Oleh:
Akrom Khasani
Makalah ini
dipresentasikan dalam kuliah Sejarah Peradaban Islam II, yang diampu oleh Dr.
H. Muslih MZ, M.A.
I.
PENDAHULUAN
Perjuangan umat
Islam di Indonesia sangatlah luas, bukan hanya di bidang politik saja, akan
tetapi mencakup berbagai segi kehidupan. Umat Islam Indonesia selalu berusaha
berjuang untuk mendatangkan pengertian lebih baik tentang agama Islam dan untuk
mengurangi kebodohan di kalangan umat. Dalam batasan yang sempit, perjuangan
ini dapat dikatakan terletak di luar bidang politik. Tetapi sesungguhnya, tentu
yang satu tidak sama sekali dapat dipisahkan dari yang lain.[1]
Kita bisa
melihat bagaimana para ulama mencoba menggerakan masyarakat dengan melalui
waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Mereka mendidik
masyarakat supaya motivasinya bangkit kembali di bidang ekonomi perdagangan.[2] Bahkan pasar bukan hanya sebagai
tempat kegiatan jual-beli barang dagangan, tetapi juga dijadikan arena dakwah.
Pesantren kala
itu juga bukan sekadar lembaga pendidikan semata, akan tetapi juga merupakan
lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus sebagai wahana
merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi.[3] Perjuangan umat Islam di
berbagai bidang kehidupan ini saling berkaitan erat sehingga tidak bisa
dipisahkan antarsatu bidang dengan bidang lain.
Untuk itu, dalam
makalah ini akan dibahas beberapa hal menganai bagaimana perjuangan umat Islam
di Indonesia, pengaruh Timur Tengah terhadap pergerakan Islam di Indonesia, dan
organisasi-organisasi yang muncul menjelang dan pasca kemerdekaan.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana
perjuangan kemerdekaan umat Islam di Indonesia?
B. Bagaimana
pengaruh Timur Tengah terhadap
pergerakan Islam di Indonesia?
C. Bagaimana
organisasi politik dan organisasi sosial menjelang dan pasca kemerdekaan?
III.
PEMBAHASAN
A. Perjuangan
Kemerdekaan Umat Islam di Indonesia
1.
Masa
Penjajahan Belanda
Belanda berhasil menghadapi masyarakat Islam di
Nusantara tidak lepas dari keberhasilan Belanda ‘mempelajari’ ajaran Islam di Indonesia.
Perlawanan yang dilakukan masyarakat pribumi diakui Belanda salah satunya
karena diinspirasi oleh ajaran Islam. Hal ini yang disebut Aqib Suminto (dalam Machfud
Syaefudin-Dinamika peradaban Islam)
sebagai politik Islam.
Tokoh utama dan peletak dasarnya adalah Snouck Hurgronje (1857-1936 M) yang berada di Indonesia antara 1889-1906 M.[4]
Namun, penindasan Belanda atas Islam justru
menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas bangsa Indonesia. Islam
juga dijadikan lambang perlawanan imperialisme. Tidak hanya terbatas kalangan grass
root, golongan bangsawan dan sultan pun menyatukan dirinya menunjang
perjuangan Islam. Islam tidak hanya sebagai agama tetapi dihayatinya sebagai way
of life.[5]
a.
Ulama
Pelopor Pembaruan
Munculnya kelompok ulama ini bukanlah hasil dari vooting,
atau dari pengaruh karisma raja, tetapi lahir dari perkembangan Islam itu
sendiri yang memandang ulama sebagai kelompok intelektual Islam. Kehadiran
ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaruan, dan pengaruh
ulama pun semakin dalam setelah berhasil membina pesantren.
Pesantren tidak hanya merupakan lembaga pendidikan,
tetapi juga merupakan lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus
sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang
tinggi. Karena di hatinya telah ditanamkan ajaran jihad untuk membela agama,
negara, dan bangsa dengan harta, ilmu, dan jiwanya. Keyakinan ajaran yang
dijiwai Islam ini merupakan faktor psikologis yang sangat penting dalam
menghadapi apapun.
