I.
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang sangat sempurna dan komprehensif, mencakup dan mengatur segala urusan kehidupan manusia
baik yang bersifat hablu minallah (ibadah) ataupun hablu minannas
(muamalah).
Di antara bentuk muamalah yang diatur dalam Islam
adalah masalah pengalihan utang, dalam istilah syariah dikenal dengan sebutan “al-hiwalah”.
Hiwalah
merupakan suatu akad yang dibolehkan oleh syara’ karena dibutuhkan oleh
masyarakat. Hal ini karena akad hiwalah dapat membebaskan seseorang dari
belenggu utang yang tak kunjung lunas karena ketidakmampuan membayarnya.
Akad hiwalah didasari
oleh rasa saling tolong-menolong, di dalamnya terdapat penetapkan
pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain. Untuk
lebih jelasnya, akan dipaparkan
permasalahan seputar hiwalah dalam pembahasan berikut ini.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
Pengertian Hiwalah ?
B. Bagaimana
Dasar Hukum Hiwalah?
C. Bagaimana
Rukun dan Syarat Hiwalah?
D. Bagaimana
Macam-Macam Hiwalah?
E. Bagaimana Aplikasi Hiwalah dalam Institusi
Keuangan?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hiwalah
Menurut
bahasa yang dimaksud
Hiwalah ialah al-
intiqa’ dan al- tahwil,
artinya memindahkan atau mengoperkan. Abdurrahman al- Jaziri berpendapat bahwa yang
dimaksud hiwalah menurut bahasa ialah:
اَلنَّقْلُ
مِنْ مَحَلِّ اِلَى مَحَلٌ
“pemindahan
dari tempat satu ketempat yang lain.”
Sedangkan
pengertian hiwalah menurut
istilah, para ulama berbeda-beda dalam
mendefisinikannya, antara lain sebagai berikut:
1.
Menurut Hanafiyah yang dimaksud hiwalah
ialah
نَقْلُ
الْمُطَا لَبَةِ مِنْ ذِمَّةِ الْمَدْيُوْنِ اِلَى ذِمَّةِ الْمُلْتَزَمِ
“memindahkan
tagihan dari tanggug jawab yang berutang kepada yang lain
yang mempunyai tanggung jawab
kewajiban pula.”
2.
Syihab Al-Din Al
qalyubi berpendapat yang dimaksud hiwalah adalah:
عَقْدٌ
يَقْتَضِى اِنْتِقَا لٌ دِيْنٍ مِنْ ذِمَّةٍ اِلَى ذِمَّةٍ
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada orang lain."
3. Muhammad
Syatha al-Dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah:
عَقْدٌ
يَقتَضِى تَحْوِيْلَ دَيْنٍ مِنْ ذِمَّةٍ اِلَى ذِمَّةٍ
“Akad
yang menetapkan pemindahan hutang dari beban seseorang menjadi beban orang lain."
4. Menurut
Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hiwalah ialah pemindahan dari
tanggungan mukhil menjadi tanggungan muhal ‘alaih.[1]
Dari
definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa hiwalah adalah pemindahan
hak berupa utang dari orang yang berutang (al-mudin) kepada orang lain yang
dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.[2]
B.
Dasar Hukum Hiwalah
Hiwalah
merupakan suatu akad yang dibolehkan oleh syara’ karena dibutuhkan oleh
masyarakat. Hal ini didasarkan kepada hadist Nabi
yang diriwiyatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasullah SAW bersabda:
مَطْلُ
الْغَنِيِّ ظُلْمّ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدَكُمْ عَلَى مُلِيْءٍ فَلْيَتَّبِعْ
Menunda-nunda pembayaran oleh orang kaya adalah penganiayaan,
dan apabila salah seorang di antara kamu diikutkan (dipindahkan) kepada orang
yang mampu, maka ikutilah.(HR. Al- Bukhori dan Muslim)
Hadist
tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada pemilik utang (ad-dain),
apabila utangnya dipindahkan kepada
orang lain yang kaya dan mampu, hendaklah pemindahan
tersebut diterima. Dengan demikian,
penagihan hutang berpindah dari al-mudin kepada muhal ‘alaih.
Di
samping hadist tersebut dasar hukum hiwalah
adalah ijma’. Semua ulama’ sepakat
tentang dibolehkannya hiwalah dalam utang, bukan pada barang.[3]
C. Rukun
dan Syarat Hiwalah
1. Rukun
Hiwalah
Menurut Hanafiyah rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab
dari orang yang memindahkan (al-muhil) dan qabul dari orang yang
di pindahkan (al-muhal) dan yang dipindahi utang (al-muhal ‘alaih).dilakukukan
antara yang menghiwalahkan dengan
menerima hiwalah.
Sedangkan
menurut syafi’iyah, rukun hiwalah ada empat antara lain:
a. Muhil,
yaitu orang yang menghiwalahkan atau memindahkan hutang.
b.
