Sunday, November 13, 2016

PENETRASI POLITIK DAN POLITIK ISLAM HINDIA BELANDA



Oleh:
Akrom Khasani

Makalah ini dipresentasikan dalam kuliah Sejarah Islam Indonesia, yang diampu oleh
Drs. Wahyudi, M.Pd.



I.       PENDAHULUAN
Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum Bangsa Eropa tiba di kepulauan Nusantara Islam telah berkembang luas diwilayah ini dan bahkan bisa dikatakan sudah menjadi agama mayoritas masyarakat nusantara, hal itu bisa dibuktikan bahwa sejak abad ke-13 di pulau Sumatera telah berdiri kerajaan Islam  yaitu kerajaan Samudra Pasai, disusul kemudia kerajaan Aceh Darussalam, sehingga pada awal abad ke-15 Islam telah mampu menguasai malaka (pusat perdagangan asia tenggara). Sementara di pulau Jawa  Islam baru membentuk kerajaan yaitu pada akhir pertengahan abad ke-15 yang secara berturut-turut mulai kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten. Selain itu, muncul juga kerajaan Islam di wilayah lain seperti di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi.
Keberadaan kekerajaan Islam diatas yang secara bergantian di satu wilayah disebabkan oleh berbagai factor, salah satunya ialah karena terjadi konflik internal kerajaan, seperti perebutan kekuasaan, sifat kepeminpinan yang kurang tegas, dan lain-lain, yang semua itu merangsang pihak-pihak lain untuk membentuk sebuah kerajaan baru.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dengan politik “belah bambu”, satu demi satu kerajaan Islam hancur. Apabila kerajaan itu masih berdiri, maka hegemoni dan pengaruh VOC cukup kuat di sana. Karenanya, kerajaan itu hanya sebagai bayangan dari VOC. Seperti Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar) yang hancur setelah Sultan Hasanuddin (1653-1669) menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667).
Untuk sedikit lebih luasnya, dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal menganai kondisi perpolitikan di Indonesia ketika Belanda datang dan politik Islam di Indonesia pada masa pemerintah Hindia Belanda.

II.    RUMUSAN MASALAH
            A.    Bagaimana Kondisi Perpolitikan di Indonesia ketika Belanda Datang?
            B.     Bagaimana Kondisi Politik Islam di Indonesia pada Masa Pemerintah Hindia Belanda?

III. PEMBAHASAN
           A.    Kondisi Perpolitikan di Indonesia Ketika Belanda Datang
1.      Datangnya Belanda ke Indonesia
Terhitung mulai bulan april tahun 1595, empat armada kapal  Belanda dibawah komandu Corniles Dehoutman  berlayar menuju kepulauan Melayu, dan tiba di Jawa barat (pelabuhan Banten) pada bulan juni 1596.  Menurut  Dr. Muqaddam Khalil M.A mereka sengaja mendarat di Banten, karena daerah tersebut dianggap tidak ada pengaruh portugis.[1] Adapun tujuan mereka datang ke Indonesia ialah untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang kemudian akan dijual di Negara mereka. Keberhasilan orang Belanda dibawah komando Dehoutman membuat orang Belanda makin tertarik untuk mengembangkan dagangannya di Indonesia, maka pada tahun 1598 angkatan kedua dibawah pimpinan Van Nede Van Haskerck dan Van Warwisk datang ke Indonesia.
Meskipun demikian, kehadiran orang-orang Belanda telah mengancam institusi perpolitikan di Indonesia. Bahaya ini belum mengancam ketika motif petualangan dan ekonomi masih dijalankan secara wajar. Banyak penguasa lokal yang menyambutnya dengan ramah. Ketika keinginan memonipoli perdagangan timbul, orang-orang Belanda pun mulai mengintervensi institusi perpolitikan di Indonesia yang pada umumnya tidak stabil. Kemudian pada Maret 1602, orang-orang Belanda mendirikan serikat dagang yang disebut dengan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Perserikatan Maskapai Hindia-Timur untuk menyaingi pelayaran dan perdagangan orang-orang Barat lainnya. Tujuan VOC adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam perdagangan. Untuk tujuan ini, dirasa perlu memonopoli ekspor dan impor perdagangan.[2]
VOC sejak semula memang diberi izin oleh pemerintah Belanda untuk melakukan kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli dagang di Indonesia. Oleh karena itu, VOC dibantu oleh kekuatan militer dan armada tentara serta hak-hak yang bersifat kenegaraan mempunyai wilayah, mengadakan perjanjian politik, dan sebagainya. Dengan perlengkapan yang lebih maju, VOC melakukan poilitik ekspansi. Boleh dikata, abad ke 17dan 18 adalah periode ekspansi dan monopoli dalam sejarah kolonial di Indonesia.[3] Menjelang akhir abad ke 18 ekspansi wilayah ini berhasil di Jawa.