Sepintas, ulama hanya terlihat sekadar sebagai pembina
pesantren. Akan tetapi peranannya dalam
sejarah cukup militan. Kelanjutan dari pengaruh ulama yang demikian luas tidak
hanya terbatas di bidang politik dan militer saja, melainkan juga bidang
ekonomi. Pasar tidak hanya merupakan kegiatan jual-beli barang dagangan, tetapi
juga dijadikan arena dakwah.[6]
b.
Membangkitkan
Gerakan Nasional
Para ulama mencoba menggerakan masyarakat dengan
melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya
mendidik masyarakat supaya motivasinya bangkit kembali di bidang ekonomi
perdagangan. Untuk keperluan ini, H. Samanhudi (1868-1956 M) mendirikan Serekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober
1905. Setahun kemudian diubahnya menjadi Serekat Islam (SI)
H. Samanhudi dalam usahanya membangkitkan motivasi
ekonomi perdagangan dan politik, tidak menempuh jalan membentuk organisasi
politik. Sebab, saat itu kegiatan partai politik (parpol) dilarang oleh
pemerintah Belanda, karenanya didirikanlah SDI atau SI. Tetapi Belanda
melihatnya dari segi lain, bahwa dengan adanya organisasi atau perserikatan
diartikan sebagai usaha membina persatuan, sebagai cara baru dalam Kebangkitan Islam.
Apalagi aktivitas SDI selanjutnya membentuk kerja sama dagang antara Islam dan
Cina Kong Sing.
Sedangkan Belanda sejak abad ke-18, berusaha
mencegah asimilasi antara Cina dan Islam. Menurut Mansur dalam Menemukan
Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, kesatuan Cina dengan umat Islam akan mudah
dijalaninya, karena latar belakang sejarahnya memudahkan kesatuan tersebut.
Sebagai semisal hubungan umat Islam Cirebon dengan Cina pada abad ke-15, yang
dikisahkan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari bahwa panglima Wai Ping dan
Laksamana Te Bo beserta pengikutnya mendirikan mercusuar di bukit Gunung Jati.
Kesatuan Cina dalam Susuhunan Mataram yang disertai
dengan masuknya Cina ke dalam agama Islam, mengilhami Belanda untuk melahirkan
kebijakan yang berusaha memisahkan asimilasi antara Islam dengan Cina. Cina, di
satu pihak, dicegah untuk mendapatkan monopoli atas tanah dan merampas tanah
milik orang-orang Jawa; di lain pihak, suatu kemajuan menuju asimilasi Cina ke
dalam masyarakat Jawa akan melahirkan kesatuan masyarakat baru, berusaha
dicegah oleh Belanda. Kebijakan Belanda yang mencegah terjadinya asimilasi pada
abad ke-20 adalah terletak pada latar belakang sejarah mereka (Cina dan Indonesia).
Negara Cina juga sedang berjuang menentang imperialism Barat, sedangkan
Indonesai memiliki sejarah yang sama. Karena itu bila terjadi asimilasi berarti
mempercepat proses gulung tikarnya Belanda di Indonesia.[7]
c.
Kesatuan
Islam-Priyayi
Pendekatan Islam terhadap kelompok priyayi
sebenarnya bukan barang baru. Sejak awal persatuan antara Islam (ulama) dengan
priyayi telah terjadi. Hanya politik divide and rule Belanda berhasil
memisahkan keduanya, karena Belanda hanya menghendaki adanya plural society
(masyarakat majemuk) yang tidak bersatu.
Usaha pendekatan Islam dengan kelompok priyayi mulai
dirintis oleh K.H Ahmad Dahlan (1868-1923 M).
Peristiwa ini terjadi sebelum beliau mendirikan Muhammadiyah. Pada 1909 K.H
Ahmad Dahlan mencoba menyampaikan kuliah agama Islam kepada anggota Budi Utomo,
dengan harapan kontak dengan Budi Utomo yang berangotakan priyayi dan
guru-guru, dapat mengembangkan kuliahnya ke seluruh sekolah atau rakyat
bawahannya.
