Sunday, November 20, 2016

QAWA’ID AL-LUGHAWIYYAH AL-ASASI

Dipresentasikan dalam kuliah Ushul Fiqh II

QAWA’ID AL-LUGHAWIYYAH AL-ASASI

I.         PENDAHULUAN
Dalam hukum Islam terdapat dua macam kaidah, yaitu kaidah-kaidah ushul fiqh, yang terdapat di dalam kitab-kitab ushul fiqh yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrij al-ahkam) dari sumbernya al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian di gunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.[1]
Dalam pembahasan tentang metode penemuan hukum dengan pendekatan hukum (maqoshid syari’at) telah digambar, bahwa tujuan asy-syari’ dalam menetapkan hukum adalah semata-mata demi kemaslahatan hamba-hamba-Nya, bukan untuk menyusahkan dan mempersulit mereka. Oleh karena itu, baik melalui Al-qur’an maupun hadis, asy-syari’ tidak pernah memerintahkan suatu perbuatan, kecuali karena didalam perbuatan tersebut terdapat kemaslahatan, meskipun didalam pemerintah tersebut terkadang terdapat kesulitan yang dalam batas-batas kemampuan manusia untuk melaksanakan.
Berdasarkan prinsip inilah pemakalah akan menjelaskan tentang qa’idah Al-Hajah Yanzilu Manzilatadh Dharurat, qa’idah Ma Ubiha Lidh Dharurah Tuqaddar Biqodariha, qa’idah Al-Dhararu La Yuzalu Bidh Dharar, qa’idah Al-Irtikabu Bi Akhoffi al-Dhararain, qa’idah Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.  Bagaimana qa’idah Al-Hajah Yanzilu Manzilatadh Dharurat?
B.  Bagaimana qa’idah Ma Ubiha Lidh Dharurah Tuqaddar Biqodariha?
C.  Bagaimana qa’idah Al-Dhararu La Yuzalu Bidh Dharar?
D.  Bagaimana qa’idah Al-Irtikabu Bi Akhoffi al-Dhararain?
E.   Bagaimana qa’idah Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih?
III.   PEMBAHASAN
A.  Qa’idah Al-Hajah Yanzilu Manzilatadh Dharurat
الْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat.
Al-hajah adalah suatu keadaan yang menghendaki agar seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak menurut hukum yang seharusnya berlaku, karena adanya kesukaran dan kesulitan. Perbedaan antara al-dharurat dan al-hajah adalah:
1.    Di dalam kondisi al-dharurat ada bahaya yang muncul, sedangkan dalam kondisi al-hajah yang ada hanyalah kesulitan atau kesukaran dalam pelaksanaan hukum.
2.    Di dalam al-dharurat yang dilanggar perbuatan yang haram li dzatihi, sedangkan dalam al-hajah yang dilanggar adalah haram li ghairihi.
Oleh karena itu, ada dhabith yang menyebutkan bahwa:
مَا حُرِّمَ لِذَاتِهِ أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ وَ مَا حُرِّمَ لِغَيْرِهِ أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ
Apa yang diharamkan karena zatnya dibolehkan karena darurat dan apa yang diharamkan karena yang lainnya dibolehkan karena adanya al-hajah.
Karena kebolehan melanggar yang haram inilah, kedudukan al-hajah ditempatkan pada posisi al-dharurat.[2] Seperti kebolehan pada transaksi salm. Mengingat praktik salm dibutuhkan dalam masyarakat, maka ditempatkan pada posisi darurat, meskipun bertentangan dengan qiyas lantaran termasuk kategori jual beli barang yang tidak ada saat transaksi (bai’ ma’dum). Asy-syari’ telah memberi rukhshah (keringanan) didalamnya, meski pada dasarnya jual beli seperti ini tidak sah. Nabi Muhammad SAW membolehkannya dengan mempertimbangkan kebutuhan manusia terhadapnnya guna menepis rasa berdosa yang mungkin datang jika ia tidak disyariatkan atas orang yang tidak mempunyai barang ditangannya, sementara ia sangat membutuhkan uang. Inilah dasar kebolehan transaksi pemesanan pembuatan barang, meskipun ia termasuk jual beli barang yang tidak ada saat transaksi, melainkan baru diberi dana untuk proses pembuatannya.[3]

B.  Qa’idah Ma Ubiha Lidh Dharurah Tuqaddar Biqodariha
مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَاتِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
Apa yang dibolehkan karena kemudaratan diukur sekadar kemudaratan itu saja.
Syarat-syarat penting yang harus diperhatikan agar tidak melampaui batas dalam menerapkan kaidah ini adalah:
1.    Kemudaratan harus benar-benar terjadi bukan diperkirakan akan terjadi
2.    Dalam keadaan darurat yang dibolehkan itu hanya sekedarnya saja
3.    Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan lain yang sama tingkatannya.[4]
Kaidah tersebut sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti telah dijelaskan bahwa melakukan yang haram karena darurat tidak boleh melampaui batas, tapi hanya sekadarnya.[5]
Kaidah tersebut berdasarkan Hadits Riwayat Ibn Majah dari Ibn Abbas:
لَا ضَرَرَ وَ لَا ضِرَارَ
Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan.
Sesungguhnya kaidah tersebut juga kembali kepada ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan keadaan terpaksa atau dipaksa.[6] Seperti orang yang kelaparan hampir mati hanya boleh makan yang haram sekadar menyelamatkan diri dari kematian, tidak boleh sampai kenyang.[7]

C.  Qa’idah Al-Dhararu La Yuzalu Bidh Dharar
الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan lagi.
Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudaratan lain yang sebanding keadaannya. Seperti orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan.[8]

