Dipresentasikan
dalam kuliah Fiqh Mu’amalah
Dosen Pengampu: H. Ali
Muchtar, Lc. MA
A. Definisi
dan Dasar Hukum Rahn (Gadai)
1. Definisi
Rahn (Gadai)
Gadai atau dalam bahasa Arab rahn menurut
arti bahasa berasal dari kata: rahana-rahnan yang sinonimnya:
a. tsabata,
yang artinya tetap;
b. dàma,
yang artinya kekal atau langgeng;
Menurut istilah syara’, gadai atau rahn
didefinisikan oleh Sayid Sabiq yang mengutip pendapat Hanafiyah sebagai
berikut:
بأنّه جعل عين لها
قيمة مالية في نظر الشّرع وثيقة بدين، بحيث يمكن أخذ ذلك الدّين، أو أخذ بعضه من
تلك العين
“Sesungguhnya
rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang memiliki nilai harta dalam pandangan
syara’ sebagai jaminan untuk utang, dengan ketentuan dimungkinkan untuk
mengambil semua utang, atau mengambil sebagiannya dari benda (jaminan)
tersebut.”
Syafi’iyah, sebagaimana dikutip oleh
Wahbah Zuhaili, memberikan definisi gadai (rahn) sebagai berikut:
جعل عين مال وثيقة بدين يستوفى منها
عند تعذّر وفائه
“Gadai
adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan untuk utang, dimana utang
tersebut bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan) tersebut ketika
pelunasannya mengalami kesulitan”
Hanabilah memberikan definisi rahn
sebagai berikut:
بأنّه المال الّذي يجعل وثيقة بالدّين ليستوفى من ثمنه إن
تعذّر إستيفاؤه ممّن هو عليه
“Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk
utang yang bisa dilunasi dari harganya, apabila terjadi kesulitan dalam
pengembaliannya dari orang yang berutang.”
Malikiyah memberikan definisi gadai (rahn)
sebagai berikut:
بأنّه شيئ متموّل يؤخذ من مالكه، توثّقا به، في دين لازم،
أو صار إلى اللّزوم
“Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari
pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi
tetap.”
Dari definisi-definisi
yang dikemukakan oleh ulama mazhab tersebut dapat dikemukakan bahwa di kalangan
para ulama tidak terdapat perbedaan yang mendasar dala mendefinisikan gadai (rahn).
Dari definisi yang dikemukakan tersebut
dapat diambil intisari bahwa gadai (rahn) adalah menjadikan suatu
barang sebagai jaminan atas utang, dengan ketentuan bahwa apabila terjadi
kesulitan dalam pembayarannya maka utang tersebut bisa dibayar dari hasil
penjualan barang yang dijadikan jaminan itu.[1]
2. Dasar
Hukum Rahn (Gadai)
Gadai (rahn)
hukumya dibolehkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Adapun dasar dari
Al-Qur’an terdapat dalam QS. al-Baqarah:283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Adapun dasar dari sunnah atau hadis
antara lain:
عن أنس قال : رَهَنَ رَسُوْ لُ الله
صلى الله عليه و سلم دِ رْعًا عِنْدَ يَهُوْدِى بِالْمَدِ يْنَةِ وَ اَخَذَ مِنْهُ
شَعِيْرًا لِاَهْلِهِ
Artinya:
“Dari Anas ia berkata: Rasulullah SAW menggadaikan baju perang kepada
seorang Yahudi di Madinah, dan dari orang Yahudi itu beliau mengambil sya’ir
(jagung) untuk keluarganya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu
Majah)
Hadits lain:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ
يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ (صحيح البخاري)
Artinya:
“Dari Aisyah bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
pembayaran tempo, dan beliau menggadaikan kepada Yahudi itu
satu baju perang yang terbuat dari besi.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Dan para ulama
telah sepakat bahwa gadai itu boleh. Mereka tidak pernah mempertentangkan
kebolehannya demikian pula landasan hukumnya.[2]
B. Rukun
dan Syarat Rahn (Gadai)
1. Rukun
Rahn (Gadai)
Gadai
(rahn) memiliki empat unsur, yaitu:
a. rahin
(orang yang memberikan gadai)
b. al-murtahin
(orang yang menerima gadai)
c. al-marhun
(harta yang digadaikan)
d. marhun
bih
(utang)
Menurut ulama Hanafiyah rukun rahn
adalah ijab dan qabul dari rahin dan al-murtahin, sebagaimana
pada akad yang lain. Akan tetapi, akad rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan
barang. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, rukun rahn adalah shighat,
aqid (orang yang berakad), marhun, dan marhun bih.[3]
2. Syarat
Rahn (Gadai)
a.
