Dipresentasikan dalam kuliah Naqd al-Hadis
I. PENDAHULUAN
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di
samping Al-Qur’an. Dilihat dari periwayatannya, hadits Nabi berbeda dengan
Al-Qur’an. Al-Qur’an semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir,
sementara hadits sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir
dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Dengan demikian, dilihat dari
segi periwayatan, seluruh ayat Al-Qur’an tidak perlu dilakukan penelitian
tentang orisinalitasnya. Sedangkan hadits Nabi, dalam hal ini yang berkategori ahad,
diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu akan diketahui, apakah hadits yang
bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi
ataukah tidak.[1]
Dalam makalah ini akan membahas masalah yang
berkaitan dengan teknik penyimpulan kualitas hadits, yang di dalamnya mengulas
langkah-langkah dalam menyimpulkan kualitas hadits serta praktek menilai
kualitas hadits.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana langkah penyimpulan kualitas hadits?
B. Bagaimana praktek menilai kualitas hadits?
III. PEMBAHASAN
A.
Langkah
Penyimpulan Kualitas Hadits
Penyimpulan
kualitas hadits merupakan tujuan akhir dari segala langkah dalam penelitian hadits.
Penelitian hadits yang terfokuskan pada penelitian sanad dan matan
memberikan beberapa istilah yang mewakili dari kualitas hadits tersebut, yakni
apakah termasuk hadits sahih, hadits hasan, atau hadits da’if.
Hadits sahih merupakan hadits yang sanadnya bersambung dari awal sampai
akhir, para periwayatnya bersifat adil dan dabit, serta terhindar
dari syuzuz (jenggalan) dan illat (cacat). Sedangkan hadits hasan
adalah hadits yang sanad-nya bersambung dari awal sampai akhir, para
periwayat bersifat adil dan sedikit dabit, dan terhindar dari syuzuz
(jenggalan) dan illat (cacat). Dan hadits da’if adalah hadits
yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat hadits sahih dan hasan.[2]
Untuk
dapat mencapai penyimpulan dari kualitas hadits, terdapat beberapa langkah yang
harus dilaksanakan terlebih dahulu:
a. Takhrij al-Hadits
Takhrij hadits merupakan kegiatan penelitian hadits dengan penelusuran atau
pencarian hadits pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadits yang
bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan
dan sanad hadits yang bersangkutan.[3]
b. I’tibar Sanad
Al-I’tibar adalah kegiatan yang menyertakan sanad-sanad
yang lain dari suatu hadits, dimana hadits tersebut pada bagian sanadnya tampak
hanya terdapat seorang periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad yang
lain dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk
bagian sanad dari sanad hadits tersebut. Tujuan dari al-i’tibar adalah untuk
mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya
pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi’ (periwayat pendukung
dari periwayat yang bukan sahabat Nabi) atau syahid (periwayat pendukung
yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi).[4]
c. Jam’ur Ruwah
Jam’ur Ruwah terdiri dari dua kata,
yakni kata jam’un (جمع) yang berarti himpunan, kumpulan, dan ruwah ( رواة) yang merupakan jama’ taksir dari lafadz rowi yang berarti orang
yang meriwayatkan atau orang yang menceritakan.[5] Jadi
jam’ur ruwah (جمع الرواة) adalah himpunan atau kumpulan para perawi
yang menceritakan atau meriwayatkan apa-apa yang pernah didengar dan
diterimanya dari seorang (gurunya) mengenai hadits-hadits Nabi Muhammad SAW.[6]
d. Ittishal
Sanad
Ittishal sanad atau persambungan sanad adalah tiap-tiap
periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat hadits
terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung sampai akhir sanad dari hadits
itu. Jadi seluruh rangkaian periwayat dalam sanad mulai dari periwayat yang
disandari oleh al-mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang
menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatannya.[7]
