Oleh:
Akrom Khasani
Makalah ini
dipresentasikan dalam kuliah Sejarah Islam Indonesia, yang diampu oleh
Drs. Wahyudi, M.Pd.
I.
PENDAHULUAN
Sejarah
mencatat bahwa jauh sebelum Bangsa Eropa tiba di kepulauan Nusantara Islam
telah berkembang luas diwilayah ini dan bahkan bisa dikatakan sudah menjadi
agama mayoritas masyarakat nusantara, hal itu bisa dibuktikan bahwa sejak abad
ke-13 di pulau Sumatera telah berdiri kerajaan Islam yaitu kerajaan
Samudra Pasai, disusul kemudia kerajaan Aceh Darussalam, sehingga pada awal
abad ke-15 Islam telah mampu menguasai malaka (pusat perdagangan asia
tenggara). Sementara di pulau Jawa Islam baru membentuk kerajaan yaitu
pada akhir pertengahan abad ke-15 yang secara berturut-turut mulai kerajaan
Demak, Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten. Selain itu, muncul juga kerajaan
Islam di wilayah lain seperti di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi.
Keberadaan
kekerajaan Islam diatas yang secara bergantian di satu wilayah disebabkan oleh
berbagai factor, salah satunya ialah karena terjadi konflik internal kerajaan,
seperti perebutan kekuasaan, sifat kepeminpinan yang kurang tegas, dan
lain-lain, yang semua itu merangsang pihak-pihak lain untuk membentuk sebuah
kerajaan baru.
Keadaan
ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dengan
politik “belah bambu”, satu demi satu kerajaan Islam hancur. Apabila kerajaan
itu masih berdiri, maka hegemoni dan pengaruh VOC cukup kuat di sana.
Karenanya, kerajaan itu hanya sebagai bayangan dari VOC. Seperti Kerajaan
Gowa-Tallo (Makassar) yang hancur setelah Sultan Hasanuddin (1653-1669)
menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667).
Untuk
sedikit lebih luasnya, dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal menganai
kondisi perpolitikan di Indonesia ketika Belanda datang dan politik Islam di
Indonesia pada masa pemerintah Hindia Belanda.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana
Kondisi Perpolitikan di Indonesia ketika Belanda Datang?
B. Bagaimana
Kondisi Politik Islam di Indonesia pada Masa Pemerintah Hindia Belanda?
III.
PEMBAHASAN
A.
Kondisi
Perpolitikan di Indonesia Ketika Belanda Datang
1. Datangnya
Belanda ke Indonesia
Terhitung
mulai bulan april tahun 1595, empat armada kapal Belanda dibawah komandu
Corniles Dehoutman berlayar menuju kepulauan Melayu, dan tiba di Jawa
barat (pelabuhan Banten) pada bulan juni 1596. Menurut Dr. Muqaddam
Khalil M.A mereka sengaja mendarat di Banten, karena daerah tersebut dianggap
tidak ada pengaruh portugis.[1]
Adapun tujuan mereka datang ke Indonesia ialah untuk mengembangkan usaha
perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang kemudian akan dijual di Negara
mereka. Keberhasilan orang Belanda dibawah komando Dehoutman membuat orang
Belanda makin tertarik untuk mengembangkan dagangannya di Indonesia, maka pada
tahun 1598 angkatan kedua dibawah pimpinan Van Nede Van Haskerck dan Van
Warwisk datang ke Indonesia.
