Tuesday, November 15, 2016

HADITS TENTANG BERWIRAUSAHA

Oleh:
Akrom Khasani, dkk

Dipresentasikan dalam kuliah Hadits Tarbawy

I.         PENDAHULUAN
Bekerja bagi setiap orang merupakan satu kebutuhan, tidak hanya sekedar kewajiban. Hal itu dikarenakan salah satu fitrah yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada manusia adalah bekerja. Bekerja merupakan salah satu upaya setiap manusia dalam rangka untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Baik itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti makan, sandang, papan, maupun kesenangan.
Tak lupa pula bahwa sesungguhnya hakekat dari bekerja merupakan sarana demi mencukupi kebutuhan yang bersifat rohani, yaitu untuk lebih meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT. Dan sesungguhnya tujuan utama dari bekerja tak lain demi mengharapkan Ridlo dari Allah. Dalam islam kita mengetahui bahwa segala amalan apapun yang kita kerjakan termasuk ibadah, kita bahkan hidup maupun mati kita hanyalah karena Allah se-mata. Dan kita sendiri juga sering mengatakan semua amalan dan ibadah kita adalah lillahi ta’ala dan ditujukan sepenuhnya untuk mendapatkan ridlo dari-Nya.[1]
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai berwirausaha atau bekerja keras mencari nafkah, bekerja untuk menyeimbangkan dunia dan akhirat, serta bekerja yang halal sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW.

II.      HADITS DAN TERJEMAH
A.  HADITS PERTAMA
عن عاصم بن عبيد الله، عن سالم، عن أبيه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: <<إن الله يحب المؤمن المحترف>> و في رواية ابن عبدان: <<الشاب المحترف>> (أخرجه البيهقي)
Artinya: “Dari ‘Ashim bin Ubaidillah, dari Salim, dari bapaknya, berkata : bersabda Rasulullah SAW.: <<sesunggunya Allah senang kepada orang mukmin yang profesional(pandai)>> dan didalam riwayat Ibnu ‘Abdan: <<pemuda profesional>> (HR. Al-Baihaqi)”       
            Kata kunci dari hadits tersebut adalah المحترف.

B.  HADITS KEDUA
عن أنس  بن مالك قال، قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم: ليس بخيركم من ترك دنياه لآخرته و لا آخرته لدنياه حتى يصيب منهما جميعا فإن الدنيا بلاغ إلى الآخرة و لا تكونوا كلّا على الناس (رواه الديلمى و ابن عساكر)
Artinya: “Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “bukanlah orang yang terbaik diantara kalian, seseorang yang mengabaikan urusan duniawinya demi urusan akhiratnya, dan bukan pula seseorang yang mengabaikan urusan akhiratnya demi urusan duniawinya, sehingga ia mendapatkan keduanya secara bersamaan. Sesungguhnya dunia itu merupakan sarana atau jalan untuk menuju ke akhirat, dan jangan sekali-kali kalian menjadi beban bagi orang-orang lain.” (HR. Ad-Dailami dan Ibnu ‘Asakir)”[2]
Kata kunci dari hadits tersebut adalah بلاغ dan كلّا.

C.  HADITS KETIGA
عن المقدام رضي الله عنه عن رسول الله صلّى الله عليه و سلّم قال ما أكل أحد طعاما قطّ خيرا من أن يأكل من عمل يده و إنّ نبيّ الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده (أخرجه البخاري)
Artinya: “Dari Al-Miqdam RA., dari Rasulullah SAW., beliau bersabda: “seseorang yang makan hasil usahanya sendiri, itu lebih baik. Sesungguhnya Nabi Daud AS., makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)”[3]
Kata kunci dari hadits tersebut adalah قطّ خيرا dan عمل .