Usaha pendekatan umat Islam terhadap golongan
priyayi pada permulaan abad ke-20 mulai terlihat santer. Ternyata pengangkatan H.O.S
Cokroaminoto (1882-1934 M) sebagai pemimpin SI sangat tepat. Cokro segera
mengadakan reorganisasi, dan SI mulai mendapatkan pengesahan sebagai badan
hukum di depan Notaris B. ter Kuile (10 September 1912). Bila sekilas diamati
apa yang tercantum dalam Statuten
(Anggaran Dasar)-nya, memang terlihat jelas SI bukan merupakan gerakan parpol.
Sekadar seperti hanya memajukan kemauan dagang, menolong kesusahan anggota.
Akan tetapi, garakannya jauh dari apa yang tertulis
dalam Statulen. Jauh di sini adalah
tidak merupakan ormas yang bergerak terbatas pada bidang perdagangan dan sosial
saja. Hanya dalam waktu empat bulan SI telah sanggup mengadakan Kongres I di
Surabaya (26 Januari 1913). Kongres ini mendapatkan dukungan massa rakyat yang
luar biasa. Balanda ketakutan terhadap usaha SI yang berusaha menyadarkan
rakyat akan politik. Pemerintah mulai melarang pembentukan Central Serikat Islam
(CSI) pada 30 Juni 1913.
Namun, larangan ini tidak mempan, CSI dibentuk di
Surabaya (1915). Umat Islam yang tadinya diharapkan oleh pemerintah kolonial
menjadi tunapolitik, justru sekarang bangkit berjuang menyadarkan rakyat untuk
menuntut pemerintah sendiri. Kebangkitan Islam yang demikian menarik perhatian
kaum bangsawan. Di Bandung SI yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M) sebagai
ketua, Abdul Muis (1883-1959 M)
sebagai wakil ketua, dan A. Widiadisastra sebagai sekretaris telah mendapat
dukungan dari Bupati Wiranatakusumah. Kelanjutannya memungkinkan SI
menyelenggarakan Kongres Nasional CSI ketiga di Bandung (17-24 Juni 1916).
Dalam Kongres ini Cokroaminoto mengajak rakyat untuk tidak takut lagi
menyatakan tuntutanya yakni memiliki Pemerintahan sendiri.[8]
2.
Masa
Penjajahan Jepang
Dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya
mempunyai kebijakan politik yang sama dengan Belanda. Jepang memperlihatkan
sikap bersahabat dalam awal pendekatannya. Karena Jepang berpendirian bahwa
umat Islam merupakan powerful forces dalam menghadapi Sekutu. Tetapi
tentara Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam. Mereka lebih menyukai
hubungan langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin parpol. Oleh karena
itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran parpol.
Tindakan Jepang
ini jelas menunjukkan rasa takutnya Jepang terhadap Islam sebagai partai
politik. Tetapi di satu pihak Jepang menyadari potensi umat Islam dalam
menunjang tujuan perang. Sekalipun Jepang tidak menyetujui dan tidak menyukai
berhubungan dengan pemimpin parpol, namun Jepang memerlukan para ulama untuk
membentuk wadah organisasi baru untuk membina ulama dan umat Islam.[9] Oleh karena itu, Jepang
berusaha mengakomodasi dua kekuatan, Islam
dan Nasionalis ”sekuler” ketimbang pimpinan tradisional (raja dan
bangsawan lama).[10]
Jepang berpendapat organisasi-organisasi
Islamlah yang sebenarnya yang mempunyai masa yang patuh dan hanya pendekatan
agama, penduduk Indonesia ini dapat dimobilisasi. Untuk itu,
organisasi-organisasi besar seperti Muhamadiyyah, NU, Persyarikatan Ulama
(Majalengka), dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian dilanjutkan
Majelis Syuro’ Muslimim Indonesia (Masyumi) diperkenankan kembali meneruskan
kegiatannya.[11]
Sekalipun Jepang sangat memerlukan bantuan umat Islam, tetapi timbul rasa takut
terhadap persatuan dan kebangkitan umat Islam. Karenanya perlu diimbangi dengan
pembentukan Pusat Tenaga Rakyat (Putera)[12]
dan gerakan tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin
Asia) yang dibentuk dari golongan Nasionalis seperti Soekarno (1901- 1970 M), Muhammad Hatta (1902- 1980 M), Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M) dan KH. Mas Mansyur (1896-1946 M).[13]
a. Pemberontakan Santri Peta
Jawa Barat yang menyangga kedudukan ibu kota
Jakarta, rakyat-rakyatnya memiliki sikap dan pandangan hidup Islam yang kuat. Jepang
menilai keadaan ini sebagai bom waktu yang berada di bawah tahtanya. Selain
menghadapi Sekutu, Jepang memepersiapkan diri agar dapat mematahkan potensi Islam
Jawa Barat, yang ternyata berakar di desa-desa. Memalui romusha
(prajurit kerja) dan penyerahan padi, Jepang memperkirakan akan dapat melumpuhkan
potensi umat Islam. Ternyata tindakan Jepang dijawab oleh umat Islam dengan
adanya pemberontakan santri di Singaparna, Tasikmalaya, yang dipimpin oleh Zainal
Mustafa (1899-1944 M)
salah satu tokoh NU, yang bercita-citakan menegakkan kebahagiaan rakyat di
dalam negara Islam yang bebas dari kekuasaan asing.