Muhal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang
mempunyai hutang kepada muhil.
c. Muhal
‘alaih yaitu orang yang menerima hiwalah.
d.
Shighat
hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya “aku hiwalahkan
utangku yang hak bagi engkau kepada aku” dan kabul dari muhal
dengan kata-katanya.“aku terima hiwalah engkau”.[4]
2. Syarat-Syarat Hiwalah
Menurut hanafiyah
syarat-syarat hiwalah ialah:
a. Orang
yang memindahkan hutang (muhil) adalah orang yang
berakal.
b. Orang
yang menerima hiwalah (muhal) adalah orang yang
berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan orang yang tidak berakal.
c. Orang
yang dihiwalahkan (muhal ’alaih) harus berakal.
d. Adanya
utang muhil kepada muhal alaih.
Menurut Sayyid Sabiq syarat
hiwalah itu ada empat antara
lain:
a.
Relanya pihak muhil
dan muhal tanpa muhal ‘alaih,
jadi yang harus rela itu muhil dan muhal. Bagi muhal ‘alaih rela
maupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga
yang mengatakan bahwa muhal tidak disyaratkan rela, yang harus rela
adalah muhil, hal ini karena Rasullah bersabda:
إِذَاأُحِيْلَ أَحَدُ كُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتَّبِعْ
“Dan jika salah
seorang diantara kamu dihiwalkan kepada orang yang kaya, maka terimalah.”
b. Samanya
kedua hak, baik
jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitas.
c. Stabilnya
muhal’alaih, maka penghiwalan
kepada seorang yang tidak mampu membayar hutang adalah batal.
Adapun syarat-syarat hiwalah
berkaitan dengan muhil, muhal, muhal ‘alaih, dan muhal bih adalah
sebagai berikut.
a.
Syarat-syarat Muhil
1) muhil harus memiliki kecakapan untuk melakukan
akad, yaitu ia harus baligh dan berakal, hiwalah yang dilakukan oleh
orang gila dan anak yang dibawah umur hukumnya tidak sah.
2) persetujuan muhil. Dengan demikian, apabila ia
dipaksa untuk melakukan hiwalah maka hiwalah tidak sah. Hal
tersebut dikarenakan hiwalah adalah pembebasaan yang didaalamnya
teekandung kepemilkan sehingga apabila dilakukan karena adanya paksaan maka
akad akan fasid. Syarat muhil ini disepakati oleh Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah
b.
Syarat-Syarat Muhal
1) muhal harus memiliki kecakapan untuk melakukan
akad, yaitu berakal dan baligh
2) persetujuan,
apabila muhal tidak menyetujui pemindahan utang tersebut maka hiwalah
tidak sah.
3) pernyataan
qabul dari muhal harus diucapkan di dalam majelis akad hiwalah.
c.
Syarat-Syarat Muhal
Alaih
1)
Muhal Alaih harus memiliki kecakapan
untuk melakukan akad, yakni berakal dan baligh
2)
muhal alaih setguju atas pemindahan utang teresebut.
3)
qabul diucapkan di
dalam majelis akad.
d.
Syart-Syarat
Muhal Bih
1)
Muhal bih harus berupa utang, yakni utang muhil kepada muhal.
Apabila objeknya bukan utang, maka akadnya bukan hiwalah, melainkan wakalah.
2)
Utang tersebut
adalah utang yang sudah tetap.
Sedangkan Malikiyah menetapkan
tiga syarat untuk muhal bih, yaitu:
1)
Utang yang menjadi
objek hiwalah adalah utang yang sudah mantap.
2)
Utang yang menjadi
objek hiwalah (yang dipindahkan) harus sama dengan utang yang ada pada muhal
alaih, baik sifatnya maupun ukurannya.
3)
Kedua utang
tersebut atau salah satunya bukan makanan yang berasal dari pesanan (salam).
Akad Hiwalah dapat berakhir karena beberapa hal,
yaitu dipengaruhi sebagai berikut.
a.
Akad hiwalah
telah fasakh. Apabila akad hiwalah telah fasakh (batal),
maka hak muhal untuk menuntut utang kepada muhil. Pengertian fasakh
dalam istilah fuqaha adalah berhentinya akad sebelum tujuan akad
tercapai.
b.
Hak muhal
(utang) sulit untuk dapat kembali karena muhal alaih meninggal dunia,
boros, atau lainnya. Dalam keadaaan semacam ini, urusan penyelesiaan utang
kembali kepada muhil. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyah.
Akan tetapi, menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, apabila akad hiwalah
telah sempurna dan hak sudah berpindah serta disetujui oleh muhal maka
hak penagihan tidak kembali kepada muhil, baik hak tesebut bisa dipenuhi
atau tidak karena meninggalnya muhal ’alaih atau boros. Apabila dalam
pemindahan tersebut terjadi gharar (penipuan), menurut Malikiyah, hak
penagihan utang kembali kepada muhil.
c.
