Oleh: Akhmad Solikin, Politeknik
Keuangan Negara STAN
Ekonomi berbasis elektronik yang sering disebut e-commerce atau
ekonomi digital mempunyai potensi besar dan di masa mendatang berperan penting
menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Ignatius Untung, Ketua Bidang
Bisnis dan Ekonomi, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) dalam Seminar Utama
Hari Oeang ke-71 pada 26 Oktober 2017 lalu di Dhanapala Kementerian Keuangan
mengatakan bahwa total nilai transaksi perdagangan berbasis elektronik di
Indonesia pada 2016 mencapai US$5,6 miliar. Selain itu, lanjut Ignatius, pasar
ekonomi digital diprediksikan terus tumbuh menjadi US$130 miliar tahun 2020.
Namun demikian, media massa seringkali mengaitkan pertumbuhan
ekonomi digital dengan kemunduran perdagangan retail konvensional di Indonesia.
Padahal pada 2017, total transaksi ekonomi digital kurang dari 2% dari total
penjualan eceran.
Peta jalan pengembangan ekonomi digital
Peraturan Presiden Nomor 74 tahun 2017 mengakui pentingnya membuat
peta jalan (road map) pengembangan ekonomi digital yang meliputi delapan
program, yaitu pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan
SDM, infrastruktur komunikasi, logistik, keamanan siber, dan pembentukan
manajemen pelaksana. Peta jalan tersebut mengamanatkan tiga hal dalam hal
perpajakan, yaitu penyederhanaan pemenuhan kewajiban perpajakan, penyusunan
tata cara pendaftaran bagi pelaku usaha e-commerce, dan persamaan
perlakuan perpajakan.
Pada program perlakukan perpajakan yang sama terkait dengan
persamaan perlakukan perpajakan bagi ekonomi konvesional dan ekonomi digital.
Hal ini berarti apabila ekonomi konvensional membayar pajak, maka ekonomi
digital juga harus membayar pajak. Demikian pula apabila ekonomi konvensional
mendapatkan insentif perpajakan, maka ekonomi digital berhak atas insentif yang
sama atau sejenis.
Peta jalan persamaan perlakuan perpajakan memberikan dasar yang
kuat bagi otoritas pajak untuk mengenakan pajak atas ekonomi digital.
Direktorat Jenderal Pajak mengidentifikasi setidaknya empat model bisnis
ekonomi digital, yaitu online marketplace, classified ads, daily
deals, dan online retail (Budi, tanpa tahun). Keempat model tersebut
melibatkan pembayaran imbalan atau penghasilan yang merupakan objek PPh dan
PPN. Permasalahan muncul karena ekonomi digital tidak mengenal batas negara (borderless),
kadang-kadang tidak melibatkan bentuk fisik, dan transaksi yang dilakukan
dengan sangat cepat secara daring.
Pada tahun 2018, pemerintah berencana mengenakan pajak pada e-commerce dengan
fokus pada pengguna dan pemilik toko online. Menteri Keuangan yakin bahwa
hal tersebut dapat dilakukan mengingat semua transaksi bersifat elektronik yang
memungkinkan untuk dilacak dan dipantau ketaatan pemenuhan kewajiban pajaknya
(mucglobal.com, 2017). Berkaca dari pengalaman Turki, otoritas pajak dapat
menerima informasi dari perbankan, perusahaan logistik atau kurir, serta perangkat
lunak khusus yang mencatat transaksi daring (Gerger, 2016).
Waktu pengenaan dan besaran pajak
Apabila pertanyaan tentang “apakah dapat dikenakan pajak” sudah
terselesaikan, pertanyaan berikutnya ialah “kapan waktu yang tepat ekonomi
digital dikenakan pajak?” Kata “kapan” bukan terkait dengan periode waktu
timbulnya kewajiban perpajakan, tetapi dari sisi waktu yang tepat bagi pembuat
kebijakan untuk mengenakan pajak terhadap ekonomi digital.
Dirjen Pajak meyakinkan bahwa aturan terkait e-commerce tidak
akan menciptakan pajak yang baru, artinya tetap menggunakan peraturan yang
selama ini sudah ada (Kompas.com, 2017). Dalam Ottawa Taxation Framework (OECD,
2001), terdapat prinsip netralitas saat perlakuan perpajakan harus netral dan
setara antara perdagangan secara konvensional dan elektronik. Apabila industri
digital tidak dikenakan pajak, sedangkan industri tradisional (mortar and
bricks) dikenakan pajak, maka hal itu merupakan perlakukan yang berbeda (uneven
playing field).
Nadiem Makarim CEO Gojek pada Seminar Utama Hari Oeang ke-71
tanggal 26 Oktober 2017 menyampaikan bahwa industri merasa belum waktunya
dikenakan pajak karena masih pada fase awal perkembangan atau fase bayi.