Pemberontakan ini secara fisik berhasil dipadamkan.
Tetapi tiga bulan kemudian pecah lagi pemberontakan santri yang lebih meluas,
yang meliputi kecamatan Lohbener serta Sindang, Indramayu. Dipimpin oleh Haji
Madriyas, Haji Kartiwa, Kiai Srengseng, Kiai Kusen, Kiai Mukasan, dan
kawan-kawannya. Berbulan-bulan tentara dan polisi Jepang membasmi pemberontakan
tesebut. Pemimpin-pemimpinnya berhasil ditangkap dan kemudian ditembak mati.
Seperti dikemukakan di atas, cita-cita pemberontakan
tersebut menginginkan tegaknya kebahagiaan dan negara Islam. Jepang pun segera
memberikan janji kemerdekaan yang sejalan dengan cita-cita tersebut. Perdana
Menteri Koiso dalam sidang Teikoku Gikai ke-85 di Tokyo (7 September 1944)
mengumumkan janji kemerdekaan. Kemudian janji itu disambut oleh Masyumi dengan
menyiarkannya melalui majalah Suara Muslimin Indonesia. K.H.
Wahid Hasyim (1914-1953 M) sebagai Wakil Ketua Masyumi mengadakan
rapat akbar umat Islam di Taman Raden Saleh Jakarta (13-14 September 1944).
Sebenarnya tindakan politik Jepang tersebut
diharapkan mendatangkan output:
1)
Dapat
melokalisasi pemberontakan tersebut terbatas hanya didukung oleh para petani
(santri-ulama) setempat.
2)
Tidak
adanya gerakan solidaritas antar-Muslim anti Jepang.
3)
Meningkatkan
bantuan dan kepercayaan umat Islam terhadap Jepang.
Sementara hal tersebut memang berhasil, kaum
politisi Islam setelah pemberontakan terjadi, mereka sibuk dengan kegiatan
menyambut perkenan kemerdekaan. Tetapi Jepang mengulur waktu pelaksanaan janji. Bagi yang menantikan
sekalipun baru satu tahun, dirasakan terlalu lama.
Tepat setahun kemudian setelah Pembentukan Santri
Sukamanah, di Blitar timbul pemberontakan Peta yang dipimpin Supriyadi (14
Februari 1945). Adapun motivasi yang mendorong terjadinya pemberontakan
tersebut; pertama, tidak tahan melihat penderitaan rakyat; kedua, tidak tahan
melihat kesombongan dan kesewenangan Jepang; ketiga, janji kemerdekaan itu
omong kosong, karena merebut kemerdekaan harus dengan senjata.[14]
b. Umat Islam Merumuskan Pancasila
Sejarah mencatat bahwa umat Islam Indonesia memiliki
peran paling strategis, yakni saat merumuskan dasar negera dan persiapan naskah
UUD 1945 dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei-1Juni 1945, mereka membicarakan
berbagai aspek untuk persiapan kemerdekaan.[15]
Namun, dalam sidang BPUPKI yang pertama ini (29 Mei-1
Juni 1945) tidak mengambil suatu rumusan. Kemudian dibentuklah Panitia Sembilan
terdiri dari: Ir. Sukarno (1901- 1970 M); Drs. Mohammad Hatta (1902- 1980 M); A.A Maramis (1897-1977 M), Abikusno
Cokrosuyoso (1897 – 1968 M), Abdul
Kahar Muzakkir (1920-1965 M), Haji
Agus Salim (1884-1954 M), Ahmad
Subarjo (1896-1978 M), Wahid Hasyim (1914-
1953 M), dan Muhammad
Yamin (1903- 1962 M). Hasil karya dari panitia selesai pada 22 Juni 1945,
yang dinamakan Muhammad Yamin sebagai Piagam Jakarta, yang berisikan rumusan
Pancasila.