Naqd sanad atau penelitian sanad berkisar tentang pembahasan kualitas dari para perawi hadits, apakah perawi-perawi dalam hadits tersebut sudah memenuhi kriteria-kriteria seorang periwayat yakni tentang keadilan dan kedabithannya, juga tentang persambungan sanadnya, apakah antar periwayat bersambung ataukah terputus yakni apabila tidak ada kejelasan antara periwayat satu dengan periwayat yang lain. Kemudian dalam penelitian sanad kita akan meneliti apakah ada syuzuz (kejanggalan) dan ‘illah (cacat) dalam sanad tersebut.[8]
Naqd sanad atau penelitian sanad berkisar tentang pembahasan kualitas dari para perawi hadits, apakah perawi-perawi dalam hadits tersebut sudah memenuhi kriteria-kriteria seorang periwayat yakni tentang keadilan dan kedabithannya, juga tentang persambungan sanadnya, apakah antar periwayat bersambung ataukah terputus yakni apabila tidak ada kejelasan antara periwayat satu dengan periwayat yang lain. Kemudian dalam penelitian sanad kita akan meneliti apakah ada syuzuz (kejanggalan) dan ‘illah (cacat) dalam sanad tersebut.[8]
e. Natijah Sanad
Natijah sanad atau penyimpulan kualitas sanad merupakan
kegiatan akhir penelitian sanad dalam proses penelitian hadits. Penyimpulan
tersebut berisikan natijah (kongklusi) yang didukung dengan
argumen-argumen yang menjelaskan keadaan sanad secara rinci. Isi natijah untuk hadits
yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadits
yang bersangkutan berstatus mutawattir atau berstatus ahad. Untuk hasil
penelitian hadits ahad, maka natijahnya berisi pernyataan bahwa sanad hadits
yang bersangkutan berkualitas shahih, hasan, atau dhoif sesuai dengan apa yang
telah diteliti.[9]
f. Naqd Matan
Kritik matan lazim dikenal sebagai kritik internal, yakni
difokuskan pada teks hadits yang merupakan inti sari dari apa yang pernah
disabdakan oleh Rasulullah, yang ditransmisikan kepada generasi-generasi
berikutnya hingga ke tangan Mukharrij al-hadits, baik secara lafdzi maupun
maknawi.[10]
Kesahihan matan dapat diukur ketika matan hadits tersebut terhindar dari syudzudz
(kejanggalan) dan illah (catat).
B.
Praktek
Menilai Kualitas Hadits
1.
Naqd
Sanad
Meneliti sanad hadits tentang mengatasi kemungkaran:
Langkah pertama: melakukan kegiatan takhrijul hadits
Hadits yang berbunyi من رأى منكم منكرا atau semakna dengannya, menurut hasil
takhrij, hadits tersebut diriwayatkan oleh:
a. Muslim
dalam Shahih Muslim, Juz I, halaman 69;
b. Abu
Daud dalam Sunan Abi Daud, Juz I, halaman 297 dan Juz IV, halaman 123;
c. At
Turmudzi dalam Sunan at Turmudzi, Juz III, halaman 317 – 318;
d. An
Nasa’i dalam Sunan an Nasa’i, Juz VIII, halaman 111 – 112;
e. Ibnu
Majah dalam Sunan Ibnu Majah, Juz I, halaman 406 dan Juz II, halaman 1330;
f. Ahmad
bin Hambal dalam Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz III, halaman 10, 20, 49, 52 – 53,
92.
Keterangan dapat dilihat pada lampiran I
Langkah kedua:
melakukan kegiatan al i’tibar
Hasilnya
dapat dilihat pada lampiran II
Langkah ketiga:
melakukan penelitian sanad
Dalam hal ini, karena sanad hadits yang akan
diteliti berjumlah banyak, maka salah satu sanad yang ada dapat dipilih untuk
diteliti langsung secara cermat.
Sanad
yang dipilih untuk diteliti langsung sebagai contoh dalam kegiatan ini adalah
salah satu sanad Ahmad bin Hambal, yakni yang melalui Yazid. Bunyi riwayat hadits
berdasarkan sanad Ahmad dari Yazid tersebut sebagai berikut:
حَدَثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَثَنِي أَبِي حَدَثَنَا يَزِيْدُ أَخْبَرَنيِ
شُعْبَةُ عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابِ قَالَ: خَطَبَ
مَرْوَانُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فِي يَوْمِ الْعِيْدِ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ إِنَمَا
كَانَتِ الصَّلَاةُ قَبْلَ الخُطْبَةِ فَقَالَ تَرَكَ ذَلِكَ يَا أَبَا فُلَانٍ
فَقَامَ أَبُو سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ فَقَالَ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا
عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَم يَقُوْلُ مَنْ
رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الِإيْمَانِ. ( أخرجه أحمد )
Urutan
nama periwayat hadits riwayat Ahmad di atas ialah:
No
|
Nama Periwayat
|
Urutan Periwayat
|
1.