Syarat ‘Aqid
Syarat yang
harus dipenuhi oleh ‘aqid dalam gadai adalah al-ahliyah (kecakapan). Ahliyah
menurut Hanafiyah adalah kecakapan untuk melakukan jual beli. Artinya, setiap
orang sah melakukan jual beli, sah pula melakukan gadai. Hal ini dikarenakan rahn
adalah suatu tasharruf yang berkaitan dengan harta, seperti halnya jual
beli. Dengan demikian, untuk sahnya akad gadai, pelaku disyaratkan harus
berakal dan mumayyiz. Maka tidak sah gadai yang dilakukan oleh orang
gila atau anak yang belum memasuki masa tamyiz.[4]
Menurut ulama
Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal
dan mumayyiz, tapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian, anak
kecil yang sudah mumayyiz, dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari
walinya dibolehkan melakukan rahn. Menurut ulama selain Hanafiyah, ahliyah
dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam jual beli dan derma. Rahn
tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang
belum baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang
yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan madarat dan meyakini bahwa
pemegangnya yang dapat dipercaya.[5]
b.
Syarat Shighat
Menurut
Hanafiyah, shighat gadai tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan
tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan akad rahn
menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila akad rahn
digantungkan kepada syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang, maka
akad menjadi fasid seperti halnya jual beli. Apabila akad rahn
disertai dengan syarat yang fasid atau batil maka hukum gadainya
sah, tetapi syaratnya batal karena gadai bukan akad mu’awadhah maliyah.[6]
c.
Syarat Marhun
Para ulama
sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama dengan syarat-syarat jual beli.
Artinya, semua barang yang sah diperjualbelikan sah pula digadaikan.[7]
Barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.[8]
Secara rinci
Hanafiyah mengemukakan bahwa syarat-syarat marhun adalah sebagai
berikut:
1) Marhun
bisa dijual
2) Marhun
harus berupa mal (harta)
3) Marhun
harus mal mutaqawwim
4) Marhun
harus diketahui (jelas)
5) Marhun
dimiliki oleh rahin
6) Marhun
harus kosong (terlepas dari hak rahin)
7) Marhun
harus sekaligus bersama-sama dengan pokoknya
8) Marhun
harus terpisah dari hak milik orang lain
Syafi’iyah mengemukakan syarat-syarat marhun
sebagai berikut:
1) Marhun
harus berupa ‘ain (benda) yang sah diperjualbelikan, walaupun hanya
disifati dengan sifat salam, bukan manfaat bukan pula utang.
2) Marhun
harus dikuasai oleh rahin, baik sebagai pemilik, atau wali, atau
pemegang wasiat.
3) Marhun
bukan barang yang cepat rusak, minimal sampai batas waktu utang jatuh tempo.
4) Marhun
harus suci.
5) Marhun
harus benda yang bisa dimanfaatkan, walaupun pada masa datang.
Malikiyah mengemukakan syarat secara umum, yaitu
setiap barang yang sah diperjualbelikan, sah pula digadaikan. Hanya saja ada
pengecualian yaitu dalam barang-barang yang ada gharar (tipuan) karena
belum jelas adanya, seperti janin dalam perut induknya. Dalam kasus semacam
ini, meskipun barang tersebut tidak sah diperjualbelikan, namun sah untuk
digadaikan.[9]
d.
Syarat Marhun Bih
Menurut
Hanafiyah, marhun bih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Marhun
bih
harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya (rahin)
2) Pelunasan
utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih
3) Hak
marhun bih harus ma’lum (jelas) tidak boleh majhul (samar)
Syafi’iyah dan
Hanabilah mengemukakan tiga syarat untuk marhun bih:
1) Marhun
bih
harus berupa utang tetap dan wajib
2) Utang
harus lazim (mengikat) baik pada masa sekarang (waktu akad) maupun
mendatang
3) Utang
harus jelas atau ditentukan kadarnya dan sifatnya bagi para pihak yang melakukan
akad.