1)
Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2)
(menurut
dasar) kemanusiaan yang adil dan beradab;
3)
Persatuan
Indonesia
4)
(dan)
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan;
5)
(serta
dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[16]
Kemudian pada tangal 18 Agustus 1945, kata yang
berbnyi “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
di-“coret” dan diganti hanya dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Satu kalimat yang sangat netral, dan punya banyak makna.[17] Sehingga, tanpa 7 kata
tersebut Piagam Jakarta menjadi bagian resmi Pembukaan UUD 1945 seperti yang
berlaku sekarang ini.
d. Proklamasi dan Resolusi Jihad
Ternyata janji Kemerdekaan Indonesia
dari Jepang tidak pernah kunjung tiba. Nippon Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya
Asia ternyata telah bertekuk lutut kepada sekutu. Umat Islam segera mendesak
kepada Bung Karno dan Bung Hatta untuk tidak ragu-ragu lagi segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa
dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 9 Ramadhan 1364 atau 17
Agustus 1945 di Jakarta.
Dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan
tersebut, pada 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan Resolusi Jihad untuk
mempertahankan tanah air, bangsa, dan agama. Berisikan permohonan kepada
pemerintah RI supaya menentukan sikap dan tindakan nyata serta sepadan terhadap
usaha-usaha yang membahayakan kemerdekaan agama dan Negara Indonesia, terutama
terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya. Sehingga Resolusi Jihad inilah yang
mendorong timbulnya pertempuran antara bangsa Indonesia dengan Inggris di
Surabaya pada 10 November 1945,
Resolusi ini memberikan gambaran kepada
kita bahwa pemerintah RI masih ragu menentukan sikapnya dalam menghadapi usaha
kembalinya Belanda untuk menjajah Indonesia. Sebaliknya, umat Islam dengan
penuh keyakinan dan kemauan siap tempur membela Proklamasi Kemerdekaan.[18]
B. Pengaruh
Timur Tengah terhadap Pergerakan Islam di Indonesia
Benturan-benturan
antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa mereka
memang jauh tertinggal dari Eropa. Pertama yang merasakan hal ini diantaranya,
Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan
Eropa. Kesadaran ini memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak
belajar dari Eropa.
Usaha
untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya – yang dikenal dengan gerakan pembaharuan – didorong oleh
dua faktor yang saling mendukung. Pertama, faktor pemurnian ajaran Islam
dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam,
seperti gerakan Wahhabiyah yang dipelopori oleh Muhammad ibn al-Wahhab
(1703-1787 M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan gerakan
Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi. Kedua,faktor
menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Hal ini
tercermin dalam pengiriman para pelajar Muslim oleh penguasa Turki Usmani dan
Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan
dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam.
Gerakan
pembaharuan itu dengan segara juga memasuki dunia politik. Gagasan politik yang
pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang
mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah. Namun, gagasan
ini baru disuarakan dengan lantang oleh
tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M).[19]
Di
India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal
dengan khilafat juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali (1848-1928 M) adalah
salah seorang pelopornya. Salah satu hal yang sangt menojol dalam
tulisan-tulisan Amir Ali adalah pembelaannya terhadap Islam dari
serangan-serangan, baik dari luar maupun dalam. Di kalangan orientalis Barat,
Amir terkenal sebagai apologi terbesar dari penulis-penulis Muslim. Ia berusaha
untuk membuktikan pada dirinya atau orang lain, bahwa Islam adalah baik.[20]
Pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin serta
tokoh-tokoh lainya bertambah luas. Hiruk pikuk gerakan–gerakan Islam yang
berkembang di timur tengah ( abad 19-20 ) seiring dengan waktu menjalar sampai
di Indonesia yang pada waktu itu semangat nasionalisme baru tumbuh. Pengaruh
pembaharuan itu diterima baik secara langsung (belajar di Makkah dan Mesir )
maupun secara tidak langsung ( melalui majalah al Urwatul Wusqa dan buku-buku
pembaharuan yang lain ).
