Oleh:
Akrom Khasani, dkk
Dipresentasikan dalam kuliah Hadits Tarbawy
I.
PENDAHULUAN
Bekerja bagi
setiap orang merupakan satu kebutuhan, tidak hanya sekedar kewajiban. Hal itu
dikarenakan salah satu fitrah yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada
manusia adalah bekerja. Bekerja merupakan salah satu upaya setiap manusia dalam
rangka untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Baik itu dilakukan guna
memenuhi kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti makan, sandang, papan, maupun
kesenangan.
Tak lupa pula
bahwa sesungguhnya hakekat dari bekerja merupakan sarana demi mencukupi
kebutuhan yang bersifat rohani, yaitu untuk lebih meningkatkan kualitas
keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT. Dan sesungguhnya tujuan utama dari
bekerja tak lain demi mengharapkan Ridlo dari Allah. Dalam islam kita
mengetahui bahwa segala amalan apapun yang kita kerjakan termasuk ibadah, kita
bahkan hidup maupun mati kita hanyalah karena Allah se-mata. Dan kita sendiri
juga sering mengatakan semua amalan dan ibadah kita adalah lillahi ta’ala dan
ditujukan sepenuhnya untuk mendapatkan ridlo dari-Nya.[1]
Dalam makalah
ini akan dibahas mengenai berwirausaha atau bekerja keras mencari nafkah, bekerja
untuk menyeimbangkan dunia dan akhirat, serta bekerja yang halal sesuai dengan
hadits Nabi Muhammad SAW.
II. HADITS
DAN TERJEMAH
A. HADITS
PERTAMA
عن
عاصم بن عبيد الله، عن سالم، عن أبيه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:
<<إن الله يحب المؤمن المحترف>> و في رواية ابن عبدان: <<الشاب
المحترف>> (أخرجه البيهقي)
Artinya: “Dari
‘Ashim bin Ubaidillah, dari Salim, dari bapaknya, berkata : bersabda Rasulullah
SAW.: <<sesunggunya Allah senang kepada orang mukmin yang
profesional(pandai)>> dan didalam riwayat Ibnu ‘Abdan: <<pemuda
profesional>> (HR. Al-Baihaqi)”
Kata
kunci dari hadits tersebut adalah المحترف.
B. HADITS
KEDUA
عن
أنس بن مالك قال، قال رسول الله صلّى الله
عليه و سلّم: ليس بخيركم من ترك دنياه لآخرته و لا آخرته لدنياه حتى يصيب منهما
جميعا فإن الدنيا بلاغ إلى الآخرة و لا تكونوا كلّا على الناس (رواه الديلمى و ابن
عساكر)
Artinya: “Dari
Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “bukanlah orang yang terbaik
diantara kalian, seseorang yang mengabaikan urusan duniawinya demi urusan
akhiratnya, dan bukan pula seseorang yang mengabaikan urusan akhiratnya demi
urusan duniawinya, sehingga ia mendapatkan keduanya secara bersamaan.
Sesungguhnya dunia itu merupakan sarana atau jalan untuk menuju ke akhirat, dan
jangan sekali-kali kalian menjadi beban bagi orang-orang lain.” (HR. Ad-Dailami
dan Ibnu ‘Asakir)”[2]
Kata
kunci dari hadits tersebut adalah بلاغ
dan
كلّا.
C. HADITS
KETIGA
عن
المقدام رضي الله عنه عن رسول الله صلّى الله عليه و سلّم قال ما أكل أحد طعاما
قطّ خيرا من أن يأكل من عمل يده و إنّ نبيّ الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل
يده (أخرجه البخاري)
Artinya: “Dari
Al-Miqdam RA., dari Rasulullah SAW., beliau bersabda: “seseorang yang makan
hasil usahanya sendiri, itu lebih baik. Sesungguhnya Nabi Daud AS., makan dari
hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)”[3]
Kata
kunci dari hadits tersebut adalah قطّ
خيرا dan عمل .
