Oleh:
Akrom Khasani
Siti Nur Liana
Dipresentasikan dalam kuliah Tafsir Tarbawy I
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia, telah
menerangkan sekaligus menuntun manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Baik itu
mengenai aqidah, ibadah, mu’amalah, ataupun pendidikan. Berbicara masalah
pendidikan, tentunya tidak lepas dari ilmu pengetahuan, adanya tujuan
pendidikan, subjek pendidikan, metode pengajaran, dan tentunya terdapat pula
objek pendidikan. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan
masalah-masalah pendidikan tersebut.
Namun demikian, al-Qur’an bukanlah kitab suci yang
siap pakai, dalam arti berbagai konsep yang dikemukakan al-Qur’an tersebut
tidak langsung dapat dihubungkan dengan berbagai masalah tersebut. Ajaran
al-Qur’an tampil dalam sifatnya yang global, ringkas dan general. Untuk dapat
memahami ajaran al-Qur’an tentang berbagai masalah tersebut mau tidak mau
seseorang harus melewati jalur tafsir sebagaimana telah dilakukan para ulama’.
Dalam makalah ini akan sedikit dibahas terkait dengan
objek pendidikan berdasarkan al-Qur’an yang terkandung dalam QS. At Tahrim ayat
6, QS. Asy Syu’ara ayat 214, QS. At Taubat ayat 122 dan QS. An Nisa’ ayat 170.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa definisi objek pendidikan?
B. Siapa saja yang menjadi objek pendidikan dalam Al-Qur’an?
III.
PEMBAHASAN
A. Definisi Objek Pedidikan
Objek adalah hal,
perkara atau orang yang menjadi pokok pembicaraan. Pendidikan dalam bahasa
Inggris adalah education. Kata bahasa Inggris (education) berasal dari
bahasa Latin, yaitu ducare, yang berarti “menuntun, mengarahkan, atau
memimpin”. Dengan menambahkan e, berarti “keluar”. Maka, berdasarkan
asal kata, pendidikan berarti “menuntun, mengarahkan dan memimpin keluar. Dalam
buku Tim Pengembangan Pendidikan FIP-UPI, melihat pengertian pendidikan dari
bahasa Yunani, yaitu Paedagogi, terdiri dari dua kata “paid”
artinya anak dan “agogos” yang artinya membimbing. Sehingga pedagogi
dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art
and science of teaching children)”. [1]
Menurut John Dewey
“Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental, secara intelektual
dan fundamental ke arah alam sesama manusia” Frederick J. Mc Donald berpendapat bahwa “Pendidkan adalah suatu proses
atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat”.
Tokoh pendidikan lain
yang juga sangat berpengaruh di dunia pendidikan nasional adalah Ki Hajar
Dewantara (1889 – 1959), mengatakan bahwa “Pendidikan adalah segala daya upaya
untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup yaitu hidup danmenghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan masyarakatnya”.[2]
Dari
pengertian-pengertian pendidikan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yang dilaksanakan dengan
terencana dan secara langsung untuk mendidik, mendewasakan serta meningkatkan
tingkat kehidupan anak secara utuh. Jadi pendidikan dilaksanakan dimanapun, kapanpun
dan kepada semua usia. Dalam hal ini, pendidikan dapat dikatakan sebagai life-long
process dari manusia sejak dilahirkan sampai akhir hayat.[3]
Jadi, objek pendidikan
adalah murid atau orang yang menerima dan menjalani proses pendidikan yang dilangsungkan
oleh subjek pendidikan atau pun yang dialami langsung oleh objek melalui
pengalaman sehari-hari dan relasi objek dengan subjek dan objek lain serta
relasi dengan alam (lingkungan).[4]
B. Yang Menjadi Objek Pendidikan dalam Al-Qur’an
1. Keluarga
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”(QS. Al-Tahrim (66): 6)
Dalam ayat tersebut jelaslah bahwa umat Islam diperintahkan agar sebagian
dari mereka memberitahukan kepada sebagian yang lain, apa yang dapat menjaga
dan menjauhkan mereka dari apa neraka. Al-Maraghi menjelaskan bahwa proses penjagaan
tersebut melalui nasehat dan pengajaran. Hal ini senada dengan yang terdapat
dalam surat Thaha: 132 berikut ini.[5]
“Dan perintahkanlah
kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengajarkannya.” (QS. Thaha: 132)
Kemudian ada riwayat dari Umar yang semakin
memperjelas ayat di atas. Ketika turun ayat tersebut, Umar berkata, “Wahai
Rasulullah, kita dapat menjaga diri kita sendiri, tetapi bagaimana kita menjaga
keluarga kita?” lalu Rasulullah menjawab, “Kamu larang mereka mengerjakan apa
yang dilarang Allah untukmu dan kamu perintahkan mereka, apa yang diperintahkan
Allah kepadamu. Itulah penjagaan antara diri mereka dengan neraka.