Penyerahan harta
oleh muhal ‘alaih kepada muhal. Hal ini cukup jelas karena tujuan
hiwalah, yaitu diterimanya harta sudah tercapai.
d.
Meninggalnya
muhal dan muhal ‘alaih mewarisi harta hiwalah. Hal ini dikarenakan
warisan merupakan salah satu sebab kepemilikan atas harta. Dengan demikian, muhal
‘alaih secara otomatis memiliki utang yang dipindahkan tersebut.
e.
Muhal menghibahkan harta kepada muhal alaih dan ia
menerimanya.
f.
Muhal menyedahkan harta kepada muhal alaih dan ia
menerimanya sedekah tersebut.
D. Macam-Macam
Hiwalah
Mazhab Hanafi membagi al-hiwalah dalam beberapa
bagian, ditinjau dari segi objek akad, al-hiwalah
dibagi menjadi dua jenis:
1. Hiwalah al-haq(pengalihan
hak piutang), yaitu apabila yang dialihkan itu merupakan hak untuk menuntut
pembayaran utang.
2. Hiwalah ad-dain
(pengalihan utang), yaitu apabila yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk
membayar utang.
Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi menjadi dua
jenis:
1. Al-hiwalah al-muqayyadah (pengalihan bersyarat), yaitu pengalihan sebagai
ganti dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal
(pihak kedua). Sebagai contoh: A memberi
piutang kepada B sebesar 5 juta, sedangkan B memberi piutang kepada C sebesar 5
juta. Kemudian, B mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada
C kepada A, sebagai ganti pembayaran utang B kepada A. Dengan demikian, al-hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi
merupakan hiwalah al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A
(pengalihan hak). Pada sisi lain, al-hiwalah al-muqayyadah sekaligus merupakan
hiwalah ad-dain karena kewajiban B kepada A dialihkan menjadi kewajiban C
kepada A (pengalihan utang).
2. Al-hiwalah al-muthlaqah (pengalihan mutlak), yaitu pengalihan utang yang
tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran utang muhil (pihak pertama)
kepada muhal (pihak kedua). Sebagai
contoh: A berutang kepada B sebesar 5 juta. Kemudian, A mengalihkan utangnya
kepada C, sehingga C berkewajiban membayar utang A kepada B, tanpa menyebutkan
bahwa pemindahan utang tersebut sebagai ganti rugi dari pembayaran utang C
kepada A. Dengan demikian, al-hiwalah
al-muthlaqah hanya mengandung hiwalah ad-dain karena yang terjadi hanya: utang
A kepada B dipindahkan menjadi utang C kepada B.[7]
E. Aplikasi Hiwalah dalam Institusi Keuangan
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk
membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya.
Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi
resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas
kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan
piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan
menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian.
Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil
alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.[8]
Kontrak hiwalah biasanya diterapkan dalam
hal-hal berikut:
a. Factoring
atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki hutang pada pihak ke 3
memindahkan piutang itu kepada bank.
b. Post-dated
check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang
tersebut.
c. Bill
discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hiwalah. Hanya
saja, dalam bill discounting nasabah hanya membayar fee, sedangkan pembahasan
fee tidak di dapati dalam kontrak hiwalah.
IV. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa hiwalah
merupakan pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang
dibebani tanggungan pembayaran utang. Akad ini dibolehkan oleh syara’,
sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
مَطْلُ
الْغَنِيِّ ظُلْمّ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدَكُمْ عَلَى مُلِيْءٍ فَلْيَتَّبِعْ
Menunda-nunda pembayaran oleh orang kaya adalah
penganiayaan, dan apabila salah seorang di antara kamu diikutkan (dipindahkan)
kepada orang yang mampu, maka ikutilah.(HR. Al- Bukhori dan Muslim)
Rukun yang harus dipenuhi dalam akad hiwalah adalah adanya muhil,
muhal, muhal ‘alaih, dan shighat hiwalah. Sementara itu,
syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah yaitu baik muhil (orang
yang memindahkan hutang), muhal (orang yang menerima hiwalah), dan muhal
‘alaih (orang yang dihiwalahkan) adalah orang yang berakal, serta adanya
utang muhil kepada muhal alaih. Dari segi objek akad, al-hiwalah dibagi menjadi dua jenis yaitu hiwalahal-haq
dan Hiwalah ad-dain. Dalam praktek
perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat pemakalah
buat, semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi para pembaca. Pemakalah
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat pemakalah harapkan guna memperbaiki
makalah ini dan untuk selanjutnya.
[1]Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm.
99-101.
[4]Ahmad Idris,
Fiqh al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986), hlm. 57-58.
[5]Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah... hlm. 102.
[6] Wahbah Zuhaili,
Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu,
juz 5, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), cet. III, hlm. 175-177.
[7]Ahmad Idris,
Fiqh al-Syafi’iyah... hlm. 57-58.
No comments:
Post a Comment