III. PENJELASAN
HADITS
A. BERWIRAUSAHA
ATAU BEKERJA KERAS MENCARI NAFKAH
(إنّ الله يحبّ المؤمن المحترف)
orang
yang bekerja keras dalam mencari kehidupan seperti perindustrian, pertanian dan
perdagangan.[4]
المحترف
yang artinya pekerja yang profesional (pandai) ini yaitu pekerja yang
benar-benar dalam lingkup hubungan yang bersifat horizontal, maka bekerja tidak
akan lepas dari bingkai hubungan sosial, karenanya aturan-aturan yang ada harus
dipatuhi. Etika dalam bekerja tetap harus dijaga. “Carilah kebutuhan hidup
dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu
berjalan menurut ketentuan”(HR. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
Sudah barang
tentu dengan adanya anjuran untuk bekerja, menjadikan setiap umat Islam harus
mencari pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Karena jalan
mendapatkan pekerjaan bermacam-macam, namun yang terpenting adalah pekerjaan
tersebut harus halal dan sesuai dengan landasan syari’ah Islam. Hal itu harus
menjadi pegangan bagi setiap umat Islam dalam menjalani pekerjaan yang ia geluti.
Tanpa hal itu, maka apa yang dilakukan akan terasa sia-sia dan tidak akan
barokah. Dan tentunya jika bekerja tidak dilandasi dengan semangat keimanan dan
ketaqwaan maka yang akan didapat adalah kebahagiaan yang semu.[5]
B. BEKERJA
UNTUK MENYEIMBANGKAN DUNIA DAN AKHIRAT
بلاغ
merupakan sarana dan bekal untuk mencapai pahala akhirat, hal tersebut bagi
orang yang bersyukur. كلّا merupakan beban yang memberatkan orang
lain selain dari orang yang mengharuskan menanggungnya.[6]
Janganlah seseorang meninggalkan perkara akhiratnya karena perkara dunianya,
dan jangan pula ia meninggalkan perkara dunianya karena perkara akhiratnya,
agar ia tidak menjadi beban bagi orang lain.
Al-Ghozali mengibaratkan dunia dan akhirat
sebagai dua wanita yang dimadu, jika seseorang dapat menggembirakan yang satu
maka yang lainnya akan kecewa. Al-ghozali juga mengumpamakan keduanya sebagai
dua arah yang berlawanan, masyriq (timur) dan magrib (barat),
jika seseorang cenderung pada salah satunya maka tetntu akan berpaling dari
yang lainnya. Peumpanaan-perumpamaan seperti ini pada akhirnya berimplikasi
pada konsepsi bahwa dunia sama sekali kontradiktif dengan akhirat, dan dunia
menghalangi seseorang untuk mengerjakan amalan-amalan akhirat (ibadah), sebab
dunia dan akhirat merupakan dua 'wujud' yang tidak dapat disatukan, atau bahkan
tidak mungkin dapat direkonsiliasikan.
Sedangkan Rahman, menganggap ad-dunya
(tujuan-tujuan yang bersifat langsung, yang sekarang, dan yang ada pada
saat ini dalam dunia ini) bukanlah dunia ini, melainkan nilai-nilai atau
keinginan-keinginan rendah yang tampak begitu menggoda sehingga setiap saat
dikejar oleh hampir semua manusia dengan mengorbankan tujuan-tujuan yang lebih
mulia dan berjangka panjang. Dunia
dan akhirat, menurut Rahman, tidaklah
harus dipertentangkan sebab, betapapun, dunia merupakan fase untuk
mengumpulkan "benih-benih" menuju akhirat.[7]
Nabi SAW. pernah
ditanya mengenai dua orang saudara yang salah satunya hanya beribadah saja,
sedangkan yang lainnya pergi ke hutan dengan membawa kapaknya mencari kayu
untuk dijual, dan ia menjamin saudaranya yang hanya beribadah saja itu. Maka
Nabi SAW. menjawab bahwa yang paling baik diantara keduanya adalah orang yang
mencari nafkahnya sendiri. Di dalam hadits lain disebutkan pula bahwa tangan
yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.[8]
Allah telah berfirman dalam QS.