|
Abu Sa’id al Khudri
|
Periwayat I
|
2.
|
Thariq bin Syihab
|
Periwayat II
|
3.
|
Qais bin Muslim
|
Periwayat III
|
4.
|
Syu’bah
|
Periwayat IV
|
5.
|
Yazid
|
Periwayat V
|
6.
|
Abi ( Ahmad bin Hambal )
|
Periwayat VI
|
7.
|
Abdullah
|
Periwayat VII
|
Yang
menyatakan kata haddasana pada permulaan riwayat di atas adalah murid Abdullah
bin Ahmad bin Hambal, yakni Abu Bakr Ahmad bin Ja’far bin Hamdan bin Malik al
Qati’i, salah seorang periwayat yang menyampaikan riwayat hadits-hadits yang
terhimpun dalam Musnad Ahmad.
Naskah
Musnad Ahmad yang riwayatnya dikutip di atas disandarkan kepada Abdullah bin
Ahmad bin Hambal ( 213 – 290 H ) karena Imam Ahmad bin Hambal telah membacakan
kitab musnadnya itu kepada putranya tersebut. Ahmad bin Hambal sendiri telah
memuji akan kecerdasan dan keahlian Abdullah di bidang hadits.
Al
Khatib al Bagdadi menyatakan bahwa Abdullah itu siqah sabt. Kata an Nasai dan
ad Daraqutni, Abdullah itu siqah. Guru Abdullah di bidang periwayatan hadits di
antaranya ayahnya sendiri, Ibrahim binHijaj as Sami, dan Yahya bin Ma’in.
Murid-murid beliau juga cukup banyak, antara lain an Nasa’i, Abu Zur’ah al
Asfara’ni, dan Abu Bakr al qati’i, yakni Abu Bakr Ahmad bin Ja’far bin Hamdan
bin Malik al Qati’i yang telah menyampaikan riwayat hadits di atas.[11]
Keterangan
tentang kualitas periwayat dan persambungan sanad dapat dilihat dalam tabel
pada lampiran III.
Seluruh
periwayat yang terdapat dalam sanad yang diteliti, masing-masing mereka
bersifat siqah, bahkan sebagian dari para periwayat itu, ke siqahannya
berperingkat tinggi, dan sanadnya dalam keadaan bersambung mulai dari
mukharijjnya sampai kepada sumber utama berita, yakni Nabi Muhammad SAW.
Kekuatan sanad Ahmad yang diteliti makin meningkat bila dikaitkan dengan
pendukung (corroboration) berupa mutabi’. Sanad-sanad yang memiliki mutabi’
terletak pada sanad-sanad pertama, kedua, dan keempat. Secara keseluruhan,
dukungan yang berasal dari sanad-sanad Muslim, at Turmudzi, an Nasai, Abu Daud,
dan Ibnu Majah makin menambah kekuatan sanad Ahmad bila ternyata semua sanad
menambah kekuatan sanad Ahmad bila ternyata semua sanad dari para mukharrij itu
berkualitas sahih juga.
Dengan
alasan-alasan tersebut, sangat kecil kemungkinannya bahwa sanad Ahmad yang
diteliti itu mengandung syudzudz (kejanggalan) ataupun illat (cacat).
Karenanya, telah memenuhi syarat apabila sanad Ahmad yang diteliti itu
dinyatakan terhindar syudzudz dan illat.[12]
Langkah keempat:
mengambil natijah
Hadits
yang diteliti memiliki banyak sanad. Walaupun demikian, hadits tersebut
bukanlah hadits mutawatir, melainkan hadits ahad. Melihat jumlah periwayat yang
terdapat dalam seluruh sanad, hadits tersebut pada periwayat tingkat pertama
berstatus garib dan mulai pada periwayat tingkat keempat dan seterusnya
berstatus masyhur.
Hadits
dapat dikatakan sahih bila memenuhi sepenuhnya lima syarat hadits shahih:
a. Sanad
hadits itu harus bersambung.
b. Para
perawi yang meriwayatkan hadits itu haruslah orang yang bersifat adil
(kepercayaan).
c. Para
perawi yang meriwayatkan hadits itu haruslah bersifat dhabith.
d. Apa
yang berkenaan dengan periwayatan hadits
itu, tidak ada kejanggalan-kejanggalan (syudzudz).