Meskipun
demikian, kehadiran orang-orang Belanda telah mengancam institusi perpolitikan
di Indonesia. Bahaya ini belum mengancam ketika motif petualangan dan ekonomi
masih dijalankan secara wajar. Banyak penguasa lokal yang menyambutnya dengan
ramah. Ketika keinginan memonipoli perdagangan timbul, orang-orang Belanda pun
mulai mengintervensi institusi perpolitikan di Indonesia yang pada umumnya
tidak stabil. Kemudian pada Maret 1602, orang-orang Belanda mendirikan serikat
dagang yang disebut dengan VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie) atau Perserikatan Maskapai Hindia-Timur untuk
menyaingi pelayaran dan perdagangan orang-orang Barat lainnya. Tujuan VOC
adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam perdagangan. Untuk tujuan
ini, dirasa perlu memonopoli ekspor dan impor perdagangan.[2]
VOC sejak semula memang diberi izin oleh pemerintah Belanda untuk
melakukan kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli dagang di
Indonesia. Oleh karena itu, VOC dibantu oleh kekuatan militer dan armada
tentara serta hak-hak yang bersifat kenegaraan mempunyai wilayah, mengadakan
perjanjian politik, dan sebagainya. Dengan perlengkapan yang lebih maju, VOC
melakukan poilitik ekspansi. Boleh dikata, abad ke 17dan 18 adalah periode
ekspansi dan monopoli dalam sejarah kolonial di Indonesia.[3]
Menjelang akhir abad ke 18 ekspansi wilayah ini berhasil di Jawa.
2.
Penetrasi
Politik Belanda
Penetrasi Belanda dalam dunia politik sering kali memang justru
“diundang” oleh konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antarkerajaan
di Indonesia. Intervensi VOC terhadap
kerajaan-kerajaan Islam Indonesia semakin mengacaukan perplolitikan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam yang rapuh karena
intrik-intrik politik di dalam kerajaan dan persaingan antarkerajaan Islam
mempercepat runtuhnya kerajaan itu. VOC yang dianggap sebagai dewa penolong
memanfaatkan situasi tersebut dengan memihak salah satu kelompok dan
menghancurkan kelompok yang lain. Kelompok yang keluar sebagai pemenang harus
harus tunduk dengan perjanjian yang telah ditentukan VOC. Dengan politik “belah
bambu” ini, satu demi satu kerajaan Islam hancur. Apabila kerajaan itu masih
berdiri, maka hegemoni dan pengaruh VOC cukup kuat di sana. Karenanya, kerajaan
itu hanya sebagai bayangan dari VOC. Seperti Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar)
yang hancur setelah Sultan Hasanuddin (1653-1669) menandatangani Perjanjian
Bungaya (18 November 1667).
Pada
1670-an, VOC berhasil mengonsolidasikan kedudukannya di Indonesia Timur berkat
bantuan Arung Palaka, panglima teringgi Bone. Pada 1672, Arung Palaka resmi
menjadi raja Bone dan menjadi sekutu abadi VOC. Arung Palaka kini menjadi orang
terkuat di Sulawesi Selatan dan tetap bertahan sampai meninggalnya pada 1696.
Hal serupa juga terjadi di Jawa. Direbutnya pelabuhan Jayakarta oleh Belanda
dari tangan Pangeran Wijayakrama, dalam peperangan 1618-1619, menjadikan
Kerajaan Banten merasa terancam posisinya secara politik dan ekonomi. Banten
menganggap bahwa Jayakarta merupakan bagian wilayahnya. Reaksi Banten terus
meningkat dan semakin memuncak pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1682). Namun, putra Sutan Ageng, Sultan Haji yang berpihak kepada
kompeni, melakukan kudeta. Sultan Ageng sendiri dapat diusir dari istana
Surosowan, Banten. Sultan Haji mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng dengan
penandatanganan perjanjian dengan VOC pada 1682.
Penguasaan
VOC atas Jayakarta tahun 1619 tersebut juga memunculkan sikap tidak senang dari
kerajaan Mataram. Sultan Agung yang ingin meluaskan pengaruhnya di Jawa Barat
merasa terhambat dengan penguasaan VOC atas kota Jayakarta. Reaksi Mataram
semakin meningkat ketika VOC memaksakan monopolinya di pesisir utara Jawa.