2.      Penetrasi Politik Belanda
Penetrasi Belanda dalam dunia politik sering kali memang justru “diundang” oleh konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antarkerajaan di Indonesia. Intervensi VOC terhadap kerajaan-kerajaan Islam Indonesia semakin mengacaukan perplolitikan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam yang rapuh karena intrik-intrik politik di dalam kerajaan dan persaingan antarkerajaan Islam mempercepat runtuhnya kerajaan itu. VOC yang dianggap sebagai dewa penolong memanfaatkan situasi tersebut dengan memihak salah satu kelompok dan menghancurkan kelompok yang lain. Kelompok yang keluar sebagai pemenang harus harus tunduk dengan perjanjian yang telah ditentukan VOC. Dengan politik “belah bambu” ini, satu demi satu kerajaan Islam hancur. Apabila kerajaan itu masih berdiri, maka hegemoni dan pengaruh VOC cukup kuat di sana. Karenanya, kerajaan itu hanya sebagai bayangan dari VOC. Seperti Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar) yang hancur setelah Sultan Hasanuddin (1653-1669) menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667).
Pada 1670-an, VOC berhasil mengonsolidasikan kedudukannya di Indonesia Timur berkat bantuan Arung Palaka, panglima teringgi Bone. Pada 1672, Arung Palaka resmi menjadi raja Bone dan menjadi sekutu abadi VOC. Arung Palaka kini menjadi orang terkuat di Sulawesi Selatan dan tetap bertahan sampai meninggalnya pada 1696. Hal serupa juga terjadi di Jawa. Direbutnya pelabuhan Jayakarta oleh Belanda dari tangan Pangeran Wijayakrama, dalam peperangan 1618-1619, menjadikan Kerajaan Banten merasa terancam posisinya secara politik dan ekonomi. Banten menganggap bahwa Jayakarta merupakan bagian wilayahnya. Reaksi Banten terus meningkat dan semakin memuncak pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Namun, putra Sutan Ageng, Sultan Haji yang berpihak kepada kompeni, melakukan kudeta. Sultan Ageng sendiri dapat diusir dari istana Surosowan, Banten. Sultan Haji mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng dengan penandatanganan perjanjian dengan VOC pada 1682.
Penguasaan VOC atas Jayakarta tahun 1619 tersebut juga memunculkan sikap tidak senang dari kerajaan Mataram. Sultan Agung yang ingin meluaskan pengaruhnya di Jawa Barat merasa terhambat dengan penguasaan VOC atas kota Jayakarta. Reaksi Mataram semakin meningkat ketika VOC memaksakan monopolinya di pesisir utara Jawa. Serangan besar-besaran oleh Mataram pada 1628 dan 1629 terhadap Jayakarta (diubah oleh VOC menjadi Batavia) merupakan bukti perlawanan kerajaan-kerajaan Islam terhadap penetrasi politik VOC[4] sekalipun kedua serangan itu gagal.
Pada masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I (1646-1677), pengganti Sultan Agung, banyak kebijakan politiknya yang kontroversial. Dia menyingkirkan musuh-musuh politiknya dengan pembunuhan. Bahkan, pada masa ini telah terjadi pembantaian tokoh-tokoh agam Islam. Menurut Rijklof van Goens, telah terjadi pembantaian sekitar 5.000 sampai 6.000 umat Islam di halaman istana. Raja ini juga sulit diajak kerjasama dengan VOC. Sikap raja yang kontroversial ini memicu pemberontakan-pemberontakan di daerah, bahkan dengan putra mahkotanya sendiri dalam persoalan perempuan. Putra mahkota dengan bantuan VOC dapat melengserkan Amangkurat I. Kini, VOC dapat mendudukan putra mahkota sebagai Susuhunan Amangkurat II (1677-1703).
Intervensi politik VOC terhadap Mataram terus berlanjut. Banyak pihak yang tidak suka atas keterlibatan VOC dalam istana. Namun, hal ini terus memperuncing ketegangan-ketegangan di dalam istana. Akhirnya, akibat intervensi VOC ini, kerajaan Mataram terpecah. Pada 13 Februari 1755, ditandatangani Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta. Selanjutnya, pada Maret 1757 terjadi Perjanjian Salatiga yang membagi daerah Surakarta menjadi dua, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Yogyakarta pun terpecah menjadi dua ketika terjadi kekacauan di Kesultanan antara Hamengkubuwana II dengan pemerintah Inggris di Jawa. Natakusuma, saudara Hamengkubuwana II dan sekutu Inggris, dihadiahi suatu daerah yang merdeka dan dapat diwariskan atas bantuannya kepada Inggris. Natakusuma ini dianugerahi gelar Pangeran Pakualam I (1813-1829), dan mempunyai wilayah kerajaan sendiri di samping Kesultanan Yogyakarta.[5]