Hasil dari naqd sanad yang dipilih yaitu sanad Ahmad
bin Hambal, yakni yang melalui Yazid ternyata seluruh periwayatnya bersifat
siqah (adil dan dhabith), sanadnya bersambung (muttashil); terhindar dari
syudzudz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat). Dengan demikian, sanad
hadits tersebut berkualitas shahih li dzatih.
2.
Naqd
Matan
a. Susunan Lafal
Hadits yang berbunyi مَنْ رَأى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
diriwayatkan oleh enam mukharrij memiliki keragaman sehingga perlu dilakukan
telaah terhadap berbagai lafal yang ada pada beberapa hadits. Matan hadits pada
sanad Ahmad bin Hambal agak berbeda susunan lafalnya dengan matan riwayat
Muslim. Pada riwayat Muslim awal matannya berbunyi:
مَنْ رَأى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
Sedang awal matan
riwayat Ahmad tersebut berbunyi:
مَنْ رَأى مُنْكَرًا
Perbedaan semacam itu masih dapat di
toleransi sebagai akibat adanya periwayatan hadits secara makna. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh
adanya hadits Nabi yang sampai kepada mukharrij lebih banyak bersifat riwayat
bil al-ma’na daripada bil al-lafdh.
b. Tidak Bertentangan dengan Al-Qur’an
Setelah susunan lafal diteliti, maka
langkah berikutnya adalah meneliti kandungan matan, perlu diperhatikan
matan-matan dan dalil-dalil lain yang mempunyai topik masalah yang sama. Tidak
bertentangan dengan akal yang sehat, tidak bertentangan dengan hukum Al Qur’an
yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap), tidak bertentangan dengan
hadits mutawatir, dan sebagainya sesuai dengan kriteria keshahihan matan.
Dalam hadits di atas dijelaskan perintah untuk mencegah
kemungkaran, menurut akal hal tersebut sangatlah baik, Sehingga
hal itu akan menjadikan pelaku kemungkaran
menerima nasihat yang diberikan baik secara langsung maupun tidak
langsung, karena
dengan mencegah kemungkaran kita akan terhindar dari hal-hal yang buruk.
kesempatan berbuat baik kepada sesama makhluk terbuka luas, dan semua akan
mendapat pahala jika diniatkan untuk mencari keridhaan dari-Nya.[14]
Di dalam Al-Qur’an juga menjelaskan tentang amar ma’ruf nahi
mungkar. Seperti yang tercantum dalam Q.S. Ali Imran: 104.
Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
c.
Tidak
Bertetangan dengan Akal Sehat
Bahwa perintah terhadap amar ma’ruf nahi munkar, tentunya tidak
bertentangan dengan akal sehat. Sebab perintah untuk ber-amar ma’ruf nahi
munkar merupakan keniscayaan di dalam ajaran agama Islam. Dan hal itu juga
tidak bertentangan dengan fakta sejarah, karena ber-amar ma’ruf nahi munkar
telah dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW dan masa-masa selanjutnya hingga
saat ini.[15]
Kualitas matan hanya dikenal dua macam
saja, yakni sahih dan dha’if, maka pada
matan hadits مَنْ رَأى مِنْكُمْ مُنْكَرًا ini, dinyatakan sebagai matan yang
sahih. Karena selain sanad hadits tersebut berkualitas sahih li dzatihi,
susunan lafal matan yang semakna juga tidak ada kejanggalan dan pertentangan
serta kandungan matannya pun sesuai dan sejalan dengan akal yang sehat, hukum
Al-Qur’an yang telah muhkam. Dengan
demikian maka dapat dinyatakan bahwa hadits di atas telah memenuhi persyaratan
matan hadits yang shahih.
d.
Kandungan
Matan
Dalam kitab Syarah al-Nawawi Ala Muslim, Imam al-Nawawi menjelaskan
bahwa dalam rangka amar ma’ruf nahi
munkar tidak disyaratkan bagi orang yang melakukannya mempunyai pribadi yang
sempurna, dalam arti bahwa orang tersebut terlebih dahulu harus melakukan apa
yang diperintahkannya maupun meninggalkan apa yang ditinggalkannya. Kalau
pribadi orang tersebut belum sempurna, maka kewajiban orang tersebut menjadi
ganda, artinya dia wajib mengingatkan dirinya dan orang lain. Para ulama juga
berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya dikhususkan hanya kepada
orang-orang yang berkuasa saja, namun hal itu boleh dilakukan oleh setiap
pribadi muslim.
