Tuesday, November 15, 2016

AHLI WARIS NASABIYAH DAN AHLI WARIS SABABIYAH

Oleh: 
Akrom Khasani, dkk.

Dipresentasikan dalam kuliah Fiqh Mawaris


                   I.   PENDAHULUAN
Kata “ahli waris” – yang secara bahasa berarti keluarga- tidak secara otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang meninggal dunia. Karena kedekatan hubungan kekeluargaan juga mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan. Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat tetapi tidak dikategorikan sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan, karena jalur yang dilaluinya perempuan.
Apabila dicermati, ahli waris ada dua macam, yaitu ahli waris nasabiyah (ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan  darah) dan ahli waris sababiyah (hubungan kewarisan yang timbul kerana sebab tetentu, yaitu perkawinan yang sah dan memerdekakan hamba sahaya).[1]
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai siapa saja yang termasuk dalam ahli waris nasabiyah dan ahli waris sababiyah, serta bagian-bagiannya yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an.

                  II.   RUMUSAN MASALAH 
               A.    Apa yang Dimaksud dengan Ahli Waris Nasabiyah? 
               B.     Apa yang Dimaksud dengan Ahli Waris Sababiyah? 
               C.    Apa yang Dimaksud dengan Furudh al-Muqaddarah? 
               D.    Apa yang Dimaksud dengan Ahli Waris Ashab al-Furud? 
               E.     Apa yang Dimaksud dengan Ahli Waris ‘Ashabah?

                III.   PEMBAHASAN 
               A.  AHLI WARIS NASABIYAH
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada al-muwarris didasarkan pada hubungan darah.[2] Secara umum dapat dikatakan bahwasanya ahli waris nasabiyah itu seluruhnya ada 21 yang terdiri dari 13 kelompok laki- laki dan 8 kelompok perempuan.
Ahli waris laki-laki didasarkan urutan kelompoknya sebagai berikut:
1.    Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki sampai seterusnya kebawah yaitu cicit laki- laki buyut laki- laki dan seterusnya.
3.    Bapak.
4.    Kakek dari garis bapak.
5.    Saudara laki-laki sekandung.
6.    Saudara laki-laki seayah saja.
7.    Saudara laki-laki seibu saja.
8.    Anak laki-laki dari saudara laki- laki kandung.
9.    Anak laki-laki dari saudara seayah.
10.     Saudara laki-laki bapak  yang seibu sebapak (kandung).
11.     Saudara laki-laki bapak (dari bapak) yang sebapak saja.
12.     Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak (paman) yang seibu sebapak
( kandung).
13.     Anak laki-laki paman yang seayah.[3]
Adapun Ahli waris perempuan didasarkan kelompoknya ada 8 orang yaitu:
1.    Anak perempuan.          
2.    Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah, yaitu cicit perempuan dari cucu laki- lak, puit perempuan dari cicit laki-laki dan sererusnya.
3.    Ibu.
4.    Nenek dari ibu.
5.    Nenek dari bapak.
6.    Saudara perempuan sekandung.
7.    Saudara perempuan sebapak saja.
8.    Saudara perempuan seibu saja.[4]
Dilihat dari arah hubungan nasab antara orang yang meninggal dunia dengan orang yang berhak memperoleh bagian harta peninggalan atau antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, maka ahli waris nasabiyah mennjadi tiga macam yaitu: Furu’ul Mayit, Ushulul Mayit dan Al-Hawasyiy.
a)      Furu’ul Mayit
Yang dimaksud yaitu anak keturunan orang yang meninggal dunia. Hubungan nasab antara orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah hubungan nasab menurut garis keturunan lurus ke bawah (ahli waris terdekat).[5]  Ahli waris yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
1)   Anak Laki-laki
2)   Anak Perempuan
3)   Cucu Laki-Laki
4)   Cucu Perempuan dari garis laki-laki
b)   Ushulul Mayit
Yang dimaksud dengan ushulul mayit yaitu orang-orang yang menyebabkan adanya lahirnya orang-orang yang meninggal dunia. Atau dapat dikatakan pula yaitu orang-orang yang menurunkan orang yang meninggal dunia. Hubungan nasab orang yang meninggal dunia dengan mereka itu (ahli waris) hubungan nasab menurut garis keturunan lurus ke atas. Adapun yang termasuk dalam Ushulul Mayit:
1)   Ayah
2)   Ibu
3)   Kakek dari garis ayah
4)   Nenek dari garis ibu
c)    Al-Hawasyiy
Al-Hawasyiy ialah saudara, paman beserta anak mereka masing-masing. Hubungan nasab antara orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah hubungan nasab ke arah menyamping. Adapun yang termasuk dalam ahli waris Al-Hawasyiy adalah:
1)   Saudara Laki-Laki yang sekandung
2)   Saudara Perempuan yang sekandung
3)   Saudara Laki-Laki seayah
4)   Saudara Perempuan yang seayah
5)   Saudara Laki-Laki seibu
6)   Saudara Perempuan seibu
7)   Anak Laki-Laki dari saudara laki-laki sekandung
8)   Anak Laki-Laki  dari saudara laki-laki yang seayah
9)   Paman sekandung
10)    Paman sebapak
11)    Anak laki-laki dari paman sekandung
12)    Anak laki-laki dari paman seayah