            B.     Politik Islam di Indonesia pada Masa Pemerintah Hindia Belanda
1.      Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
Silih bergantinya bangsa Eropa memerintah Indonesia mempunyai kebijakan yang hampir sama terhadap Islam. Pada umumnya, mereka selalu menghambat laju perkembangan Islam di Indonesia. Mereka selalu mempersempit ruang gerak Islam. Umat Islam diikat dengan berbagai macam peraturan dalam menjalankan ibadahnya dan bahkan tidak memberi kesempatan untuk berpolitik. Sebagai ilustrasi, pada 1810, Daendels mengeluarkan dekrit yang memerintahkan agar para kiai yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain harus membawa surat jalan. Peraturan ini dimaksudkan untuk mengawasi mereka agar jangan melakukan “kerusuhan-kerusuhan”.
Rafles pun berpandangan bahwa para kiai di Jawa mempunyai kekuatan dalam menggalang massa untuk pemerintah kolonial. Hal ini mengingat tingginya kedudukan para kiai di mata rakyat. Oleh karena itu, Rafles berkesimpulan bahwa para kiai ternyata selalu aktif dalam pemberontakan. Kaum ulama di Minangkabau pun mempunyai peran politis yang strategis sehingga keberadaannya sangat mengkhawatirkan pemerintah kolonial.
Kebijakan yang hampir sama juga diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di Indonesia, Belanda meghadapi kenyataan bahwa mayoritas penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Sebelum kedatangan Snouck Hurgronje, politik pemerintahan Belanda terhadap Islam didasarkan pada perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri.[6] Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka secara tepat mengenai agama Islam. Pada umumnya, mereka takut pada ungkapan-ungkapan apa yang disebut fanatisme Islam sehingga mereka berusaha menekan dan mencegah dengan cara menjauhkan diri dari urusan-urusan mengenai Islam.
Oleh karena itu, agama Islam dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda. seiring dengan itu, disana juga diselenggarakan indologi. Ilmu untuk mengenal seluk beluk penduduk Indonesia. Semua itu dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Hasil dari pengkajian itu, lahirlah apa yang dikenal dengan “Politik Islam”. Tokoh utama dan peletak dasarnya adalah Prof. Snouck Hurgronje. Dia berada di Indonesia pada tahun 1889 dan 1906. Berkat pengalamannya di Timur Tengah, sarjana sastra Semit ini berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan menghadapi islam di Indonesia, yang menjadi pedoman bagi pemerintah Hindia Belanda, terutama bagi  Adviseur voor Inlandsche Zaken, lembaga penasihat gubernur jenderal tentang segala sesuatu mengenai pribumi.