Tindakan amar ma’ruf nahi munkar juga harus mempertimbangkan kemungkinan
dari akibat yang ditimbulkan. Menurut para ulama, jika menurut prasangkaan yang
kuat bahwa merubah sebuah kemungkaran dapat menyebabkan terjadinya kemungkaran
yang lebih berat, seperti terbunuhnya orang yang melakukan atau orang lain,
maka hal itu hendaknya dihindari dan mencukupkan diri dengan memberi peringatan
atau nasehat untuk meninggalkan kemungkaran tersebut, bahkan jika itupun
menyebabkan celaan dari orang yang berbuat kemungkaran, maka dicukupkan taghyir
al-Munkar dengan hati.
Jika ditemukan orang lain yang mendukung terwujudnya amar ma’ruf nahi
munkar, maka hal itu diperbolehkan dengan catatan tetap tidak menggunakan cara
kekerasan dan jika dimungkinkan terjadinya hal tersebut, maka langkah
selanjutnya jika memungkinkan adalah mengangkat masalah tersebut kepada
pihak-pihak yang berwenang, hal ini sesuai dengan pendapat dari Imam al-Haramain,
dan jika tidak memungkinkan maka mencukupkan diri dengan taghyir al-Munkar
dengan hati (Abu Zakariyah bin Yahya al-Nawawi: II, 1392: 21-22).[16]
IV. KESIMPULAN
Kegiatan akhir dari penelitian hadits yaitu penyimpulan
hadits dalam memilih dan memilah apakah hadits tersebut shahih, hasan atau
dhaif dilihat dari kualitasnya. Secara umum metode penelitian hadits terfokus
dalam dua segi, yaitu sanad dan matan;
1. Naqd
Sanad
Langkah pertama,
melakukan kegiatan takhrijul hadits
Langkah kedua, melakukan kegiatan al i’tibar
Langkah ketiga, melakukan penelitian sanad
Langkah keempat, mengambil natijah
2. Naqd
Matan
Menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463 H/1072
M), suatu matan hadits barulah dinyatakan sebagai maqbul (yang diterima karena
kualitas shahih) apabila:
a. Tidak
bertentangan dengan akal sehat;
b. Tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an;
c. Tidak
bertentangan dengan hadits yang mutawatir;
d. Tidak
bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu
(ulama salaf);
e. Tidak
bertentangan dengan dalil yang pasti;
f. Tidak
bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas shahihnya lebih kuat.[17]
V. PENUTUP
Demikianlah
makalah yang pemakalah susun. Pemakalah berusaha membuat makalah ini dengan
sebaik-baiknya, tetapi kami juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif kami
harapkan demi perbaikan makalah di kemudian hari. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
[7]M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hlm. 111.
[10]Umi Sunbullah, Kritik Hadis:
Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 93
– 94.
[11]M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, hlm. 100 – 101.
[13]M. Syuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 179 – 180.
[14]Khalil Al Musawi, Terapi
Akhlak, (Jakarta: Zaytuna, 2011), hlm. 50.
[15]Hasan
Su’aidi (Dosen Tafsir Hadis Jurusan Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Pekalongan), dalam artikel Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Perspektif Hadits.
[16]Hasan Su’aidi (Dosen Tafsir Hadis
Jurusan Ushuluddin
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pekalongan), dalam artikel Konsep Amar Ma’ruf Nahi
Munkar Perspektif Hadits.
Lampiran I
1.
|
Sahih
Muslim
|
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة.
حدثنا وكيع بن سفيان. ح وحدثنا محمد بن المثنى. حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة
كلاهما عن قيس بن مسلم، عن طارق بن شهاب. وهذا حديث أبي بكر. قال: أول من
بدأ بالخطبة، يوم العيد قبل الصلاة، مروان. فقام إليه رجل. فقال: الصلاة قبل
الخطبة. فقال: قد ترك ما هنالك. فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى ما عليه. سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول "من رأى منكم منكرا فليغيره بيده. فإن
لم يستطع فبلسانه. ومن لم يستطع فبقلبه. وذلك أضعف الإيمان".