III.   PENJELASAN HADITS
A.  BERWIRAUSAHA ATAU BEKERJA KERAS MENCARI NAFKAH
(إنّ الله يحبّ المؤمن المحترف) orang yang bekerja keras dalam mencari kehidupan seperti perindustrian, pertanian dan perdagangan.[4]
المحترف yang artinya pekerja yang profesional (pandai) ini yaitu pekerja yang benar-benar dalam lingkup hubungan yang bersifat horizontal, maka bekerja tidak akan lepas dari bingkai hubungan sosial, karenanya aturan-aturan yang ada harus dipatuhi. Etika dalam bekerja tetap harus dijaga. “Carilah kebutuhan hidup dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan”(HR. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
Sudah barang tentu dengan adanya anjuran untuk bekerja, menjadikan setiap umat Islam harus mencari pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Karena jalan mendapatkan pekerjaan bermacam-macam, namun yang terpenting adalah pekerjaan tersebut harus halal dan sesuai dengan landasan syari’ah Islam. Hal itu harus menjadi pegangan bagi setiap umat Islam dalam menjalani pekerjaan yang ia geluti. Tanpa hal itu, maka apa yang dilakukan akan terasa sia-sia dan tidak akan barokah. Dan tentunya jika bekerja tidak dilandasi dengan semangat keimanan dan ketaqwaan maka yang akan didapat adalah kebahagiaan yang semu.[5]

B.  BEKERJA UNTUK MENYEIMBANGKAN DUNIA DAN AKHIRAT
بلاغ merupakan sarana dan bekal untuk mencapai pahala akhirat, hal tersebut bagi orang yang bersyukur. كلّا merupakan beban yang memberatkan orang lain selain dari orang yang mengharuskan menanggungnya.[6] Janganlah seseorang meninggalkan perkara akhiratnya karena perkara dunianya, dan jangan pula ia meninggalkan perkara dunianya karena perkara akhiratnya, agar ia tidak menjadi beban bagi orang lain.
Al-Ghozali mengibaratkan dunia dan akhirat sebagai dua wanita yang dimadu, jika seseorang dapat menggembirakan yang satu maka yang lainnya akan kecewa. Al-ghozali juga mengumpamakan keduanya sebagai dua arah yang berlawanan, masyriq (timur) dan magrib (barat), jika seseorang cenderung pada salah satunya maka tetntu akan berpaling dari yang lainnya. Peumpanaan-perumpamaan seperti ini pada akhirnya berimplikasi pada konsepsi bahwa dunia sama sekali kontradiktif dengan akhirat, dan dunia menghalangi seseorang untuk mengerjakan amalan-amalan akhirat (ibadah), sebab dunia dan akhirat merupakan dua 'wujud' yang tidak dapat disatukan, atau bahkan tidak mungkin dapat direkonsiliasikan.
Sedangkan Rahman, menganggap ad-dunya (tujuan-tujuan yang bersifat langsung, yang sekarang, dan yang ada pada saat ini dalam dunia ini) bukanlah dunia ini, melainkan nilai-nilai atau keinginan-keinginan rendah yang tampak begitu menggoda sehingga setiap saat dikejar oleh hampir semua manusia dengan mengorbankan tujuan-tujuan yang lebih mulia dan berjangka panjang. Dunia dan akhirat, menurut Rahman, tidaklah  harus dipertentangkan sebab, betapapun, dunia merupakan fase untuk mengumpulkan "benih-benih" menuju akhirat.[7]
Nabi SAW. pernah ditanya mengenai dua orang saudara yang salah satunya hanya beribadah saja, sedangkan yang lainnya pergi ke hutan dengan membawa kapaknya mencari kayu untuk dijual, dan ia menjamin saudaranya yang hanya beribadah saja itu. Maka Nabi SAW. menjawab bahwa yang paling baik diantara keduanya adalah orang yang mencari nafkahnya sendiri. Di dalam hadits lain disebutkan pula bahwa tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.[8]
اليد العليا خير من اليد السفلى[9]
Allah telah berfirman dalam QS. Al-Qashash:77[10]

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”