Al-Maraghi juga menjelaskan tentang riwayat dari Ali
bin Abi thalib tentang ayat tersebut. Kata Ali, “Ajarilah dirimu dan keluargamu
tentang kebaikan dan didiklah mereka.” Sedangkan keluarga di sini maksudnya
adalah isteri, anak dan hamba sahaya.[6]
Di dalam ayat ini, menurut Al-Maraghi ada isyarat
kewajiban seorang suami mempelajari fardhu-fardhu agama yang diwajibkan baginya
dan kemudian mengajarkannya kepada mereka.[7] Karenanya,
Adh-Dhahhak dan Muqatil secara terang-terangan mengatakan, sebagaimana dikutip
oleh Ibnu Katsir, bahwa wajib bagi seorang muslim untuk mengajarkan
kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah dan larangan-larangan yang dicegah
Allah, kepada keluarganya, yang meliputi kerabat dan hamba sahaya.[8]
Jadi dalam surat At-tahrim ayat 6 ini, objek
pendidikan tidak disebutkan oleh Allah s.w.t. secara global. Objek pendidikan
dalam ayat ini adalah keluarga, dan keluarga itu adalah anak, isteri dan hamba
sahaya.
2. Kerabat dekat
ö“Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.”(QS. Al-Syu’ara’ (26): 214)
Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w. untuk memberi
peringatan kepada kaum kerabatnya yang terdekat dan agar bergaul dengan orang-orang
mukmin dengan lemah lembut. Imam Bukhari dan Imam Muslim menyebutkan
riwayat dari Ibnu Abbas r.a., bahwa ketika Allah menurunkan ayat di atas, Nabi s.a.w. naik ke bukit
Shafa lalu berseru, “Wahai orang-orang, sudah pagi.” Lalu orang-orang berkumpul
kepadanya, ada yang datang sendiri dan ada yang mengutus utusannya. Kemudian
Rasulullah s.a.w. berpidato, “Wahai Bani Abdul Muththalib, wahai Bani Fihr,
wahai Bani Lu’ay, apa pendapat kalian jika aku memberitahu kalian bahwa di kaki
bukit ini ada seekor kuda yang hendak menyerang kalian, apakah kalian
mempercayai aku?” Mereka menjawab, “Ya, kami mempercayai anda.” Beliau
bersabda, “Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan azab yang sangat keras.”
Abu Lahab berkata, “Celakalah kamu untuk selama-lamanya! Apakah hanya untuk ini
kamu memanggil kami?”[9] Maka
Allah ta’ala menurunkan surat Al-Lahab, di antaranya sebagai berikut:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS. Al-Lahab: 1)
Menurut Al-Maraghi, pemberian peringatan dalam surat Asy-Syu’ara’: 214 di
atas, sifatnya adalah pemberian peringatan secara khusus, dan ini merupakan
bagian dari peringatan yang bersifat umum, yang untuk itulah Rasulullah s.a.w.
diutus. Sebagaimana firman Allah SWT. [10]
“Dan
ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi;
membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi
peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar
lingkungannya....” (QS. Al-An’am: 92)
Al-Maraghi juga menambahkan, bahwa kedekatan nasab atau keturunan tidak
memberi manfaat sama sekali seandainya jalan keimanan yang ditempuh berbeda.
