:
Penjual dan pembeli telah melaksanaka akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. maka, hak pembeli terhadapa barang menjadi batal dan hak penujal terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.[19]
     Qa’idah ini hanya berlaku di dalam fiqh muamalah.

5.    Qa’idah yang merupakan cabang dari bidang hukum tertentu, misalnya, dalam bidang ibadah:
كل ماء لم يتغير أحد أوصافه فهو طهور “Setiap air yang tidak berubah salah satu sifatnya, maka air tersebut adalah suci”
Dhabit ini hanya berlaku pada satu bagian fiqh ibadah.
Di dalam bidang muamalah, ada dhabit:
 الغرم بالغنم “Kerugian dibebankan karena orang mendapat keuntungan”
Peminjam barang harus menanggung ongkos pengembalian, beda dengan yang menitipkan barang, maka pemiliklah yang harus menanggung bebannya.
                   
Selain itu ada juga qa’idah-qa’idah fiqh yang tidak dari sisi ruang lingkup, tapi dari sisi fungsinya untuk menyelesaikan benturan kepentingan, mana yang harus didahulukan.
Contohnya seperti qa’idah:
المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة  “Kemaslahatan publik didahulukan daripada kemaslahatan individu”
Penggunaanya harus dihubungkan dengan qa’idah lain seperti.
لا ضرر ولا ضرار “Tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan”                               
            Contoh kasus: pemerintah akan membuat jalan untuk kepentingan umum, tetapi jalan itu melewati tanah milik orang lain, maka penyelesaiannya dengan menggunakan qa’idah tadi. Pemerintah bisa melanjutkan rencananya, tetapi harus mengganti dengan harga pasaran yang wajar pada waktu itu di tempat tersebut.

IV.   KESIMPULAN
Cikal-bakal kemunculan qawa’id fiqhiyyah bersamaan dengan hadirnya Rasulullah SAW melalui hadits-haditsnya yang menjelaskan dan merinci ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Pada masa tabi’in dan imam madzhab, gaya jawami’ al-kalim Nabi semakin banyak dicontoh dan menginspirasi mereka untuk berlomba-lomba membuat kaedah yang dapat memudahkan mereka dalam mengelompokkan masalah-masalah fiqh. Sementara itu, qawa’id fiqhiyyah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri pada abad IV H, dan dimatangkan pada abad-abad sesudahnya, yaitu abad V, VI, VII, dan VIII. Hingga pada abad X , XII ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang dan menjadi referensi lembaga-lembaga peradilan pada masa itu pada abad XIII. Pada hakikatnya sandaran qa’idah adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan sering pula dari kata-kata hikmah dan kearifan para sahabat nabi serta para ulama-ulama mujtahid, yang sangat dalam ilmu fiqihnya.

V.      PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, dengan harapan semoga bermanfaat bagi semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat dperlukan demi kemaslahatan bersama, dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.




[1]Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011), hlm. V.
[2]Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t th), hlm. 89.   
[3]Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam Kontemporer, hlm. 7.
[4]Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam Kontemporer, hlm. 10.
[5]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gema Media Pratama, 2008), hlm. 62.
[6]Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam Kontemporer, hlm. 18.
[7]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2006), hlm. 7.
[8]Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadits, Kitab Bukhari, Hadits No. I
[9]Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadits, Kitab Ibnu Majah, Hadits No. 2332.
[10]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, hlm. 8-11.
[11]Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam Kontemporer, hlm. 55.
[12]Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam Kontemporer, hlm. 118.
[13]Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam Kontemporer, hlm. 70.
[14]Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam Kontemporer, hlm. 96.
[15]Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah; Panduan Praktis Dalam Merespons Problematika Hukum Islam Kontemporer, hlm. 142.
[16]Jalaludin al-Mahalli, Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin li Nawawy, Juz IV (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyyah, t. Th.), hlm. 264.
[17]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, hlm. 73.
[18]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, hlm. 126.

No comments:

Post a Comment