Dipresentasikan dalam kuliah Ushul Fiqh II
QAWA’ID AL-LUGHAWIYYAH
AL-ASASI
I.
PENDAHULUAN
Dalam
hukum Islam terdapat dua macam kaidah, yaitu kaidah-kaidah ushul fiqh,
yang terdapat di dalam kitab-kitab ushul fiqh yang digunakan untuk
mengeluarkan hukum (takhrij al-ahkam) dari sumbernya al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dan kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general
dari materi fikih dan kemudian di gunakan pula untuk menentukan hukum dari
kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.[1]
Dalam pembahasan
tentang metode penemuan hukum dengan pendekatan hukum (maqoshid syari’at)
telah digambar, bahwa tujuan asy-syari’ dalam menetapkan hukum adalah
semata-mata demi kemaslahatan hamba-hamba-Nya, bukan untuk menyusahkan dan
mempersulit mereka. Oleh karena itu, baik melalui Al-qur’an maupun hadis,
asy-syari’ tidak pernah memerintahkan suatu perbuatan, kecuali karena didalam
perbuatan tersebut terdapat kemaslahatan, meskipun didalam pemerintah tersebut
terkadang terdapat kesulitan yang dalam batas-batas kemampuan manusia untuk
melaksanakan.
Berdasarkan
prinsip inilah pemakalah akan menjelaskan tentang qa’idah Al-Hajah Yanzilu
Manzilatadh Dharurat, qa’idah Ma Ubiha Lidh Dharurah Tuqaddar Biqodariha,
qa’idah Al-Dhararu La Yuzalu Bidh Dharar, qa’idah Al-Irtikabu Bi Akhoffi
al-Dhararain, qa’idah Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih.
II. RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana
qa’idah Al-Hajah Yanzilu Manzilatadh Dharurat?
B. Bagaimana
qa’idah Ma Ubiha Lidh Dharurah Tuqaddar Biqodariha?
C. Bagaimana
qa’idah Al-Dhararu La Yuzalu Bidh Dharar?
D. Bagaimana
qa’idah Al-Irtikabu Bi Akhoffi al-Dhararain?
E. Bagaimana
qa’idah Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih?
III. PEMBAHASAN
A. Qa’idah
Al-Hajah Yanzilu Manzilatadh Dharurat
الْحَاجَةُ
تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
“Kedudukan kebutuhan itu menempati
kedudukan darurat.”
Al-hajah
adalah suatu keadaan yang menghendaki agar seseorang melakukan suatu perbuatan
yang tidak menurut hukum yang seharusnya berlaku, karena adanya kesukaran dan
kesulitan. Perbedaan antara al-dharurat dan al-hajah adalah:
1. Di
dalam kondisi al-dharurat ada bahaya yang muncul, sedangkan dalam
kondisi al-hajah yang ada hanyalah kesulitan atau kesukaran dalam
pelaksanaan hukum.
2. Di
dalam al-dharurat yang dilanggar perbuatan yang haram li dzatihi,
sedangkan dalam al-hajah yang dilanggar adalah haram li ghairihi.
Oleh karena itu,
ada dhabith yang menyebutkan bahwa:
مَا
حُرِّمَ لِذَاتِهِ أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ وَ مَا حُرِّمَ لِغَيْرِهِ أُبِيْحَ
لِلْحَاجَةِ
“Apa yang diharamkan karena zatnya
dibolehkan karena darurat dan apa yang diharamkan karena yang lainnya
dibolehkan karena adanya al-hajah.”
Karena kebolehan
melanggar yang haram inilah, kedudukan al-hajah ditempatkan pada posisi al-dharurat.[2]
Seperti kebolehan pada transaksi salm. Mengingat praktik salm dibutuhkan dalam
masyarakat, maka ditempatkan pada posisi darurat, meskipun bertentangan dengan
qiyas lantaran termasuk kategori jual beli barang yang tidak ada saat transaksi
(bai’ ma’dum). Asy-syari’ telah memberi rukhshah (keringanan)
didalamnya, meski pada dasarnya jual beli seperti ini tidak sah. Nabi Muhammad
SAW membolehkannya dengan mempertimbangkan kebutuhan manusia terhadapnnya guna
menepis rasa berdosa yang mungkin datang jika ia tidak disyariatkan atas orang
yang tidak mempunyai barang ditangannya, sementara ia sangat membutuhkan uang.