B.  AHLI WARIS SABABIYAH
            Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan kewarisannya timbul karena sebab-sebab tetentu, yaitu:
1.      Sebab perkawinan.
2.      Sebab memerdekakan hamba sahaya.
            Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerima bagian warisan apabila perkawinan suami isteri tersebut sah, baik menurut ketentuan hukum agama dan memiliki bukti-bukti yuridis artinya perkawinan mereka dicatat menurut hukum yang berlaku. Demikian juga memerdekakan hamba sahaya hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum.[6] Jadi, dalam pembagian ahli waris sababiyah yang menerima warisan adalah suami, istri, laki-laki yang memerdekakan si mayit dari perbudakan  dan perempuan yang memerdekakan si mayit dari perbudakan[7]. Kedudukan mereka sebagai ahli waris ditetapkan oleh firman Allah QS. An-nisa’ ayat 12 :
 

 “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

      C.     FURUDL AL- MUQADARAH
Kata al-furudl adalah jamak dari kata al-fardl, artinya bagian atau ketentuan. Al-Muqaddarah artinya ditentukan besar kecilnya. Jadi, al-furudl al-muqaddarah maksudnya adalah bagian-bagian yang telah ditentukan besar kecilnya di dalam Al-Qur’an. Bagian-bagian tersebut itulah yang akan diterima oleh ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.
Adapun macam-macam al-furudl al-muqaddarah yang diatur secara rinci dalam Al-Qur’an ada enam, yaitu:
1.    Setengah / separoh              (1/2 = al-nisf)
2.    Sepertiga                             (1/3 = al-tsuluts)
3.    Seperempat                         (1/4 = al-rubu’)
4.    Seperenam                          (1/6 = al-sudus)
5.    Seperdelapan                      (1/8 = al-tsumun)
6.    Dua pertiga                         (2/3 = al-tsulutsain)
Dasar hukum dari al-furudl al-muqaddarah tersebut adalah QS Al-Nisa’ ayat 11-12. Ketentuan tersebut pada dasarnya wajib dilaksanakan, kecuali pada kasus-kasus tertentu, karena ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara konsisten. Misalnya apabila di dalam pembagian warisan terjadi kekurangan harta, maka cara penyelesaiannya adalah masing-masing bagian warisan yang diterima dikurangi secara proporsional, yang secara teknis ditempuh dengan menaikkan angka asal masalah. Masalah ini disebut dengan masalah ‘aul. Demikian juga apabila terjadi kelebihan harta, maka kelebihanharta tersebut pada prinsipnya dikembalikan kepada ahli waris  secara proporsional. Masalah ini disebut dengan masalah radd, yang secara teknis diselesaikan dengan menurunkan angka asal masalah dengan jumlah yang diteriman ahli waris.[8]