Roem, dalam bukunya yang berjudul Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI,
menerangkan bahwa pada awal abad ke-20 tercatat beberapa orang Islam Indonesia
pergi ke Tanah Suci dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu agama Islam. Di
antara mereka yang pernah bermukim di Arab ketika itu adalah: Kyai Ahmad
Dahlan, Kyai Mas Mansyur, Syech Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Zamzam, Haji
Muchtar Yahya, dan lain-lain. Nama-nama ini kemudian muncul sebagai tokoh-tokoh
pemverau agama Islam, Kyai Ahmad Dahlan dan Kyai Mas Mansyur sebagai pendiri
dan penggerak Muhammadiyah, Haji Zamzam sebagai pendiri Persatuan Islam.[21]
C. Organisasi
Politik dan Organisasi Sosial Menjelang
dan Pasca Kemerdekaan
1. Organisasi
Menjelang Kemerdekaan
Pada masa kolonial Belanda
perjuangan-perjuangan yang dilakukan umat Islam akibat diberlakukannya politik
etnis yaitu membentuk organisasi-organisasi Islam guna membendung sepak terjang
kolonial Belanda:
a. Budi
Utomo didirikan sebagai suatu perserikatan kebudayaan pada tahun 1908 M. Budi
utomo didirikan dengan tujuan mempertahankan harapan-harapan tinggi kaum
pembaharuan dengan sebuah progam pengembangan diri sendiri yang didasarkan atas
gabungan antara nilai Barat dan nilai Jawa.[22]
b. Sarekat
Dagang Islam (SDI) lahir di Surakarta yang dipelopori oleh Haji Samanhudi.[23]
Berdiri pada tahun 1909 M.[24]
Berdirinya organisasi ini di latar belakangi dengan persoalan ekonomi, khususnya
persaingan yang mengikat antara pengusaha batik pribumi dan orang-orang cina.
c. Sarekat
Islam (SI) didirikan pada tahun 1912 M yang dipelopori oleh HOS Cokroaminoto organisasi ini adalah
sebagai tindak lanjut dari organisasi SDI yang sudah dibubarkan dan organisasi ini pulalah yang
akan meperluas horizon gerak menjadi partai politik. Pada perkembangannya SI dapat
dibagi menjadi dua bagian; Pertama, mereka yang masih berorientasi
borjuis berusaha mencegah sikap radikal terhadap Belanda; Kedua, mereka
yang benar- benar berasal dari kelompok miskin di perkotaan, semakin melawan
Belanda kalangan dari kelompok kedua ini nantinya bergabung dengan ISDV.[25]
Dan mendirikan partai komunis yang pertama di Indonesia (1920 M.) kelompok ini
berorientasi melindungi kelompok miskin dan para buruh mereka sangat radikal
terhadap kolonial Belanda.[26]
d. Muhammadiyah
didirikan di Yogyakarta pada tahun1912 oleh KH Ahmad Dahlan, yang bergerak
dalam bidang pendidikan, dakwah kemasyarakatan. Tujuan didirikan organisasi ini
adalah untuk membebaskan umat Islam dari segala bidang kehidupan yang
menyimpang dari kemurnian ajaran Islam, dan terkenal sebagai organisasi yang
modernis, Muhammadiyah tampil untuk
memperjuangkan nasib umat Islam dan memajukan kehidupan keagamaan umat Islam.[27]
e. Nahdlatul
Ulama berangkat dari kalangan tradisionalis KH. Hasyim Asy’ari (1875-1947 M) mengembangkan organisasi Nahdlatul Ulama pada
1926 M. bertepatan pada tanggal 31 Januari atau 16 Rajab 1345 H. Sebab-sebab
lahirnya organisasi ini
1) Sebab
langsung, yaitu seruan kepada penguasa Arab saudi, Ibn Saud untuk meninggalkan
kebiasaan beragama tradisi. Golongan ini tidak menyukai Wahabisme.