Serangan besar-besaran oleh Mataram pada 1628 dan 1629 terhadap Jayakarta
(diubah oleh VOC menjadi Batavia) merupakan bukti perlawanan kerajaan-kerajaan
Islam terhadap penetrasi politik VOC[4]
sekalipun kedua serangan itu gagal.
Pada
masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I (1646-1677), pengganti Sultan Agung,
banyak kebijakan politiknya yang kontroversial. Dia menyingkirkan musuh-musuh
politiknya dengan pembunuhan. Bahkan, pada masa ini telah terjadi pembantaian
tokoh-tokoh agam Islam. Menurut Rijklof van Goens, telah terjadi pembantaian
sekitar 5.000 sampai 6.000 umat Islam di halaman istana. Raja ini juga sulit
diajak kerjasama dengan VOC. Sikap raja yang kontroversial ini memicu
pemberontakan-pemberontakan di daerah, bahkan dengan putra mahkotanya sendiri
dalam persoalan perempuan. Putra mahkota dengan bantuan VOC dapat melengserkan
Amangkurat I. Kini, VOC dapat mendudukan putra mahkota sebagai Susuhunan
Amangkurat II (1677-1703).
Intervensi
politik VOC terhadap Mataram terus berlanjut. Banyak pihak yang tidak suka atas
keterlibatan VOC dalam istana. Namun, hal ini terus memperuncing
ketegangan-ketegangan di dalam istana. Akhirnya, akibat intervensi VOC ini,
kerajaan Mataram terpecah. Pada 13 Februari 1755, ditandatangani Perjanjian
Giyanti yang membagi Mataram menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta.
Selanjutnya, pada Maret 1757 terjadi Perjanjian Salatiga yang membagi daerah Surakarta
menjadi dua, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Yogyakarta pun terpecah menjadi
dua ketika terjadi kekacauan di Kesultanan antara Hamengkubuwana II dengan
pemerintah Inggris di Jawa. Natakusuma, saudara Hamengkubuwana II dan sekutu
Inggris, dihadiahi suatu daerah yang merdeka dan dapat diwariskan atas
bantuannya kepada Inggris. Natakusuma ini dianugerahi gelar Pangeran Pakualam I
(1813-1829), dan mempunyai wilayah kerajaan sendiri di samping Kesultanan
Yogyakarta.[5]
B.
Politik
Islam di Indonesia pada Masa Pemerintah Hindia Belanda
1. Kebijakan
Pemerintah Hindia Belanda
Silih
bergantinya bangsa Eropa memerintah Indonesia mempunyai kebijakan yang hampir
sama terhadap Islam. Pada umumnya, mereka selalu menghambat laju perkembangan
Islam di Indonesia. Mereka selalu mempersempit ruang gerak Islam. Umat Islam
diikat dengan berbagai macam peraturan dalam menjalankan ibadahnya dan bahkan
tidak memberi kesempatan untuk berpolitik. Sebagai ilustrasi, pada 1810,
Daendels mengeluarkan dekrit yang memerintahkan agar para kiai yang melakukan
perjalanan dari satu tempat ke tempat lain harus membawa surat jalan. Peraturan
ini dimaksudkan untuk mengawasi mereka agar jangan melakukan
“kerusuhan-kerusuhan”.
Rafles
pun berpandangan bahwa para kiai di Jawa mempunyai kekuatan dalam menggalang
massa untuk pemerintah kolonial. Hal ini mengingat tingginya kedudukan para
kiai di mata rakyat. Oleh karena itu, Rafles berkesimpulan bahwa para kiai
ternyata selalu aktif dalam pemberontakan. Kaum ulama di Minangkabau pun
mempunyai peran politis yang strategis sehingga keberadaannya sangat
mengkhawatirkan pemerintah kolonial.