Syarat-syarat marhun
bih menurutt Malikiyah pada dasarnya sama dengan pendapat Syafi’iyah dan
Hanabilah, yaitu marhun bih harus berupa utang yang ada dalam
tanggungan, dan utang tersebut harus utang yang lazim (mengikat) atau
mendekati lazim, seperti dalam khiyar.
e. Syarat
Kesempurnaan Rahn: penerimaan Marhun
1) Status
penerimaan (qabdh)
Secara umum,
para fuqaha sepakat bahwa penerimaan (qabdh) atas marhun
merupakan syarat yang berlaku untuk akad rahn. Hal ini didasarkan kepada
firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 283
Hanya saja para
ulama berbeda pendapat tentang status qabdh ini, apakah termasuk syarat luzum
(mengikat) atau syarat tamam (kesempurnaan). Menurut jumhur ulama qabdh
bukan syarat sah melainkan syarat luzum (mengikatnya) rahn.
Menurut Malikiyah, qabdh bukan merupakan syarat sah atau syarat lazim,
melainkan hanya merupakan syarat kesempurnaan saja.
2) Cara
penerimaan
Para fuqaha
sepakat bahwa cara penerimaan (qabdh) untuk benda tetap (‘aqar)
adalah dengan penyerahan secara langsung atau dengan pengosongan (takhliyah),
yakni dengan menghilangkan hal-hal yang menghalangi penerimaan (qabdh)
atau adanya kemungkinan untuk menetapkan kekuasaan atas barang dengan
menghilangkan penghalangnya. Sedangkan untuk penerimaan (qabdh) benda
bergerak, menurut riwayat yang zhahir dari Hanafiyah, cukup dengan takhliyah.
Apabila hal itu telah dilakukan maka rahin menjadi orang yang
menyerahkan, dan murtahin sebagai penerima.
Menurut Imam Abu
Yusuf, penerimaan (qabdh) dalam benda bergerak tidak cukup dengan takhliyah,
melainkan harus dengan cara dipindahkan. Selama benda tersebut belum
dipindahkan, murtahin belum dianggap sebagai qabidh (pemegang).
Syafi’iyah dan Hanabilah sama pendapatnya dengan Abu Yusuf, yaitu bahwa yang
dimaksud dengan qabdh dalam rahn adalah sama dengan qabdh
dalam jual beli. Apabila bendanya benda tetap maka cukup dengan takhliyah.
Apabila bendanya benda bergerak maka penerimaannya (qabdh) harus dengan
memindahkannya. Apabila benda tersebut berupa benda yang ditakar atau ditimbang
maka penerimaannya dengan menakarnya atau menimbangnya.
3) Syarat-syarat
penerimaan (qabdh)
Untuk sahnya qabdh
(penerimaan) harus dipenuhi syarat:
a) Harus
ada izin rahin
b) Murtahin
harus tetap memegang (menguasai) barang gadaian
4) Orang
yang berkuasa atas marhun
Orang yang berkuasa
untuk menerima marhun adalah murtahin atau wakilnya. Orang yang
mewakili murtahin harus orang selain rahin. Apabila yang mewakili
itu rahin maka hukumnya tidak sah, karena tujuan penerimaan (qabdh)
adalah untuk menimbulkan rasa aman bagi murtahin atas utang yang ada
pada rahin. Apabila rahin merasa keberatan marhun dipegang
oleh murtahin atau murtahin sendiri tidak mau memegang dan
menyimpannya, maka marhun boleh dititipkan kepada seseorang yang dipilih
dan disepakati oleh rahin dan murtahin. Orang itu disebut ‘adl.
‘adl yang menerima marhun dan menyimpan serta menjaganya.[10]
C. Hukum
Rahn (Gadai)
Ada dua hal yang menjadi
pertimbangan hukum rahn (gadai):
1. Hukum
rahn yang shahih, artinya akad rahn yang syarat-syaratnya
terpenuhi.
Akad rahn
mengikat bagi rahin bukan bagi murtahin. Oleh karena itu, rahin
tidak berhak untuk membatalkan akad karena rahn merupakan akad jaminan
atas utang. Sebaliknya, murtahin berhak untuk membatalkan akad rahn
kapan saja ia kehendaki, karena akad tersebut untuk kepentingannya.
Menurut jumhur
ulama yang terdiri atas Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, akad rahn
baru mengikat dan menimbulkan akibat hukum apabila marhun telah
diserahkan. Sebelum marhun diterima oleh murtahin maka rahin
berhak untuk meneruskan akad atau membatalkannya.