2.      Datangnya Islamolog Hindia Belanda
Kedatangan Snouck Hurgronje –seorang yang sangat ahli tentang Islam- pada 1889 membuat pemerintah Hindia Belanda mempunyai kebijakan yang jelas terhadap Islam. Snouck sendiri membuat sebuah teori yang disebut dengan “Islam Politiek”. Mengenai persoalan-persoalan Islam di Indonesia tersebut, Hurgronje menjelaskan teori Islam Politeik-nya sebagai berikut. Dia membedakan ajaran Islam dalam tiga kategori, yaitu:
a.       bidang agama murni atau ibadah,
b.      bidang sosial kemasyarakatan,
c.       bidang politik.
Di mana masing-masing bidang tersebut menuntut alternatif pemecahan yang berbeda.[7] Alternatif pemecahan yang dimaksud adalah sebagai berikut: untuk kategori yang pertama, pemerintah kolonial harus memberikan kebebasan kepada umat Islam dalam melaksanakn ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah perlu memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggerakan rakyat agar mereka mendekati Belanda, bahkan pemerintah harus membantu rakyat yang menempuh jalan tersebut. Sebaliknya, dalam bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang membawa rakyat kepada fanatisme dan pan-Islamisme.
Bagi Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama melainkan Islam sebagai doktrin politik, baik dalam bentuk agitasi kaum fanatik maupun dalam bentuk pan-Islamisme. Oleh karena itu, dia bersikeras bahwa apabila fanatisme Muslim muncul atau merajalela, tindakan drastic –kalau perlu secara militer- dibutuhkan untuk mengembalikan kekuasaan pemerintah Belanda.
Dampak kebijakan Islam Politiek yang diterapkan Belanda terhadap agama Islam adalah umat Islam tidak banyak mempunyai kebebasan dan kesempatan untuk berpolitik. Terlebih lagi setelah kegagalan Perang Dipenogoro (1825-1830). Kegagalan perang ini berakibat bergesernya anorientasi para elite kerajaan Jawa, dari politik ke bidang sosial budaya, yang mana orientasi yang disebut terakhir ini sudah terpengaruh oleh proses westernisasi yang digerakkan oleh Belanda sebagai salah satu visi Snouck Hurgronje.[8]
Pada umumnya, kebijakan politik tersebut mengalami keberhasilan. Salah satu kebijakan Snouck, yaitu tidak memihak di dalam masalah-masalah agama yang dirangkaikan dengan kesiagaan untuk menindas agitas politik Islam, berhasil mengakhiri permusuhan terbuka, dan bahkan sebagian mengurangi antagonisme berabad-abad antara pemerintahan kolonial dan para pemimpin Islam.

3.      Pembendungan Pengaruh Islam
Islam Politiek, bagi Hurgronje, dapat berhasil dengan menekankan pentingnya kebijakan asosiasi secara kultural antara kaum Muslim pribumi dengan peradaban Barat. Dengan cara ini Hurgronje berkeyakinan bahwa ada jurang antara masyarakat pribumi yang “terbelakang” dan masyarakat Belanda yang “modern”. Agar kebijakan asosiasi ini mencapai target, pendidikan model Barat harus dibuat terbuka bagi rakyat pribumi. Hanya melalui penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa direduksi, untuk tidak mengatakan disingkirkan. Salah satu sasaran bidik kebijakan asosiasi kultural ini adalah para bangsawan dan aristokrat Indonesia.
Dalam rangka membendung pengaruh Islam, pemerintah Belanda mendirikan lembaga pendidikan bagi bangsa Indonesia, terutama untuk kalangan Bangsawan. Mereka harus ditarik ke arah Westernisasi. Dalam pandangan Snouck Hurgronje, Indonesia harus melangkah ke arah modern sehingga secara perlahan Indonesia menjadi bagian dari dunia modern itu. Para lulusan sekolah ini diharapkan dapat menjadi patner dalam kehidupan sosial dan budaya. Snouck Hurgronje memang mendambakan kesatuan Indonesia dan Belanda dalam suatu ikatan Pax-Neerlandica. Oleh karena itu, dalam lembaga pendidikan belada tersebut, bangsa Indonesia harus dituntun untuk bisa berasosiasi dengan kebudayaan Belanda. Menurutnya, pedidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia.
Namun, kebijakan pendidikan untuk penduduk pribumi yang semula dirancang untuk membaratkan mempunyai akibat sampingan (side effect) yang tidak diduga sebelumnya. Akibat tidak langsungnya adalah munculnya sekelompok kecil elite terdidik yang mampu menyuarakan frustasi massa. Belakangan, kelompok elite yang dididik secara Barat sehingga terpengaruh dengan budaya Barat, tampil sebagai pemimpin gerakan nasionalis yang sadar diri.
Lulusan lembaga pendidikan Belanda itu, pada masa pergerakan meski tidak seluruhnya sebagai nasionalis sekuler. Sekalipun mereka sering terlibat dalam persaingan dengan golongan Islam, kedua golongan itu ternyata disatukan rasa nasionalisme yang sama. Oleh karena itu, mereka bahu-mambahu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Melalui lembaga pendidikan itu, ternyata gagasan Pax-Neerlandica tidak tercapai, bahkan justru lulusannya menjadi orang-orang yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaaan.