|
|
Juz I,
halaman 69
|
|||
كتاب الإيمان
|
|||
باب بيان كون النهي عن المنكر
من الإيمان. وأن الإيمان يزيد وينقص. وأن الأمر بالمعروف، والنهي عن المنكر
واجبان
|
|||
2.
|
Sunan Abi
Daud
|
حدثنا محمد بن العلاء، ثنا
أبو معاوية، ثنا الأعمش، عن إسماعيل بن رجاء، عن أبيه، عن أبي سعيد الخدري، ح
وعن قيس بن مسلم، عن طارق بن شهاب، عن أبي سعيد الخدري قال :أخرج مروان المنبر في يوم
عيد، فبدأ بالخطبة قبل الصلاة، فقام رجل فقال: يا مروان، خالفت السنة، أخرجت
المنبر في يوم عيد ولم يكن يخرج فيه، وبدأت بالخطبة قبل الصلاة، فقال أبو سعيد
الخدري: من هذا؟ قالوا: فلان ابن فلان، فقال: أما هذا فقد قضى ما عليه سمعت رسول
اللّه صلى اللّه عليه وسلم يقول: "من رأى منكرا فاستطاع أن يغيره بيده
فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان".
|
|
Juz I,
halaman 297
|
|||
كتاب الصلاة
|
|||
باب الخطبة يوم العيد
|
|||
Juz IV,
halaman 123
|
حدثنا محمد بن العلاء وهنّاد
بن السري قالا: ثنا أبو معاوية، عن الأعمش، عن إسماعيل بن رجاء، عن أبيه، عن أبي
سعيد، وعن قيس بن مسلم، عن طارق بن شهاب، عن أبي سعيد الخدري قال :سمعت رسول اللّه صلى اللّه
عليه وسلم يقول: "من رأى منكرا فاستطاع أن يغيره بيده فليغيره بيده"
وقطع هنّاد بقية الحديث وفاه ابن العلاء "فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم
يستطع [بلسانه] فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان".
|
||
كتاب الملاحم
|
|||
باب الأمر والنهي
|
|||
3.
|
Sunan At
Tirmidzi
|
حدثنا بندار أخبرنا عبد الرحمن بن
مهدي أخبرنا سفيان عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب قال أول من قدم الخطبة قبل
الصلاة مروان فقام رجل فقال لمروان خالفت السنة فقال يا فلان ترك ما هناك. فقال
أبو سعيد أما هذا فقد قضى ما عليه سمعت رسول اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلم
يقول:
(من رأى منكرا فلينكره
بيده ومن لم يستطع فبلسانه ومن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان) .
|
|
Juz III,
halaman 317 – 318
|
|||
كتاب الفتن
|
|||
بَابُ مَا جَاءَ في تَغييرِ
المُنكرِ باليدِ أو باللِّسانِ أو بالقلبِ
|
|||
4.
|
Sunan An
Nasai
|
أخبرنا محمد بن بشار قال:
حدثنا عبد الرحمن قال: حدثنا سفيان عن قيس بن مسلم، عن طارق بن شهاب قال: قال
أبو سعيد: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من رأى منكرا فليغيره بيده،
فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان.
|
|
Juz VIII,
halaman 111 – 112
|
|||
كتاب الإيمان وشرائعه
|
|||
باب تفاضل أهل الإيمان
|
|||
حدثنا عبد الحميد بن محمد
قال: حدثنا مخلد قال: حدثنا مالك بن مغول عن قيس بن مسلم، عن طارق بن شهاب قال:
قال أبو سعيد الخدري، سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكرا
فيغيره بيده فقد برئ، ومن لم يستطع أن يغيره بيده فيغيره بلسانه فقد برئ، ومن لم
يستطع أن يغيره بلسانه فغيره بقلبه فقد برئ، وذلك أضعف الإيمان.
|
|||
5.
|
Sunan Ibnu
Majah
|
حدثنا أبو كريب. حدثنا أبو
معاوية، عن الأعمش، عن إسماعيل بن رجاء، عن أبيه، عن أبي سعيد. وعن قيس بن مسلم،
عن طارق بن شهاب، عن أبي سعيد. قال: أخرج
مروان المنبر يوم العيد. فبدأ بالخطبة قبل الصلاة. فقام رجل فقال: يا مروان
خالفت السنة. أخرجت المنبر يوم عيد ولم يخرج به. وبدأت بالخطبة قبل الصلاة ولم
يكن يبدأ بها. فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى ما عليه. سمعت رَسُول اللَّهِ
صَلَى اللَّهُ عليه وسلم يقول ((من رأى منكرا فاستطاع أن يغيره بيده. فإن لم
يستطع فبلسانه. فإن لم يستطع بلسانه، فبقلبه. وذلك أضعف الإيمان)).