Inilah dasar kebolehan transaksi pemesanan pembuatan barang, meskipun ia
termasuk jual beli barang yang tidak ada saat transaksi, melainkan baru diberi
dana untuk proses pembuatannya.[3]
B. Qa’idah
Ma Ubiha Lidh Dharurah Tuqaddar Biqodariha
مَا
أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَاتِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Apa yang dibolehkan karena kemudaratan
diukur sekadar kemudaratan itu saja.”
Syarat-syarat
penting yang harus diperhatikan agar tidak melampaui batas dalam menerapkan
kaidah ini adalah:
1. Kemudaratan
harus benar-benar terjadi bukan diperkirakan akan terjadi
2. Dalam
keadaan darurat yang dibolehkan itu hanya sekedarnya saja
3. Kemudaratan
tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan lain yang sama tingkatannya.[4]
Kaidah tersebut sesungguhnya membatasi
manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti telah
dijelaskan bahwa melakukan yang haram karena darurat tidak boleh melampaui
batas, tapi hanya sekadarnya.[5]
Kaidah tersebut berdasarkan Hadits
Riwayat Ibn Majah dari Ibn Abbas:
لَا
ضَرَرَ وَ لَا ضِرَارَ
“Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan.”
Sesungguhnya kaidah tersebut juga
kembali kepada ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan keadaan terpaksa atau
dipaksa.[6]
Seperti orang yang kelaparan hampir mati hanya boleh makan yang haram sekadar
menyelamatkan diri dari kematian, tidak boleh sampai kenyang.[7]
C. Qa’idah
Al-Dhararu La Yuzalu Bidh Dharar
الضَّرَرُ
لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Kemudaratan tidak boleh dihilangkan
dengan kemudaratan lagi.”
Kemudaratan
tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudaratan lain yang sebanding
keadaannya. Seperti orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang
orang lain yang juga sedang kelaparan.[8]
D. Qa’idah
Al-Irtikabu Bi Akhoffi al-Dhararain
الْإِرْتِكَابُ
بِأَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
“Melaksanakan yang lebih ringan
mudaratnya di antara dua mudarat.”
Kaidah ini merupakan singkatan dari
kaidah:
إِذَا
تَعَارَضَ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ
أَخَفِّهِمَا
“Apabila dua hal yang mafsadah
bertentangan maka perhatikanlah yang mudaratnya lebih besar dengan melaksanakan
yang mudaratnya lebih kecil”
Apabila suatu
perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan
kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya dan salah satu dari kedua bahaya tersebut
lebih besar daripada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan
dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat
yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.[9]
Kaidah ini
menegaskan tentang pilihan terbaik di antara yang buruk. Kemudaratan bisa
ditentukan oleh nash, yaitu seluruh perbuatan yang dilarang oleh agama
adalah mudarat. ‘Izzuddin bin Abd al-Salam menyebutkan bahwa seluruh yang haram
dan yang makruh adalah mafsadah, hanya kadar kemafsadatannya yang berbeda.
Sudah barang tentu kemafsadatan yang diharamkan lebih besar daripada yang
dimakruhkan. Selanjutnya beliau menegaskan bahwa sesungguhnya kemaslahatan
dunia dan akhirat dan sebab-sebabnya serta kemafsadatan dunia dan akhirat,
tidak bisa diketahui kecuali melalui syariah. Apabila ada kesamaran, maka harus
dicari dalam dalil-dalil syara’, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, ijma’,
dan qiyas yang diakui serta mencari dalil (istidlal) yang sahih.
Adapun kemaslahatan dunia semata-mata, sebab-sebabnya serta mafsadah-mafsadahnya,
bisa diketahui dari kemudaratan-kemudaratannya, pengalaman dalam kehidupan,
adat kebiasaan, dan perkiraan yang diakui kebenarannya.[10]
Apabila
seseorang mengambil kayu atau besi milik orang lain, kemudian menggunakannya
untuk membangun rumahnya, sehingga tidak mungkin mengambilnya kecuali dengan
menghancurkan bangunan. Jika nilai bangunan lebih besar dari nilai barang hasil
ghasab (merampas) maka harus mengganti dengan yang senilai. Namun, jika lebih
rendah maka pemilik barang yang diambil berhak menuntut pencabutannya kembali
barangnya dari bangunan tersebut atau menuntut ganti rugi pada pengghasab.[11]
E. Qa’idah
Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak kemudaratan lebih utama
daripada meraih manfaat.”
Kaidah ini
menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama dihadapkan kepada pilihan menolak
kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah
menolak kemafsadatan. Karena dengan menolak kemafsadatan berarti juga meraih
kemaslahatan. Sedangkan tujuan hukum Islam, ujungnya adalah untuk meraih
kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan
membawa manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan
kemudaratan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut maslahat memiliki
kriteria-kriteria tertentu di kalangan ulama, yang apabila disimpulkan,
kriterianya sebagai berikut:
1. Kemaslahatan
itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al-syari’ah, dalil-dalil kulli
(general dari al-Qur’an dan as-Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah
hukum Islam.