Kebijakan
yang hampir sama juga diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di Indonesia,
Belanda meghadapi kenyataan bahwa mayoritas penduduk yang dijajahnya adalah beragama
Islam. Sebelum kedatangan Snouck Hurgronje, politik pemerintahan Belanda
terhadap Islam didasarkan pada perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri.[6] Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka
secara tepat mengenai agama Islam. Pada umumnya, mereka takut pada
ungkapan-ungkapan apa yang disebut fanatisme Islam sehingga mereka berusaha
menekan dan mencegah dengan cara menjauhkan diri dari urusan-urusan mengenai
Islam.
Oleh karena itu, agama Islam dipelajari secara ilmiah di negeri
Belanda. seiring dengan itu, disana juga diselenggarakan indologi. Ilmu
untuk mengenal seluk beluk penduduk Indonesia. Semua itu dimaksudkan untuk
mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Hasil dari pengkajian itu, lahirlah
apa yang dikenal dengan “Politik Islam”. Tokoh utama dan peletak dasarnya
adalah Prof. Snouck Hurgronje. Dia berada di Indonesia pada tahun 1889 dan
1906. Berkat pengalamannya di Timur Tengah, sarjana sastra Semit ini berhasil
menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan menghadapi islam di Indonesia,
yang menjadi pedoman bagi pemerintah Hindia Belanda, terutama bagi Adviseur voor Inlandsche Zaken,
lembaga penasihat gubernur jenderal tentang segala sesuatu mengenai pribumi.
2. Datangnya
Islamolog Hindia Belanda
Kedatangan
Snouck Hurgronje –seorang yang sangat ahli tentang Islam- pada 1889 membuat
pemerintah Hindia Belanda mempunyai kebijakan yang jelas terhadap Islam. Snouck
sendiri membuat sebuah teori yang disebut dengan “Islam Politiek”. Mengenai persoalan-persoalan Islam di Indonesia
tersebut, Hurgronje menjelaskan teori Islam
Politeik-nya sebagai berikut. Dia membedakan ajaran Islam dalam tiga
kategori, yaitu:
a. bidang
agama murni atau ibadah,
b. bidang
sosial kemasyarakatan,
c. bidang
politik.
Di
mana masing-masing bidang tersebut menuntut alternatif pemecahan yang berbeda.[7] Alternatif
pemecahan yang dimaksud adalah sebagai berikut: untuk kategori yang pertama,
pemerintah kolonial harus memberikan kebebasan kepada umat Islam dalam
melaksanakn ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah
Belanda. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah perlu memanfaatkan adat
kebiasaan yang berlaku dengan cara menggerakan rakyat agar mereka mendekati
Belanda, bahkan pemerintah harus membantu rakyat yang menempuh jalan tersebut.
Sebaliknya, dalam bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang
membawa rakyat kepada fanatisme dan pan-Islamisme.
Bagi
Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama melainkan Islam
sebagai doktrin politik, baik dalam bentuk agitasi kaum fanatik maupun dalam
bentuk pan-Islamisme. Oleh karena itu, dia bersikeras bahwa apabila fanatisme
Muslim muncul atau merajalela, tindakan drastic –kalau perlu secara militer-
dibutuhkan untuk mengembalikan kekuasaan pemerintah Belanda.
Dampak
kebijakan Islam Politiek yang
diterapkan Belanda terhadap agama Islam adalah umat Islam tidak banyak
mempunyai kebebasan dan kesempatan untuk berpolitik. Terlebih lagi setelah
kegagalan Perang Dipenogoro (1825-1830). Kegagalan perang ini berakibat
bergesernya anorientasi para elite
kerajaan Jawa, dari politik ke bidang sosial budaya, yang mana orientasi yang
disebut terakhir ini sudah terpengaruh oleh proses westernisasi yang digerakkan oleh Belanda sebagai salah satu visi
Snouck Hurgronje.[8]
Pada
umumnya, kebijakan politik tersebut mengalami keberhasilan. Salah satu
kebijakan Snouck, yaitu tidak memihak di dalam masalah-masalah agama yang
dirangkaikan dengan kesiagaan untuk menindas agitas politik Islam, berhasil
mengakhiri permusuhan terbuka, dan bahkan sebagian mengurangi antagonisme
berabad-abad antara pemerintahan kolonial dan para pemimpin Islam.