2) Sebab
tidak langsung yaitu pemikiran golongan tradisi selalu bertentangan dengan
golongan pembaharuan.[28]
2.
Organisasi Pasca Kemerdekaan
Proklamasi
kemerdekaan pada 1945 memberikan kesempatan yang sama bagi rakyat Indonesia
untuk berpartisipasi dalam politik. Berbagai aliran politik dapat dengan bebas
membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi.[29]
Diantaranya yaitu:
a. Masyumi (7 November 1945)
Masyumi
ini berbeda dengan Masyumi pada zaman Jepang, Masyumi November ini dibentuk dan
didirikan oleh umat Islam sendiri tanpa campur tangan pihak luar, sekalipun
nama lama tetap dipakai. Masyumi ini dimaksudkan sebagai partai persatuan umat
Islam. Partai ini terdiri dari anggota perorangan dan sejumlah organisasi
non-politik sebagai “anggota luar biasa”, seperti NU, Muhammadiyah, dan
beberapa organisasi Islam lokal lainnya. Ketua Masyumi pertama adalah Dr.
Sukiman (1898-1974 M) tokoh PSII.
b. Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII)
Pada
Juli 1947, unsur PSII meninggalkan Masyumi dan menyatakan dirinya kembali
sebagai partai politik independen. Alasan keluarnya PSII, di bawah pimpinan
Wondoamiseno (1891-1952 M) dan Aruji Kartawinata (1905- 1970 M) ini berkaitan dengan politik dalam
kabinet. Dengan keluarnya itu, PSII diharapkan dapat duduk dalam kabinet sayap
kiri Amir Syarifuddin, karena Masyumi bersikap sebagai oposisi.
c. Nahdlatul Ulama (NU)
Pada
1952 NU mengikuti jejak PSII meninggalkan Masyumi, NU mengubah dirinya sebagai
organisasi gerakan sosial-keagamaan menjadi partai politik yang berdiri
sendiri. Keluarnya NU ini menguncangkan Masyumi, karena NU mempunyai basis massa
yang cukup besar. Faktor penyebab mundurnya NU dari Masyumi, sebagaimana yang
dikatakan oleh Wahid Hasyim, adalah tersinggung perasaan dan adanya
pertimbangan-pertimbangan taktis. Namun, penyebab langsung dari kasus ini
adalah masalah perebutan jabatan menteti agama dalam kabinet Wilopo-Prawoto
(April 1952 - Juli 1953).[30]
IV.
KESIMPULAN
Keberhasilan Belanda menghadapi masyarakat Islam di
Nusantara tidak lepas dari keberhasilan Belanda ‘mempelajari’ ajaran Islam di
Indonesia. Belanda mengakui bahwa perlawanan yang dilakukan masyarakat pribumi
salah satunya karena diinspirasi oleh ajaran Islam. Namun, penindasan Belanda
atas Islam justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas
bangsa Indonesia. Islam juga dijadikan lambang perlawanan imperialisme. Tidak
hanya terbatas kalangan grass root, golongan bangsawan dan sultan pun
menyatukan dirinya menunjang perjuangan Islam. Islam tidak hanya sebagai agama
tetapi dihayatinya sebagai way of life.
Masa Jepang pun demikian, dalam menghadapi umat
Islam, Jepang sebenarnya mempunyai kebijakan politik yang sama dengan Belanda.
Hanya dalam awal penedekatannya, Jepang memeprlihatkan sikap bersahabat. Karena
Jepang berpendirian bahwa umat Islam merupakan powerful forces dalam
menghadapi Sekutu. Tetapi tentara Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam.
Mereka lebih menyukai hubungan langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin
parpol. Oleh karena itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran parpol.