Pengenaan pajak yang terlalu awal dapat mematikan industri digital, antara lain
disebabkan oleh investor yang keluar dari industri. Pengembangan ekonomi
digital sebagian besar mendapatkan suntikan dana dari investor luar negeri,
sehingga pengenaan pajak yang terlalu awal dikhawatirkan menurunkan minat
investor.
Menteri Keuangan (Menkeu) pada Seminar Utama Hari Oeang ke-71
menyatakan bahwa pemerintah memahami kondisi yang dialami oleh industri.
Meskipun demikian, Menkeu menekankan agar jangan sampai terjadi industri yang
diberikan waktu libur membayar pajak (tax holiday) tetapi saat tiba waktunya
membayar pajak ternyata model bisnisnya sudah berubah. Dengan demikian,
sepatutnya segera dicoba kebijakan untuk mengenakan pajak atas ekonomi digital,
kemudian diamati dampaknya, dan bersiap sedia mengubah kebijakan apabila
diperlukan.
Sejalan dengan kebijakan bahwa pajak digital tidak membuat jenis
dan tarif pajak baru, pengenaan pajaknya menggunakan peraturan yang telah ada.
Untuk transaksi digital yang dilakukan oleh usaha mikro, dimana omset yang
diperoleh kurang dari Rp4,8 miliar, maka dapat dikenakan tarif pajak 1% dari
omset. Hal tersebut berdasarkan ketentuan dalam PP 46/2013 (Suryana, 2017).
Dalam seminar Hari Oeang tanggal 26 Oktober 2017, CEO Gojek juga menyatakan
besaran tarif tersebut (1%) sebagai hal yang dapat diterima.
Sebagaimana dibahas sebelumnya, pengenaan pajak dapat berupa pajak
penghasilan maupun pajak pertambahan nilai (PPN). Terkait dengan PPN, menurut
Dirjen Pajak besarnya tarif yang dikenakan akan lebih rendah daripada tarif
yang berlaku (Liputan6.com, 2017). Tampaknya hal tersebut merupakan kompromi
setelah sebelumnya pelaku usaha nyaring menyuarakan PPN cuma-cuma dengan argument bahwa
industri telah memberikan layanan secara gratis.
Insentif Pemanis
Salah satu usulan yang mengemuka terkait pengenaan pajak digital
yakni perlunya konsumen dan terutama pelaku usaha diberikan insentif.
Sebagaimana pemerintah sering memberikan insentif bagi konsumen dan pelaku
usaha tradisional. Pemanis yang dapat diberikan misalnya dalam bentuk kemudahan
administrasi untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai contoh, pemerintah
dapat menawarkan kemudahan untuk memperoleh NPWP secara daring tanpa harus
mengunjungi kantor pelayanan pajak. Demikian juga, penjual cukup mengirimkan
foto bukti penjualan sebagai bukti potong pajak (Kompas, 2017).
Sejalan dengan kemudahan tersebut, CEO Gojek, Nadiem Makarim (2017)
mengusulkan formalisasi pelaku usaha mikro dan kecil yang terlibat pada ekonomi
digital melalui fast track program. Ini berarti pemerintah memberikan
percepatan dan kemudahan (misalnya dengan cara daring dan hanya mensyaratkan
dokumen yang minimal) dalam pendaftaran pelaku usaha untuk mendapatkan tanda
daftar pelaku usaha digital. Selanjutnya, tanda daftar tersebut dapat
dipergunakan untuk mendapatkan kredit usaha rakyat (KUR).
Selain itu, pemerintah dapat pula memberikan kemudahan dalam
membayar dengan menggunakanplatform daring sebagaimana keumuman dari
bisnis ekonomi digital. Melalui kemudahan-kemudahan tersebut, diharapkan dapat
meningkatkan peran serta pelaku usaha ekonomi digital dalam membayar pajak.
Dalam terminologi Ottawa Taxation Framework, otoritas perpajakan harus
menggunakan teknologi yang tersedia untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib
pajak (taxpayer services) (OECD, 2001). Kepastian, kesederhanaan, dan efisiensi
(dalam bentuk biaya kepatuhan yang rendah) termasuk prinsip-prinsip yang perlu
dipertimbangkan (Bernardi, 2015).
Prinsip-prinsip tersebut seyogyanya dapat segera dijalankan karena
merupakan amanat peta jalan perpajakan dalam PP 74/2017 yang harus dilakukan
pada tahun 2017-2019. Kita semua berharap, ekonomi digital dapat berkembang
pesat menjadi penyokong ekonomi nasional tanpa melupakan kewajibannya untuk
bersumbangsih bagi pendanaan negara.
*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan
kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
(Sumber: www.kemenkeu.go.id)
No comments:
Post a Comment