       D.    AHLI WARIS ASHAB AL- FURUD
Yang dimaksud dengan ahli waris Ashab al-Furud yaitu ahli waris yang ditetapkan oleh syara’ memperoleh bagian tertentu dari al-furudl al-muqaddarah dalam pembagian harta peninggalan.[9]
Adapun bagian-bagian yang diterima oleh ashab al-furudl adalah sebagai berikut:
1.    Anak perempuan, berhak menerima bagian:
a.    1/2 jika seorang, tidak bersama anak laki-laki.
b.    2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama dengan anak laki-laki.
2.    Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima bagian:
a.    1/2 jika seorang, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak terhalang (mahjub).
b.    2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan mahjub
c.    1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-tsulutsain), jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua orang atau lebih maka ia tidak mendapat bagian.
3.    Ibu, berhak menerima bagian:
a.    1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u warits) atau saudara dua orang atau lebih.
b.    1/6 jika ada far’u warits atau bersama dua orang saudara atau lebih.
c.    1/3 sisa, dalam masalah gharrawain, yaitu apabila ahli waris yang ada tediri dari: suami/istri, ibu, dan bapak.
4.    Bapak, berhak menerima bagian:
a.    1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki.
b.    1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki.
Jika bersama ibu, maka:
a.    Masing-masing menerima 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
b.    1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
c.    1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah diambil untuk ahli waris suami atau istri.
5.    Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a.    1/6 jika seorang.
b.    1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
6.    Kakek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a.    1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki.
b.    1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki tanpa ada anaka laki-laki.
c.    1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain.
d.   1/3 atau bagi rata bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain.
7.    Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a.    1/2 jika seorang, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
b.    2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
8.    Sudara perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
a.    1/2 jika seorang dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
b.    2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah.
c.    1/6 jika besama dengan saudara perempuan sekandung seorang.
9.    Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama. Apabila tidak mahjub, berhak menerima bagian:
a.    1/6 jika seorang.
b.    1/3 jika dua orang atau lebih.
c.    Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung.
10.               Suami berhak menerima bagian:
a.    1/2 jika istri yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu.
b.    1/4 jika istri yang meninggal mempunyai anak atau cucu.
11.               Istri, berhak menerima bagian:
a.    1/4 jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu.
b.    1/8 jika suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu.[10]
Jika seluruh ahli waris tersebut di atas ada semua, maka tidak semuanya menerima bagian. Karena ahli waris yang dekat hubungan kekerabatan, menghijab ahli waris yang jauh. Maka, ahli waris yang dapat menerima bagian adalah:
a.    Anak perempuan                                                1/2
b.    Cucu perempuan garis laki-laki                          1/6
c.    Ibu                                                                     1/6
d.   Bapak                                                                 1/6 + sisa
e.    Istri atau suami                                                  1/8 atau 1/4
Apabila ahli waris laki-laki dan perempuan seluruhnya berkumpul, maka ahli waris yang mendapat bagian adalah:[11]
a.    Anak perempuan           
Bersama-sama menerima sisa
b.    Anak laki-laki
c.    Ibu                                 1/6
d.   Bapak                             1/6
e.    Suami                             1/4 atau istri 1/8

        E.  AHLI WARIS ‘ASHABAH
‘Ashabah adalah bentuk jama’ dari kata “aashib yakni ahli waris yang mendapat harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan karena mendapatkan bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashab al-furudl. Sebagai ahli waris  penerima  bagian sisa, ahli waris ‘ashabah terkadang manerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak manerima sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahil waris.
Di dalam pembagian sisa harta warisan yang memiliki hubungankekerabatan yang berdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara pembagian warisan ini, maka ahli  ‘ashabah yang  peringkat kekerabatannya berada di bawahnya, tidak mendapatkan bagian. Dasar pembagiannya ini adalah perintah Rasulullah, sebagai berikut:
اَلْحِقُوْا اْلفَرَاِئضَ بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لأَوْلىَ رَجُلٍ ذَكَرٍ
Berikanlah warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya dan jika tersisa, maka diberikan kepada ahli waris laki-laki yang lebih berhak menerimanya.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)”[12]