Menurut
Malikiyah, akad rahn mengikat (lazim) dengan terjadinya ijab
dan qabul, dan sempurna dengan terlaksananya penerimaan (qabdh).
Dengan demikian, apabila ijab dan qabul telah dilaksanakan maka
akad langsung mengikat, dan rahin dipaksa untuk menyerahkan marhun
kepada murtahin.
2. Hukum
rahn yang ghair shahih, artinya akad rahn yang
syarat-syaratnya tidak terpenuhi.
Di kalangan
Hanafiyah, ghair shahih itu terbagi kepada dua bagian:
a. Akad
yang batil, yaitu akad yang terjadi kerusakan pada pokok akad.
b. Akad
yang fasid, yaitu suatu akad yang terjadi kerusakan pada sifat akad.
Sedangkan menurut selain Hanafiyah, akad ghair
shahih itu hanya satu macam, yaitu batil atau fasid. Baik batil
maupun fasid keduanya mempunyai arti yang sama, yaitu setiap akad yang
syarat-syarat akad yang shahih tidak terpenuhi.
Para ulama mazhab sepakat bahwa akad rahn
yang tidak shahih, baik fasid maupun batil tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum berkaitan dengan marhun. Dalam hal ini murtahin
tidak memiliki hak untuk menahan marhun, dan rahin berhak meminta
kembali barang yang digadaikannya dari murtahin. Apabila murtahin
menolak mengembalikannya sehingga barangnya rusak, maka murtahin
dianggap sebagai ghasib, dan ia harus mengganti kerugian dengan barang
yang sama apabila mal-nya termasuk mal mitsli, atau membayar
harganya apabila mal-nya termasuk mal qirni.
Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, hukum akad rahn
yang fasid sama dengan akad yang shahih dalam hal ada dan
tidaknya dhaman (tanggung jawab).[11]
D. Riba
dalam Rahn (Gadai)
Perjanjian pada gadai atau ar-rahn pada dasarnya
adalah akad utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Menurut
penelitian Hendi Suhendi, setidaknya ada tiga hal yang memungkinkan pada gadai
mengandung unsur riba, yaitu:
1. Apabila
dalam akad gadai tersebut ditentukan
bahwa rahin atau penggadai harus memberikan tambahan kepada murtahin atau
penerima gadai ketika membayar utangnya.
2. Apabila
akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
3. Apabila
ar-rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan,
kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan
harga al-marhun kepada ar-rahin. Padahal utang rahin lebih
kecil nilainya dari marhun.[12]
E. Berakhirnya
Rahn (Gadai)
Akad rahn berakhir karena:
1. Marhun
diserahkan kepada pemiliknya
Menurut jumhur
ulama’ selain Syafi’iyah, akad gadai berakhir karena diserahkannya marhun
kepada pemiliknya (rahin), sebab marhun merupakan jaminan utang.
Jika marhun diserahkan kepada rahin, maka jaminan dianggap tidak
berlaku sehingga karenanya akad gadai menjadi berakhir.
2. Utang
telah dilunasi seluruhnya
3. Penjualan
secara paksa
Apabila utang
telah jatuh tempo dan rahin tidak mampu membayarnya maka atas perintah
hakim, rahin bisa menjual marhun. Apabila rahin tidak mau
menjual marhun, maka hakim yang menjualnya untuk melunasi utangnya.
Dengan dilunasinya utang tersebut maka akad gadai telah berakhir.
4. Utang
telah dibebaskan oleh murtahin dengan berbagai macam cara termasuk
dengan cara hiwalah (pemindahan utang kepada pihak lain).
5. Gadai
telah dibatalkan oleh pihak murtahin, walaupun tanpa persetujuan rahin.
6. Rahin
meninggal
7. Rusaknya
marhun
8. Tindakan
(tasarruf) terhadap marhun dengan disewakan, hibah, atau
shadaqoh. Apabila rahin atau murtahin menyewakan, menghibahkan,
menyedekahkan, atau menjual marhun kepada pihak lain atas izin
masing-masing pihak.[13]
[1]Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 287-288
[2]Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Bandung: PT Alma’arif, 1987), hlm. 152
[3]Rachmat
Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 162
[11]Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalat, hlm. 304-306
[12]Abdul Rahman Ghazaly, Gufron Ihsan, Sapiudin
Shidiq, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 271
[13]Ahmad Wardi Muslich, Fiqih
Muamalah, hlm. 313-314.
No comments:
Post a Comment