C.  BEKERJA YANG HALAL
(ما أكل أحد طعاما) tidak ada seorangpun dari bani Adam yang makan suatu makanan. (قطّ خيرا) makanan yang baik. (من أن يأكل من عمل يده) makanan yang dihasilkan dari usahanya sendiri itu mempunyai keutamaan tersendiri, ini sesuai dengan apa yang telah dianjurkan Nabi Muhammad SAW tersebut merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim, dan lebih dari itu orang-orang yang senantiasa mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan kepada orang lain (dari usaha/keringat sendiri) merupakan sebagaian dari manusia-manusia yang utama. Dan dalam hal ini Rasulullah juga sangat menghargai orang-orang yang mempunyai semangat dan giat dalam bekerja. Ini di buktikan Beliau ketika melihat kedua tangan sahabat Saad bin Muadz yang kasar akibat bekerja keras langsung dicium oleh Beliau seraya berkata “kaffani yuhibbuhumallahu ta’ala” inilah dua tangan yang dicintai oleh Allah Ta’ala.[11]
(و أنّ نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده) karena Nabi Daud AS. adalah seorang pemimpin di bumi, oleh karena itu Nabi Daud AS. berusaha mencari makanan dengan cara yang lebih baik.
Untuk itu, Nabi SAW. menceritakan kisahnya dalam situasi prots yang mengemukakan bahwa usaha sendiri itu lebih baik. Dan Nabi SAW. telah makan dari usahanya sendiri yang didapat dari harta orang-orang Kafir.[12]

IV.   PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Bekerja keras untuk memenuhi kehidupan harus menaati peraturan yang ada dan etika dalam bekerja harus diterapkan.
Janganlah bekerja hanya karena akhirat saja, dan jangan pula bekerja karena dunia saja, oleh karena itu yang terbaik adalah bekerja untuk kebutuhan dunia dan akhirat sehingga tidak akan membebani orang lain.
Mengambil hasil dari usaha sendiri itu lebih baik karena merupakan pekerjaan yang halal.

B.  SARAN
Demikian makalah yang kami sampaikan. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.



                [1]Johan Arifin, Etika Bisnis Islami, (Semarang: Walisongo press, 2009), hal.71-72
[2]Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah Mukhtaarul Ahaadiits (Hadits-hadits Pilihan berikut Penjelasannya), terj. Moch. Anwar, Anwar Abu Bakar, Ii Sufyana M. Bakri, Cet Ke-I (Bandung: CV. Sinar Baru Offset, 1993), hal. 740
[3]Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Riyadhus Shalihin Juz 1, terj. Achmad Sunarto, Cet. Ke-IV, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hal. 516-517
[4]Muhammad Abd Ar-Rauf Al-Manawi, Faidlul Qadir Syarah Jami’ Ash-Shaghir Min Ahadits Al-Basyir Al-Nadzir Juz 2, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tth), hal. 368
             [5] Johan Arifin, Etika Bisnis Islami, hal.74-75
[6]Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah Mukhtaarul Ahaadiits (Hadits-hadits Pilihan berikut Penjelasannya), terj. Moch. Anwar, Anwar Abu Bakar, Ii Sufyana M. Bakri, hal. 740-741
[7]Al-Ghazali dan  Fahlur Rahman, Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer Sibawaihi, (Yogyakarta: Islamika, 2004), hlm 291-292
[8]Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah Mukhtaarul Ahaadiits (Hadits-hadits Pilihan berikut Penjelasannya), terj. Moch. Anwar, Anwar Abu Bakar, Ii Sufyana M. Bakri, hal. 456
[9]Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani, Bulughul Maram, (Indonesia: Al-Haramain Jaya, tth), hal. 133
[10]Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah Mukhtaarul Ahaadiits (Hadits-hadits Pilihan berikut Penjelasannya), terj. Moch. Anwar, Anwar Abu Bakar, Ii Sufyana M. Bakri, hal. 741
[11] Johan Arifin, Etika Bisnis Islami,(Semarang: Walisongo press, 2009), hal.73
[12]Al-Imam Syihabuddin Abi Al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad Asy-Syafi’i Al-Qusthulani, Irsyadussari Syarah Shahih Al-Bukhari Juz 5, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tth), hal. 33

No comments:

Post a Comment