Adapun macam-macam ahli waris ‘ashabah ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
                       1.     ‘ashabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sediri berhak menerima bagian ‘ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang perempuan yang memerdekan hamba sahaya) yaitu:
a)    Bapak
b)    Kakek
c)    Anak Laki-Laki Bapak
d)   Cucu Laki-Laki dari garis laki-laki
e)    Saudara laki-laki sekandung
f)    Saudara laki-laki seayah
g)   anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h)   Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
i)     paman sekandung
j)     paman seayah
k)   Anak laki-laki paman sekandung
l)     Anak laki-laki paman seayah
m)  Mu’tiq dan atau Mu’tiqah (orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan hamba sahaya)
                       2.     ‘ashabah bi al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris penerima ‘ashabah bi al-ghair adalah:
a)    Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
b)   Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
c)    saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
d)   Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.[13]
                       3.     ‘ashabah ma’a al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tetentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris yang menerima bagian ‘ashabah ma’a al-ghair:
a)    Saudara perempuan kandung yang keberadaannya bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak lak-laki. Misalnya seseorang meninggal ahli warisnya terdiri dari seorang anak perempuan, saudara permpuan sekandung dan ibu. Maka begian masing-masing adalah:
1)    Anak perempuan                                                         1/2
2)    Saudara perempuan sekandung                                  ‘ashabah
3)    Ibu                                                                               1/6
b)   Saudara perempuan seayah yang keberadaannya bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.[14] Misalnya, seseorang meninggal ahliwarisnya terdiri dari: seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara perempuan seayah. Maka bagian masing-masing:
1)    Anak perempuan                                             1/2
2)    Cucu perempuan garis laki-laki                       1/6
3)    Dua saudara perempuan seayah                      ‘ashabah

         IV.            KESIMPULAN
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada al-muarris didasarkan pada hubungan darah.[15] Secara umum dapat dikatakan bahwasanya ahli waris nasabiyah itu seluruhnya ada 21 yang terdiri dari 13 kelompok laki- laki dan 8 kelompok perempuan. Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan kewarisannya timbul karena sebab-sebab tetentu, yaitu: sebab perkawinan dan sebab memerdekakan hamba sahaya.
al-furudl al-muqaddarah maksudnya adalah bagian-bagian yang telah ditentukan besar kecilnya di dalam Al-Qur’an. Bagian-bagian tersebut itulah yang akan diterima oleh ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.
Adapun macam-macam al-furudl al-muqaddarah yang diatur secara rinci dalam Al-Qur’an ada enam, yaitu:
a.    Setengah / separoh              (1/2 = al-nisf)
b.    Sepertiga                             (1/3 = al-tsuluts)
c.    Seperempat                         (1/4 = al-rubu’)
d.   Seperenam                          (1/6 = al-sudus)
e.    Seperdelapan                      (1/8 = al-tsumun)
f.     Dua pertiga                         (2/3 = al-tsulutsain)
Sementara itu yang dimaksud dengan ahli waris Ashab al-Furud yaitu ahli waris yang ditetapkan oleh syara’ memperoleh bagian tertentu dari al-furudl al-muqaddarah dalam pembagian harta peninggalan.
‘ashabah adalah ahli waris yang mendapat harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan karena mendapatkan bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashab al-furudl. Sebagai ahli waris  penerima  bagian sisa, ahli waris ‘ashabah terkadang manerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak manerima sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahil waris

    V.            PENUTUP
Demikianlah pemaparan dari kami selaku pemakalah, kami sangat menyadari bahwa baik penulisan maupun penyampaian makalah ini sangat banyak kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif agar supaya kami dan pemakalah lain bisa lebih baik lagi. Dan semoga makalah ini bisa menjadi pelajaran yang baik bagi kita semua. Amin.




[1]Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 59.
[2]Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 61.
[3] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2008)hlm 82.
[4] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, hlm 83.
[5]Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu fiqih, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 54.
[6] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris , hlm 64-65.
[7] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, hlm 84.

[8]Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 65-66.
[9]Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu fiqih, hlm. 70.
[10]Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 67-70.
[11]Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 70.
[12] Muhammad bin Shalih al-Ustmani, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor: Pustaka Ibnu Kasir, 2006), hlm. 96.
[13]Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 73-74.
[14] Muhammad bin Shalih al-Ustmani, Panduan Praktis Hukum Waris, hlm. 97-98.

[15]Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 61.



Baca Juga: Al-Hiwalah
                 Qawa'id Al-Lughawiyyah Al-Asasi
                 Asas-asas Pembelajaran
                 Kerja Keras Bukan Jaminan Sukses?

No comments:

Post a Comment