2. Kemaslahatan
itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat,
hingga tidak meragukan lagi.
3. Kemaslahatan
itu harus memberi manfaat pada sebagian besar masyarakat, bukan pada sebagian
kecil masyarakat.
4. Kemaslahatan
itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat
dilaksanakan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
Musyawarah Nasional ke VII Tahun 2005, dalam keputusannya No.
6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan kriteria sebagai berikut:
1. Kemaslahatan
menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syariah (maqashid al-syari’ah),
yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al-dharuriyat
al-khams).
2. Kemaslahatan
yang dibenarkan oleh syariah adalah kemaslahatan yang tidak bertentangan dengan
nash.
3. Yang
berhak menentukan maslahat dan tidaknya sesuatu menurut syariah adalah lembaga
yang mempunyai kompetensi di bidang syariah dan dilakukan melalui ijtihad jama’i.
Dalam kehidupan ini, pada umumnya ada
campuran antara manfaat dan mudarat. Dalam hal ini, kita wajib memilih yang
manfaatnya lebih besar ketimbang mudaratnya atau dosanya. Seperti ditegaskan
dalam al-Qur’an bahwa dalam khamr dan judi itu mempunyai manfaat dan mudarat,
tetapi mudaratnya atau dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Oleh karena
itu, khamr dan judi diharamkan oleh syariat Islam. Contoh tersebut mendukung
kepada kaidah menolak yang mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat.[12]
IV. KESIMPULAN
Qa’idah Al-Hajah
Yanzilu Manzilatadh Dharurat adalah Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan
darurat. kondisi al-dharurat ada bahaya yang muncul, sedangkan dalam
kondisi al-hajah yang ada hanyalah kesulitan atau kesukaran dalam
pelaksanaan hukum. Di dalam al-dharurat yang dilanggar perbuatan yang
haram li dzatihi, sedangkan dalam al-hajah yang dilanggar adalah
haram li ghairihi. Qa’idah ma ubiha lidh dharurah tuqaddar biqodariha
adalah Apa yang dibolehkan karena kemudaratan diukur sekadar kemudaratan itu
saja. Kaidah tersebut sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang
dilarang karena kondisi darurat. Qa’idah al-dhararu la yuzalu bidh dharar
adalah kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan lagi. Kemudaratan
tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudaratan lain yang sebanding
keadaannya.
Qa’idah al-irtikabu
bi akhoffi al-dhararain adalah Melaksanakan yang lebih ringan mudaratnya di
antara dua mudarat. Apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu
bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya
dan salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar daripada yang lainnya,
maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil dan sebaliknya.
Qa’idah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih adalah Menolak
kemudaratan lebih utama daripada meraih manfaat. Kaidah ini menegaskan bahwa
apabila pada waktu yang sama dihadapkan kepada pilihan menolak kemafsadatan
atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak
kemafsadatan.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang kami sampaikan. Dengan harapan semoga dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diperlukan demi
kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
[1]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 4.
[2]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hlm. 76.
[3]Nashr Farid Muhammad Washil,
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, terj. Wahyu Setiawan,
(Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 21.
[4]A. Djazuli, Ilmu Fiqh:
Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana,
2010), hlm. 110.
[5]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hlm. 73.
[6]A. Djazuli, Ilmu Fiqh:
Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, hlm. 110.
[7]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hlm. 73.
[8]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hlm. 73-74.
[9]Nashr Farid Muhammad Washil,
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, terj. Wahyu Setiawan, hlm.
20-21.
[10]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hlm. 168.
[11]Nashr Farid Muhammad Washil,
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, terj. Wahyu Setiawan, hlm.
21.
[12]A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hlm. 164-166.
Baca Juga:
I’tibar Al-Sanad
Pentingnya Penelitian Naqd Al-Hadis
Objek Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an
Cara Mengatasi Stres
Ternyata Telinga Berdenging Bukan Tanda Kamu “Digosipin”
Perhatikan 8 Kalimat Ini Saat Kamu Wawancara Kerja
Baca Juga:
I’tibar Al-Sanad
Pentingnya Penelitian Naqd Al-Hadis
Objek Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an
Cara Mengatasi Stres
Ternyata Telinga Berdenging Bukan Tanda Kamu “Digosipin”
Perhatikan 8 Kalimat Ini Saat Kamu Wawancara Kerja
No comments:
Post a Comment