|
|
Juz I,
halaman 406
|
|||
كتاب إقامة الصلاة والسنة فيها
|
|||
باب ما جاء في صلاة العيدين
|
|||
Juz II,
halaman 1330
|
حدثنا أبو كريب. حدثنا أبو معاوية،
عن الأعمش، عن إسماعيل بن رجاء، عن أبيه، عن أبي سعيد الخدري. وعن قيس بن مسلم،
عن طارق بن شهاب، عن أبي سعيد الخدري؛ قال: أخرج مروان المنبر في هذا اليوم. ولم
يكن يخرج. وبدأت بالخطبة قبل الصلاة, ولم يكن يبدأ بها. فقال أبو سعيد: أما هذا
فقد قض ماعليه. سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((من رأى منكم منكرا. فاستطاع أن يغيره بيده،
فليغيره بيده. فإن لم يستطع، فبلسانه. فإن لم يستطع، فبقلبه. وذلك أضعف
الإيمان)).
|
||
كتاب الفتن
|
|||
باب الأمر بالمعروف والنهي عن
المنكر
|
|||
6.
|
Musnad
Ahmad ibn Hanbal
|
حدثنا عبد الله حدثني أبي
حدثنا أبو معاوية حدثنا الأعمش عن اسمعيل بن رجاء عن أبيه وعن قيس بن مسلم عن
طارق بن شهاب كلاهما عن أبي سعيد الخدري قال :أخرج مروان المنبر في يوم عيد ولم
يكن يخرج به وبدأ بالخطبة قبل الصلاة ولم يكن يبدأ بها قال فقام رجل فقال يا
مروان خالفت السنة أخرجت المنبر يوم عيد ولم يك يخرج به في يوم عيد وبدأت
بالخطبة قبل الصلاة ولم يكن يبدأ بها قال فقال أبو سعيد الخدري من هذا قالوا
فلان بن فلان قال فقال أبو سعيد أما هذا فقد قضى ما عليه سمعت رسول الله صلى
الله عليه وسلم يقول من رأى منكم منكرا فإن استطاع إن يغيره بيده فليفعل وقال
مرة فليغيره بيده فإن لم يستطع بيده فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف
الإيمان.
|
|
Juz III,
halaman 10, 20, 49, 52 – 53, 92
|
|||
مسند أبي سعيد الخدرى رضي الله عنه
|
|||
حدثنا عبد الله حدثني أبي
حدثنا يزيد أخبرني شعبة عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب قال: خطب مروان قبل
الصلاة في يوم العيد فقام رجل فقال إنما كانت الصلاة قبل الخطبة فقال ترك ذلك يا
أبا فلان فقام أبو سعييد الخدري فقال: أما هذا فقد قضى ما عليه سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول من رأى منكرا فليغيره بيده فإن لم ليستطع فبلسانه فإن
لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان.
|
|||
حدثنا عبد الله حدثني أبي
حدثنا عبد الرحمن حدثنا سفيان عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب قال :أول من قدم
الخطبة قبل الصلاة مروان فقام رجل فقال يا مروان خالفت السنة قال ترك ما هناك يا
أبا فلان فقال أبو سعيد أما هذا فقد قضى ما عليه سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلم يقول من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع
فبقلبه وذلك أضعف الإيمان.
|
|||
حدثنا عبد الله حدثني أبي
حدثنا محمد بن عبيد حدثنا الأعمش عن اسمعيل بن رجاء عن أبيه قال:أول من أخرج
المنبر يوم العيد مروان وأول من بدأ بالخطبة قبل الصلاة فقام رجل فقال يا مروان
خالفت السنة أخرجت المنبر ولم يك يخرج وبدأت بالخطبة قبل الصلاة قال أبو سعيد من
هذا قالوا فلان بن فلان قال أما هذا فقد قضى ما عليه سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول من رأى منكرا فإن استطاع أن يغيره بيده فإن لم يستطع فبلسأنه فإن
لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان.