IV. KESIMPULAN
Kehadiran orang-orang Belanda telah mengancam institusi perpolitikan di Indonesia. Bahaya ini belum mengancam ketika motif petualangan dan ekonomi masih dijalankan secara wajar. Banyak penguasa lokal yang menyambutnya dengan ramah. Ketika keinginan memonipoli perdagangan timbul, orang-orang Belanda pun mulai mengintervensi institusi perpolitikan di Indonesia yang pada umumnya tidak stabil.
Intervensi VOC terhadap kerajaan-kerajaan Islam Indonesia semakin mengacaukan perplolitikan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam yang rapuh karena intrik-intrik politik di dalam kerajaan dan persaingan antarkerajaan Islam mempercepat runtuhnya kerajaan itu. Dengan politik “belah bambu” ini, satu demi satu kerajaan Islam hancur. Apabila kerajaan itu masih berdiri, maka hegemoni dan pengaruh VOC cukup kuat di sana. Karenanya, kerajaan itu hanya sebagai bayangan dari VOC.
Belanda meghadapi kenyataan bahwa mayoritas penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Sebelum kedatangan Snouck Hurgronje, politik pemerintahan Belanda terhadap Islam didasarkan pada perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka secara tepat mengenai agama Islam. Pada umumnya, mereka takut pada ungkapan-ungkapan apa yang disebut fanatisme Islam sehingga mereka berusaha menekan dan mencegah dengan cara menjauhkan diri dari urusan-urusan mengenai Islam.
Kedatangan Snouck Hurgronje –seorang yang sangat ahli tentang Islam- pada 1889 membuat pemerintah Hindia Belanda mempunyai kebijakan yang jelas terhadap Islam. Snouck sendiri membuat sebuah teori yang disebut dengan “Islam Politiek”. Mengenai persoalan-persoalan Islam di Indonesia tersebut, Hurgronje menjelaskan teori Islam Politeik-nya sebagai berikut. Dia membedakan ajaran Islam dalam tiga kategori, yaitu bidang agama murni atau ibadah, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik.
Dalam rangka membendung pengaruh Islam, pemerintah Belanda mendirikan lembaga pendidikan bagi bangsa Indonesia, terutama untuk kalangan Bangsawan. Mereka harus ditarik ke arah Westernisasi. Dalam pandangan Snouck Hurgronje, Indonesia harus melangkah ke arah modern sehingga secara perlahan Indonesia menjadi bagian dari dunia modern itu. Menurutnya, pedidikan Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia.

V.    PENUTUP
Demikian makalah yang dapat pemakalah buat, semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi para pembaca. Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat pemakalah harapkan guna memperbaiki makalah ini dan untuk selanjutnya.


[1]Jurnal al-Hikmah, Paratai Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba, vol.1/no.2 Mei 2009. hlm.19.
[2]George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Resolusi di Indonesia, terj. Nin Bakdi Soemanto Surakarta: UNS Press dan Sinar Harapan, 1995,hlm3.
[3]Taufik Abdullah, Sejarah Ummat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI, 1991), hlm.189.
[4]Marwati Djoned Pusponegoro, Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 47.
[5]Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzza, 2007), hlm. 85.
[6]G.F. Pijper, “Politik Islam Pemerintah Belanda”, dalam Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, ed. H. Baudet dan I. J. Brugmans, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987, hlm. 239.
[7] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche Zaken, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 12.

No comments:

Post a Comment