Al-Qashash:77[10]
Artinya: “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
C. BEKERJA
YANG HALAL
(ما أكل أحد طعاما) tidak ada seorangpun dari bani Adam yang
makan suatu makanan. (قطّ خيرا) makanan yang baik. (من أن يأكل من عمل يده)
makanan
yang dihasilkan dari usahanya sendiri itu mempunyai keutamaan tersendiri, ini
sesuai dengan apa yang telah dianjurkan Nabi Muhammad SAW tersebut merupakan
salah satu kewajiban bagi setiap muslim, dan lebih dari itu orang-orang yang
senantiasa mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan kepada orang lain
(dari usaha/keringat sendiri) merupakan sebagaian dari manusia-manusia yang
utama. Dan dalam hal ini Rasulullah juga sangat menghargai orang-orang yang
mempunyai semangat dan giat dalam bekerja. Ini di buktikan Beliau ketika
melihat kedua tangan sahabat Saad bin Muadz yang kasar akibat bekerja keras
langsung dicium oleh Beliau seraya berkata “kaffani yuhibbuhumallahu ta’ala”
inilah dua tangan yang dicintai oleh Allah Ta’ala.[11]
(و أنّ نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده)
karena Nabi Daud AS. adalah seorang pemimpin di bumi, oleh karena itu Nabi Daud
AS. berusaha mencari makanan dengan cara yang lebih baik.
Untuk itu, Nabi
SAW. menceritakan kisahnya dalam situasi prots yang mengemukakan bahwa usaha
sendiri itu lebih baik. Dan Nabi SAW. telah makan dari usahanya sendiri yang
didapat dari harta orang-orang Kafir.[12]
IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bekerja keras
untuk memenuhi kehidupan harus menaati peraturan yang ada dan etika dalam
bekerja harus diterapkan.
Janganlah
bekerja hanya karena akhirat saja, dan jangan pula bekerja karena dunia saja,
oleh karena itu yang terbaik adalah bekerja untuk kebutuhan dunia dan akhirat
sehingga tidak akan membebani orang lain.
Mengambil hasil
dari usaha sendiri itu lebih baik karena merupakan pekerjaan yang halal.
B. SARAN
Demikian makalah yang kami sampaikan. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat
bagi semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diperlukan demi
kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
[2]Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah
Mukhtaarul Ahaadiits (Hadits-hadits Pilihan berikut Penjelasannya), terj.
Moch. Anwar, Anwar Abu Bakar, Ii Sufyana M. Bakri, Cet Ke-I (Bandung: CV. Sinar
Baru Offset, 1993), hal. 740
[3]Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin
Syaraf An-Nawawi, Riyadhus Shalihin Juz 1, terj. Achmad Sunarto, Cet.
Ke-IV, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hal. 516-517
[4]Muhammad Abd Ar-Rauf Al-Manawi, Faidlul
Qadir Syarah Jami’ Ash-Shaghir Min Ahadits Al-Basyir Al-Nadzir Juz 2,
(Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tth), hal. 368
[6]Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah
Mukhtaarul Ahaadiits (Hadits-hadits Pilihan berikut Penjelasannya), terj.
Moch. Anwar, Anwar Abu Bakar, Ii Sufyana M. Bakri, hal. 740-741
[7]Al-Ghazali
dan Fahlur Rahman, Studi
Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer Sibawaihi, (Yogyakarta:
Islamika, 2004),
hlm 291-292
[8]Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah
Mukhtaarul Ahaadiits (Hadits-hadits Pilihan berikut Penjelasannya), terj.
Moch. Anwar, Anwar Abu Bakar, Ii Sufyana M. Bakri, hal. 456
[9]Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani, Bulughul
Maram, (Indonesia: Al-Haramain Jaya, tth), hal. 133
[10]Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah
Mukhtaarul Ahaadiits (Hadits-hadits Pilihan berikut Penjelasannya), terj.
Moch. Anwar, Anwar Abu Bakar, Ii Sufyana M. Bakri, hal. 741
[12]Al-Imam Syihabuddin Abi Al-‘Abbas
Ahmad bin Muhammad Asy-Syafi’i Al-Qusthulani, Irsyadussari Syarah Shahih
Al-Bukhari Juz 5, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tth), hal. 33
No comments:
Post a Comment