|
|||
حدثنا عبد الله حدثني أبي
حدثنا وكيع حدثنا سفيان عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب قال:أول من بدأ بالخطبة
يوم عيد قبل الصلاة مروان بن الحكم فقام إليه رجل فقال الصلاة قبل الخطبة فقال
مروان ترك ما هنالك أبا فلان فقال أبو سعيد الخدري أما هذا فقد قضى ما عليه سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع
فبلسأنه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان.
|
Lampiran 3
مراجع
|
تصال
|
قول
النقاد
|
روى
عنه
|
روى
عن
|
توفى
|
كنية
ولقب
|
نسب
|
اسم
|
رمز
|
|
ذ ٣ : ٤٧٩-٤٨١
|
متصل
|
سمعت
|
الخاطب :ثقه،أبو
حاتم : ثقه
|
طارق بن شهاب،وعاصم ابن شميخ الغيلاني
|
نبي محمد ص.م ،
جابر بن عبد الله
|
٧٤
|
أبو سعيد الخذري
|
سعد بن مالك بن
سنان بن عبيد بن ثعلبه بن عبيد بن العبجر خدرة بن عوف بن الحرث بن الخجرج
الانصار
|
أبو سعيد الخذري
|
١
|
ذ ٣ : ٢٨٢
|
متصل
|
قال
|
العجلى :وهو ثقة،
يحيي بن معين : وهو ثقة
|
اسماعيل بن ابى
خالد ،وقيس بن مسلم ،ومخا رق الاحمس ، وعلقمة بن مرثد ، وسماك بن
حرب
|
عن الخلفاء الاربعة
،وبلال ، أبي سعيد ، وخالد بن الوليد ، وابن مسعود ، كعب بن عجرة
|
٨٢
٨٣
٨٤
|
ابو عبد الله
الكوفى
|
بن عبد شمس بن هلال
بن سلمة بن عوف بن حشم البجلى الاحمسى
|
طارق بن شهاب
|
٢
|
ذ ٥ : ٤٧٣ - ٧٣٥
|
متصل
|
عن
|
وقال النّسائى : الثقة
، العجلى :وهو ثقة، يحي : كان مرجئا، وهو أثبت من أبي قيس
|
الأعمش ، وشعبة ، والثورى ، ومسعر ، ومالك بن مغول
|
طارق بن شهاب ، الحسن ابن محمد بن الحنفية ، ومجاهد
|
١٢٠
|
ابو عمر الكوفى
|
بن مسلم الجدلى
العدوانى
|
قيس بن مسلم
|
٣
|
ذ ٣ : ١٦٤ -١٦٩
|
متصل
|
عن
|
ابنسعد :ثقة
، كان العجلى:ثقة
|
أيوب ، والأعمش ،
وسعد بن ابراهيم ، ومحمد بن جعفر ، يزيد
بن هارون
|
ابان بن تغلب
، ابراهيم بن عامر بن مسعود ،وقرة بن خالد ، وقيس
بن مسلم،وابراهيم بن محمد
المنتشر ، واسماعيل بن ابي جالد
|
١٦٠
|
أبو بسطامالو اسطى
|
بن الحجاج بن الورد
العتكى الأزدى
|
شعبة
|
٤
|
ذ ١١ : ٣٦٦ - ٣٦٧
|
متصل
|
أخبرني
|
ابن المدين : هو من
الثقات ، أبى معين : ثقة ، العجلى : ثقة ثبت ، ابو حاتم : ثقة
|
احمد بن حنبل، اسحاق بن راهويه ، ويحي ابن معين
|
سليمان التيمى ،
سفيان بن حسير ، شعبة
|
٦.٢
|
ابوخالد
|
بن هارون بن
وادي
|
يزيد
|
٥
|
ذ ٦ : ٧٢ - ٧٦
|
متصل
|
حدثنا
|
النسائى : الثقة
، ابن حبان في الثقات
|
البخار ، مسلم ،
ابو داود ، يحي بن معين ، وابناه عبد الله و صالح
|
سفيان ابن عيينة ،
يحي بن سعيد القطان ، يزيد بن هارون ،
الشافعي
|
٢٤١
|
ابو عبد الله
|
بن محمد بن حنبل بن
هلال بن اسدالشيباني
|
احمد
|
٦
|
No comments:
Post a Comment