3. Pembendungan
Pengaruh Islam
Islam Politiek,
bagi Hurgronje, dapat berhasil dengan menekankan pentingnya kebijakan asosiasi
secara kultural antara kaum Muslim pribumi dengan peradaban Barat. Dengan cara
ini Hurgronje berkeyakinan bahwa ada jurang antara masyarakat pribumi yang
“terbelakang” dan masyarakat Belanda yang “modern”. Agar kebijakan asosiasi ini
mencapai target, pendidikan model Barat harus dibuat terbuka bagi rakyat
pribumi. Hanya melalui penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di
Indonesia bisa direduksi, untuk tidak mengatakan disingkirkan. Salah satu
sasaran bidik kebijakan asosiasi kultural ini adalah para bangsawan dan aristokrat
Indonesia.
Dalam rangka membendung pengaruh Islam, pemerintah Belanda
mendirikan lembaga pendidikan bagi bangsa Indonesia, terutama untuk kalangan
Bangsawan. Mereka harus ditarik ke arah Westernisasi.
Dalam pandangan Snouck Hurgronje, Indonesia harus melangkah ke arah modern
sehingga secara perlahan Indonesia menjadi bagian dari dunia modern itu. Para
lulusan sekolah ini diharapkan dapat menjadi patner dalam kehidupan sosial dan
budaya. Snouck Hurgronje memang mendambakan kesatuan Indonesia dan Belanda
dalam suatu ikatan Pax-Neerlandica. Oleh karena itu, dalam lembaga
pendidikan belada tersebut, bangsa Indonesia harus dituntun untuk bisa
berasosiasi dengan kebudayaan Belanda. Menurutnya, pedidikan Barat adalah alat
yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di
Indonesia.
Namun, kebijakan pendidikan untuk penduduk pribumi yang semula
dirancang untuk membaratkan mempunyai
akibat sampingan (side effect) yang
tidak diduga sebelumnya. Akibat tidak langsungnya adalah munculnya sekelompok
kecil elite terdidik yang mampu menyuarakan frustasi massa. Belakangan,
kelompok elite yang dididik secara Barat sehingga terpengaruh dengan budaya
Barat, tampil sebagai pemimpin gerakan nasionalis yang sadar diri.
Lulusan lembaga pendidikan Belanda itu, pada masa pergerakan meski
tidak seluruhnya sebagai nasionalis sekuler. Sekalipun mereka sering terlibat
dalam persaingan dengan golongan Islam, kedua golongan itu ternyata disatukan
rasa nasionalisme yang sama. Oleh karena itu, mereka bahu-mambahu
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Melalui lembaga
pendidikan itu, ternyata gagasan Pax-Neerlandica tidak tercapai, bahkan
justru lulusannya menjadi orang-orang yang sangat gigih memperjuangkan
kemerdekaaan.
IV.
KESIMPULAN
Kehadiran orang-orang Belanda telah
mengancam institusi perpolitikan di Indonesia. Bahaya ini belum mengancam
ketika motif petualangan dan ekonomi masih dijalankan secara wajar. Banyak
penguasa lokal yang menyambutnya dengan ramah. Ketika keinginan memonipoli
perdagangan timbul, orang-orang Belanda pun mulai mengintervensi institusi
perpolitikan di Indonesia yang pada umumnya tidak stabil.