D.  Qa’idah Al-Irtikabu Bi Akhoffi al-Dhararain
الْإِرْتِكَابُ بِأَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
Melaksanakan yang lebih ringan mudaratnya di antara dua mudarat.
Kaidah ini merupakan singkatan dari kaidah:
إِذَا تَعَارَضَ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
Apabila dua hal yang mafsadah bertentangan maka perhatikanlah yang mudaratnya lebih besar dengan melaksanakan yang mudaratnya lebih kecil
Apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya dan salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar daripada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.[9]
Kaidah ini menegaskan tentang pilihan terbaik di antara yang buruk. Kemudaratan bisa ditentukan oleh nash, yaitu seluruh perbuatan yang dilarang oleh agama adalah mudarat. ‘Izzuddin bin Abd al-Salam menyebutkan bahwa seluruh yang haram dan yang makruh adalah mafsadah, hanya kadar kemafsadatannya yang berbeda. Sudah barang tentu kemafsadatan yang diharamkan lebih besar daripada yang dimakruhkan. Selanjutnya beliau menegaskan bahwa sesungguhnya kemaslahatan dunia dan akhirat dan sebab-sebabnya serta kemafsadatan dunia dan akhirat, tidak bisa diketahui kecuali melalui syariah. Apabila ada kesamaran, maka harus dicari dalam dalil-dalil syara’, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, ijma’, dan qiyas yang diakui serta mencari dalil (istidlal) yang sahih. Adapun kemaslahatan dunia semata-mata, sebab-sebabnya serta mafsadah-mafsadahnya, bisa diketahui dari kemudaratan-kemudaratannya, pengalaman dalam kehidupan, adat kebiasaan, dan perkiraan yang diakui kebenarannya.[10]
Apabila seseorang mengambil kayu atau besi milik orang lain, kemudian menggunakannya untuk membangun rumahnya, sehingga tidak mungkin mengambilnya kecuali dengan menghancurkan bangunan. Jika nilai bangunan lebih besar dari nilai barang hasil ghasab (merampas) maka harus mengganti dengan yang senilai. Namun, jika lebih rendah maka pemilik barang yang diambil berhak menuntut pencabutannya kembali barangnya dari bangunan tersebut atau menuntut ganti rugi pada pengghasab.[11]

E.  Qa’idah Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalih
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak kemudaratan lebih utama daripada meraih manfaat.
Kaidah ini menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama dihadapkan kepada pilihan menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan. Karena dengan menolak kemafsadatan berarti juga meraih kemaslahatan. Sedangkan tujuan hukum Islam, ujungnya adalah untuk meraih kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan membawa manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut maslahat memiliki kriteria-kriteria tertentu di kalangan ulama, yang apabila disimpulkan, kriterianya sebagai berikut:
1.    Kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al-syari’ah, dalil-dalil kulli (general dari al-Qur’an dan as-Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.
2.    Kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hingga tidak meragukan lagi.
3.    Kemaslahatan itu harus memberi manfaat pada sebagian besar masyarakat, bukan pada sebagian kecil masyarakat.
4.    Kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional ke VII Tahun 2005, dalam keputusannya No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan kriteria sebagai berikut:
1.    Kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syariah (maqashid al-syari’ah), yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al-dharuriyat al-khams).
2.    Kemaslahatan yang dibenarkan oleh syariah adalah kemaslahatan yang tidak bertentangan dengan nash.
3.    Yang berhak menentukan maslahat dan tidaknya sesuatu menurut syariah adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syariah dan dilakukan melalui ijtihad jama’i.
Dalam kehidupan ini, pada umumnya ada campuran antara manfaat dan mudarat. Dalam hal ini, kita wajib memilih yang manfaatnya lebih besar ketimbang mudaratnya atau dosanya. Seperti ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa dalam khamr dan judi itu mempunyai manfaat dan mudarat, tetapi mudaratnya atau dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Oleh karena itu, khamr dan judi diharamkan oleh syariat Islam. Contoh tersebut mendukung kepada kaidah menolak yang mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat.[12]

IV.   KESIMPULAN
Qa’idah Al-Hajah Yanzilu Manzilatadh Dharurat adalah Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat. kondisi al-dharurat ada bahaya yang muncul, sedangkan dalam kondisi al-hajah yang ada hanyalah kesulitan atau kesukaran dalam pelaksanaan hukum. Di dalam al-dharurat yang dilanggar perbuatan yang haram li dzatihi, sedangkan dalam al-hajah yang dilanggar adalah haram li ghairihi. Qa’idah ma ubiha lidh dharurah tuqaddar biqodariha adalah Apa yang dibolehkan karena kemudaratan diukur sekadar kemudaratan itu saja. Kaidah tersebut sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Qa’idah al-dhararu la yuzalu bidh dharar adalah kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan lagi. Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudaratan lain yang sebanding keadaannya.
Qa’idah al-irtikabu bi akhoffi al-dhararain adalah Melaksanakan yang lebih ringan mudaratnya di antara dua mudarat. Apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya dan salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar daripada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil dan sebaliknya. Qa’idah dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih adalah Menolak kemudaratan lebih utama daripada meraih manfaat. Kaidah ini menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama dihadapkan kepada pilihan menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan.

V.      PENUTUP
Demikian makalah yang kami sampaikan. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.



[1]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 4.
[2]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, hlm. 76.
[3]Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, terj. Wahyu Setiawan, (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 21.
[4]A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 110.
[5]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, hlm. 73.
[6]A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, hlm. 110.
[7]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, hlm. 73.
[8]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, hlm. 73-74.
[9]Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, terj. Wahyu Setiawan, hlm. 20-21.
[10]A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, hlm. 168.
[11]Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, terj. Wahyu Setiawan, hlm. 21.

No comments:

Post a Comment