Selain itu, pergerakan Islam di Timur Tengah
ternyata membawa dampak yang positif bagi pergerakan di Indonesia. Pembaharuan
yang dilakukan oleh Jamaluddin dan tokoh-tokoh lainya bertambah luas. Hiruk
pikuk gerakan–gerakan Islam yang berkembang di Timur Tengah ( abad 19-20 )
seiring dengan waktu menjalar sampai di Indonesia yang pada waktu itu semangat
nasionalisme baru tumbuh. Pengaruh pembaharuan itu diterima baik secara
langsung (belajar di Makkah dan Mesir ) maupun secara tidak langsung ( melalui
majalah al Urwatul Wusqa dan
buku-buku pembaharuan yang lain ).
Organisasi
dan partai yang muncul menjelang kemerdekaan di antaranya: Budi Utomo, Sarekat
Dagang Islam (SDI), Sarikat Islam (SI),
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama. Kemudian organisasi yang muncul pasca
kemerdekaan, di antaranya yaitu; Masyumi, Masyumi
ini berbeda dengan Masyumi pada zaman Jepang, Masyumi ini dimaksudkan sebagai
partai persatuan umat Islam; Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), setelah
keluar dari Masyumi PSII membentuk satu partai yang independen; Nahdlotul
Ulama, mengikuti jejak PSII, NU mengubah dirinya sebagai organisasi gerakan
sosial-keagamaan menjadi partai politik yang berdiri sendiri.
Jika diperhatikan, ternyata munculnya partai-partai
justru setelah adanya proklamasi kemerdekaan. Sementara pada masa penjajahan
lebih di dominasi oleh organisasi-organisasi sosial dan keagamaan. Hal ini
berhubungan dengan pasal 28 UUD 1945.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang
pemakalah susun. Pemakalah berusaha membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya,
tetapi kami juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan
demi perbaikan makalah di kemudian hari. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua. Amin.
[1]Mohammad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI,
(Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 220.
[2]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan
Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.
244.
[3]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, hlm. 238.
[4]Machfud Syaefudin, Dinamika
peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm. 283.
[5]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, hlm. 237.
[6]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, hlm. 238-239.
[7]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, hlm. 244-246.
[8]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, hlm. 247-249.
[9]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, hlm. 254-256.
[10]Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra , 2009), hlm. 234.
[11]Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), hlm. 263.
[12]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, hlm. 256.
[13]Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 235.
[14]Ahmad Mansur Suryanegara,
Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, hlm. 263-265.
[15]Hasan Muarif Ambary, Menemukan
Peradaban, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 315.
[16]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, hlm. 266-267.
[17]Saifullah, Sejarah dan
Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Peajar, 2010), hlm.
33.
[18]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, hlm. 268.
[19]Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 184-185.
[20]Mukti Ali, Alam Pemikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan,
1993), hlm. 143.
[21]Mohammad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI,
hlm. 221.
[23]Machfud Syaefudin, Dinamika
peradaban Islam .hlm 294.
[25]Indische Social Democratische
Vereniging atau Persatuan Sosial Demokrat Indonesia didirikan oleh Sneevlier pada tahun 1914.
[26]Machfud Syaefudin, Dinamika
peradaban Islam, hlm 295.
[27]Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan
Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 176.
[28]Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, hlm 234.
[29]Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 126.
nama saya Maria Fadhlan dari Ajman di UEA, saya adalah korban penipuan di tangan pemberi pinjaman, saya menipu $ 2000 karena saya butuh pinjaman $ 90.000 untuk modal usaha dan hutang. Saya hampir mati, saya tidak punya tempat untuk pergi, dan bisnis saya hancur dalam proses yang diterimanya. semua ini terjadi pada bulan Maret 2019, sampai saya bertemu seseorang online minggu lalu yang bersaksi tentang pemberi pinjaman jadi saya mengajukan pertanyaan dan dia memperkenalkan saya kepada seorang ibu yang baik yang akhirnya membantu saya mendapatkan pinjaman tanpa jaminan $ 90.000 dengan suku bunga rendah di RIKA ANDERSON PERUSAHAAN PINJAMAN. Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk berterima kasih kepada Anda ibu Rika, semoga Allah terus memberkati Anda Ibu Rika atas kejujuran dan perbuatan baik Anda. jika Anda memerlukan pinjaman dan pinjaman tanpa jaminan cepat hubungi ibu Rika melalui perusahaan, W / S: +19147057484 Anda dapat menghubungi saya juga melalui mariafadhlan@gmail.com
ReplyDelete