Intervensi VOC terhadap
kerajaan-kerajaan Islam Indonesia semakin mengacaukan perplolitikan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam yang rapuh karena
intrik-intrik politik di dalam kerajaan dan persaingan antarkerajaan Islam
mempercepat runtuhnya kerajaan itu. Dengan politik “belah bambu” ini, satu demi
satu kerajaan Islam hancur. Apabila kerajaan itu masih berdiri, maka hegemoni
dan pengaruh VOC cukup kuat di sana. Karenanya, kerajaan itu hanya sebagai
bayangan dari VOC.
Belanda meghadapi kenyataan bahwa
mayoritas penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Sebelum kedatangan
Snouck Hurgronje, politik pemerintahan Belanda terhadap Islam didasarkan pada
perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri. Hal
ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka secara tepat mengenai agama
Islam. Pada umumnya, mereka takut pada ungkapan-ungkapan apa yang disebut
fanatisme Islam sehingga mereka berusaha menekan dan mencegah dengan cara
menjauhkan diri dari urusan-urusan mengenai Islam.
Kedatangan Snouck Hurgronje –seorang
yang sangat ahli tentang Islam- pada 1889 membuat pemerintah Hindia Belanda
mempunyai kebijakan yang jelas terhadap Islam. Snouck sendiri membuat sebuah
teori yang disebut dengan “Islam
Politiek”. Mengenai persoalan-persoalan Islam di Indonesia tersebut,
Hurgronje menjelaskan teori Islam
Politeik-nya sebagai berikut. Dia membedakan ajaran Islam dalam tiga
kategori, yaitu bidang agama murni atau ibadah, bidang sosial kemasyarakatan, bidang
politik.
Dalam rangka
membendung pengaruh Islam, pemerintah Belanda mendirikan lembaga pendidikan
bagi bangsa Indonesia, terutama untuk kalangan Bangsawan. Mereka harus ditarik
ke arah Westernisasi. Dalam pandangan
Snouck Hurgronje, Indonesia harus melangkah ke arah modern sehingga secara
perlahan Indonesia menjadi bagian dari dunia modern itu. Menurutnya, pedidikan
Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan
pengaruh Islam di Indonesia.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang
dapat pemakalah buat, semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi para
pembaca. Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat pemakalah harapkan
guna memperbaiki makalah ini dan untuk selanjutnya.
[1]Jurnal al-Hikmah, Paratai
Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba, vol.1/no.2 Mei 2009. hlm.19.
[2]George Mc Turnan
Kahin, Nasionalisme dan Resolusi di
Indonesia, terj. Nin Bakdi Soemanto Surakarta: UNS Press dan Sinar Harapan,
1995,hlm3.
[3]Taufik Abdullah, Sejarah
Ummat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI, 1991), hlm.189.
[4]Marwati Djoned
Pusponegoro, Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah
Nasional Indonesia, Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 47.
[5]Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual
Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzza, 2007), hlm. 85.
[6]G.F. Pijper, “Politik
Islam Pemerintah Belanda”, dalam Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, ed. H.
Baudet dan I. J. Brugmans, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987, hlm. 239.
[7] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het
Kantoor voor Inlandsche Zaken, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 12.
[8] Nor Huda, Islam
Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Ar-Ruzza, 2007), hlm. 102.
Baca Juga:
Perjuangan Kemerdekaan Umat Islam Indonesia dan Hubungannya dengan Negara Menjelang dan Pasca Kemerdekaan
Sejarah dan Pembagian Qawa’id Al-Lughawiyah
Ar-Rahn
Setiap Hari Anda Menghipnotis Anak-Anak Anda
Prediksi Risiko Kematian dari Kecepatan Berjalan Kaki
Baca Juga:
Perjuangan Kemerdekaan Umat Islam Indonesia dan Hubungannya dengan Negara Menjelang dan Pasca Kemerdekaan
Sejarah dan Pembagian Qawa’id Al-Lughawiyah
Ar-Rahn
Setiap Hari Anda Menghipnotis Anak-Anak Anda
Prediksi Risiko Kematian dari Kecepatan Berjalan Kaki
No comments:
Post a Comment