Friday, November 25, 2016

Nilai Pendidikan Damai dalam Kearifan Lokal Jawa

Oleh: Dr. Ahwan Fanani, M. Ag.

Ketika kekerasan menjadi bagian dari keseharian hidup, pada saat itulah sensitivitas masyarakat terhadap kekerasan menurun. Secara tidak sadar, hidup berdampingan dengan kekerasan akan menjadi fenomena lumrah sehingga kekerasan tidak lagi dipandang sebagai penyimpangan, melainkan sebagai sebuah kondisi normal. Pada taraf tersebut, kekerasan akan terlembaga ke dalam sistem sosial dan budaya masyarakat yang selanjutnya melahirkan kekerasan kultural (cultural violence), yaitu legitimasi nilai-nilai sosial-kultural terhadap perilaku kekerasan.



Doc.google.com
            Perlembagaaan kekerasan dalam nilai-nilai kultural tidak bisa dilepaskan dari proses sosialisai dan enkulturasi, yaitu penanaman dan pendidikan nilai-nilai sosial terhadap anggota masyarakat. Kekerasan kultural adalah evolusi lebih lanjut dari kekerasan, yang tadinya hanya terbatas kepada kekerasan fisik, namun pada perkembangannya mendapatkan legitimasi karena logika kekerasan memenangkan pasar wacana sosial.

            Kaitan kekerasan dan konflik dengan wacana dan kognisi tersebut disinggung oleh sastrawan Amerika, Mark Twain. Twain mengatakan bahwa “conflict is matter of mind” (konflik itu masalah pikiran). Jika pernyataan Twain itu diteruskan, akan muncul proposisi lanjutan, yaitu: “if there are many conflicts, there are problems in our mind” (Jika ada banyak konflik, maka ada banyak problem dalam nalar kita),  karena hal itu menunjukkan bahwa jalan kekerasan telah memenangkan proses pemilihan dan wacana dalam nalar anggota masyarakat.

         Proposisi itulah yang tampaknya perlu dikemukakan kepada masyarakat Indonesia. Pasca reformasi, kekerasan seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sosial. Media memberikan informasi setiap hari tentang berbagai ragam kekerasan. Informasi tersebut di satu sisi memberikan pemahaman terhadap masyarakat akan berbagai persoalan yang ada di sekitar mereka, namun pada saat yang sama menumpulkan respon masyarakat terhadap kekerasan. Citra diri masyarakat Indonesia sebagai masyarakat ramah, murah senyum, dan cinta damai semakin menghilang dari kesadaran pribadi anggota masyarakat.

             Spektrum kekerasan di Indonesia telah mencapai tahap yang memprihatinkan. Kekerasan saat ini terjadi dan dilakukan oleh hampir seluruh elemen masyarakat dari beragam status, petani, buruh, majikan, pengusaha, guru, pelajar, komunitas keagamaan, tentara, polisi, ibu rumah tangga, politisi, bahkan hingga anggota parlemen. Semua itu membenarkan proposisi bahwa ada masalah dalam nalar kolektif masyarakat Indonesia.


Baca Juga: Kerja Keras Bukan Jaminan Sukses?


          Kondisi demikian menuntut anggota masyarakat untuk melakukan penemuan kembali terhadap khazanah nilai dan pranata yang mendukung kultur perdamaian dan mentransformasikannya dalam pendidikan perdamaian. Ketika kekerasan berkembang, maka ada amanah kultural untuk membelokkan trend tersebut melalui pembangunan perdamaian. Salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian adalah dengan penggalian kearifan lokal yang ada dalam jantung masyarakat itu sendiri.

        Kearifan lokal bisa digali dari berbagai budaya di Indonesia, namun secara khusus tulisan ini hanya menyoroti kearifan lokal dalam masyarakat dan budaya Jawa. Budaya Jawa sangat kuat dipengaruhi semangat harmoni. Semangat harmoni tersebut terefleksi dalam citra hubungan sosial yang ideal, yaitu guyub-rukun. Masyarakat yang guyub-rukun ditandai dengan hubungan sosial yang erat dan akrab dengan suasana yang damai atau tanpa konflik. Dalam citra ideal masyarakat guyub-rukun tersebut terdapat kearifan lokal yang bisa digali dan dikembangkan. Kearifan lokal dalam tulisan ini diartikan sebagai nilai-nilai yang dijadikan pedoman oleh anggota masyarakat dalam membina hubungan sosial. Jadi, kearifan lokal bersifat kultural karena terbentuk dari rangkaian nilai-nilai yang dijadikan pedoman oleh masyarakat dan terbentuk dalam proses interaksi. Hal itu menyiratkan bahwa kearifan sosial berada dalam tataran kognisi kesadaran dan tataran pranata sosial.

       Kearifan lokal dalam tataran kognisi kesadaran dapat ditemukan dalam ungkapan-ungkapan tradisional (saloka) dan dalam pranata sosial masyarakat Jawa. Saloka berfungsi sebagai rujukan nilai bagi masyarakat Jawa dalam menyikapi situasi sosial, termasuk konflik. Sementara itu, pranata sosial berperan dalam operasionalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam saloka untuk pemecahan persoalan nyata.

       Saloka bersifat anonim dan tidak diketahui siapa penciptanya, tetapi dipandang sebagai milik seluruh masyarakat dan memiliki legitimasi kultural. Ada banyak saloka yang tersimpan dalam khazanah budaya Jawa, yang sebagian di antaranya mengandung dan mendukung nilai-nilai perdamaian, baik perdamaian interpersonal, antarpersonal, maupun antarkelompok.


Doc.google.com

         Saloka jembar segarane (orang yang pemaaf). Saloka tersebut mengandung dimensi pujian bagi orang-orang yang bersedia memaafkan kesalahan orang lain. Dengan cara tersebut, orang yang memaafkan akan menemukan kedamaian dalam diri sendiri maupun perdamaian dengan pihak lain secara legitimate. Persoalan legitimasi perbuatan menjadi penting karena menyangkut harga diri, pengakuan sosial, dan kebebasan dari sanski sosial.

        Memaafkan saat ini dipandang sebagai salah satu pilar dalam rekonsiliasi dan cultural healing (penyembuhan masyarakat pascakonflik). Kekerasan dan konflik yang terjadi dalam waktu panjang biasanya menciptakan dendam yang turun temurun. Untuk memutus siklus kekerasan, para pihak diminta mengakui kesalahan diri sendiri dan memaafkan pihak lain. Dengan cara tersebut, korban akan membebaskan diri dari dendam dan konflik dalam dirinya sendiri, sedangkan pelaku kekerasan menyadari kesalahannya dan ikut bertanggung jawab untuk membangun kembali perdamaian.

          Saloka menang tanpa ngasorake (memenangkan sesuatu tanpa mempermalukan pihak lawan). Prinsip dasar dalam saloka ini selaras dengan prinsip hormat dan rukun dalam budaya Jawa. Kemenangan yang terbaik adalah kemenangan yang didasarkan atas upaya menciptakan kerukunan dan harmoni. Karena itu, dalam sebuah negosiasi orang sebisa mungkin dituntut tetap menjaga hubungan baik dengan orang lain.

         Dalam negosiasi interest-based terdapat ungkapan “pisahkan orang dari permasalahannya,” yang maksudnya adalah bahwa proses negosiasi sebisa mungkin para pihak berkonsentrasi kepada permasalahannya, bukan mempersoalkan orangnya. Hal itu dilakukan untuk tetap mempertahankan hubungan baik yang ada dan menghindari serangan-serangan kepada pribadi pihak lain yang akan merusak hasil baik yang mungkin dicapai melalui negosiasi. Saloka menang tanpa ngasorake berguna tidak hanya dalam konteks hubungan antarpersonal, tetapi bisa juga digunakan dalam konteks hubungan antarkelompok.

      Saloka rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (rukun membuat sentausa, bertengkar membawa perpecahan). Saloka tersebut secara eksplisit mengajarkan pentingnya rukun dalam masyarakat. Saloka tersebut bersifat informatif  (rukun hubungan yang indah) dan bersifat sekaligus imperatif (larangan untuk berpecah belah). Prinsip-prinsip umum dalam saloka itu bisa digunakan dalam konteks pencegahan konflik dan dalam konteks pembangunan perdamaian (peace building).

       Saloka tepa selira (mengukur dengan diri sendiri), menunjukkan sebuah impresi agar jangan berbuat sesuatu terhadap orang lain kalau diri sendiri tidak ingin diperlakukan demikian. Prinsip tepa selira sebenarnya juga menjadi prinsip Hak Asasi Manusia yang dibangun di atas landasan pemenuhan hak-hak dasar masing-masing individu. Hak Asasi Manusia dibangun pula di atas nilai bahwa penghormatan terhadap hak asasi orang lain berlaku menurut prinsip resiporsitas, yaitu tidak boleh melakukan sesuatu atau memperlakukan orang lain yang diri sendiri tidak ingin diperlakukan demikian.

          Saloka yen ono rembug, yo dirembug (kalau ada persoalan, sebaiknya dibicarakan) menegaskan pentingnya dialog dan negosiasi dalam menyelesaikan masalah. Saran untuk dialog dan negosiasi tersebut menunjukkan ajaran untuk mengedepankan komunikasi dalam menyelesaikan masalah, bukan kekerasan.

       Secara umum, saloka-saloka itu mengajarkan nilai-nilai dasar interaksi, khususnya interaksi dalam kehidupan sosial. Operasionalisasi saloka tersebut dalam ranah sosial melibatkan anggota masyarakat, khususnya pemegang otoritas, baik otoritas legal formal (aparat pemerintah) maupun otoritas tradisional (sesepuh atau tokoh agama), sedangkan dalam ranah sekolah melibatkan pendidik dan elemen-elemen lainnya. Operasionalisasi nilai perdamaian yang ada dalam saloka hanya mungkin terjadi ketika nilai-nilai tersebut diserap dan dihayati oleh masyarakat. Hal itu meniscayakan adanya sosialisasi dan pendidikan terhadap masyarakat, baik melalui pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Operasionalisasi nilai-nilai perdamaian adalah bagian dari penciptaan positive peace (perdamaian positif).

       Karena itulah, penggalian kembali kearifan lokal menjadi bagian penting dalam upaya pendidikan budaya perdamaian di kalangan masyarakat karena kearifan lokal menyediakan legitimasi tindakan dan kontrol sosial bagi anggota masyarakat. Kearifan lokal, khususnya ungkapan-ungkapan tradisional, adalah bagian dari pembangunan peace culture (budaya damai) dan upaya untuk kontra-wacana terhadap kekerasan kultural.  Penggalian dan sosialisasi kearifan lokal tersebut meniscayakan peran dunia pendidikan yang memiliki infrastruktur dan akses yang luas terhadap masyarakat budaya, meskipun pada prateknya nilai-nilai kultural harus hidup dalam kehidupan sosial yang nyata.


(Artikel ini diambil dari Majalah Edukasi edisi XLIII/Th.XIX/Juli/2011 Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang)

No comments:

Post a Comment