Dalam kisah ayat di atas terdapat dalil pembolehan interaksi antara mukmin dan
kafir, serta memberinya petunjuk dan nasihat.[11]
3. Masyarakat (Bangsa)
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(QS. Al-Taubah (9):
122)
Ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi tugas
dengan menegaskan bahwa Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang
selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua ke
medan perang sehingga tidak tersisa lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang
lain. Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobolisasi umum maka
mengapa tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar di antara
mereka beberapa orang dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam
pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat
untuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga untuk memberi
peringatan kepada kaum mereka yang menjadi anggota pasukan yang ditugaskan
Rasul saw itu apabila nanti setelah selesainya tugas, mereka, yakni
anggota pasukan itu telah kembali kepada mereka yang memperdalam
pengetahuan itu, supaya mereka yang jauh dari Rasul saw karena tugasnya
dapat berhati-hati dan menjaga diri mereka.[12]
Tujuan utama ayat ini adalah menggambarkan bagaimana
seharusnya tugas-tugas dibagi sehingga tidak semua mengerjakan satu jenis
pekerjaan saja.[13]
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu
dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya
mempertahankan wilayah. Bahkan, pertahanan wilayah erat dengan kemampuan
informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia.[14]
Yang dimaksud dengan orang yang memperdalam
pengetahuan demikian juga yang memberi peringatan adalah mereka yang
tinggal bersama Rasul saw. Dan tidak mendapat tugas sebagai anggota pasukan,
sedang mereka yang diberi peringatan adalah anggota pasukan yang keluar
melaksanakan tugas yang dibebankan Rasul saw. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama.[15]
Menurut Al Maraghi ayat
tersebut member isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama (wujub al
tafaqqub fi al din) serta menyiapkan segala sesuatu yang di butuhkan untuk
mempelajarinya di dalam suatu negeri yang telah di dirikan serta mengajarkanya
pada menusia berdasarkan kadar yang diperkirakann dapat memberikan kemaslahatan
bagi mereka sehingga tidak membiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama
yang pada umumnya yang harus dikerahui oleh orang-orang yang beriman.
Menyiapkan diri untuk memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu agama dan
maksud tersebut adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan
kedudukan yang tinggi dihadapan Allah, dan tidak kalah derajatnya dari
orang-orang yang berjihat dengan harta dan dirinya dalam rangka meninggikan
kalimat Allah, bahkan upaya tersebut kedudukanya lebih tnggi dari mereka yang
keadaanya tidak sedang berhadapan dengan musuh.[16]
4. Seluruh Manusia
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang
Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, Maka
berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. dan jika kamu kafir, (maka
kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena Sesungguhnya apa yang di
langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Nisa
(4): 170)
Setelah Allah s.w.t. mengkritik ahlul kitab -Yahudi
dan Nashrani- dan membantah tuduhan-tuduhan mereka dalam ayat-ayat sebelumnya,
maka dalam ayat 170 ini Allah s.w.t. menasihati seluruh umat manusia dan
memerintahkan mereka agar beriman, karena argumen yang ada telah jelas. Tidak
ada alasan lagi untuk berpaling darinya. Sebagaimana diketahui, bahwa kaum Yahudi
dahulu kala senantiasa menunggu-nunggu datangnya al-masih (Isa) dan seorang
Nabi, yaitu Nabi Muhammad s.a.w. Bahkan mereka mengirimkan para pendeta dan
ahli imu mereka untuk bertanya pada Nabi Yahya a.s., apakah ia merupakan
al-masih yang disebut dalam Taurat, ataukah Nabi akhir zaman. Namun Yahya
menjawab “tidak”. Dengan turunnya ayat di atas, sesungguhnya
pertanyaan-pertanyaan kaum Yahudi telah terjawab, bahwa yang mereka nantikan
selama ini sebagaimana disebutkan dalam Taurat dan Injil, adalah Nabi Muhammad
s.a.w. yang telah hadir di hadapan mereka. Oleh karenanya, seharusnya mereka
beriman padanya, karena iman itulah yang akan menyucikan mereka dari segala
kotoran dan najis, dan keimanan itulah yang akan membawa mereka kepada
kebahagiaan abadi.[17]
Sebagaimana diketahui, memang ayat tersebut untuk kaum
Yahudi secara asbabun-nuzulnya (sebab turunnya ayat), namun yang menjadi patokan
adalah bahasa yang digunakan Allah s.w.t. yang bersifat umum, yaitu “wahai
sekalian manusia”.
Menurut Quraish Shihab, kehadiran Rasul s.a.w. yang
dinyatakan dengan kata-kata, “datang kepada kamu” dan juga pernyataan bahwa
yang beliau bawa adalah tuntunan dari “Tuhan (Pembimbing dan Pemelihara)
kamu”, itu dimaksudkan sebagai rangsangan kepada mitra bicara (kamu) agar
menerima siapa yang datang dan menerima apa yang dibawanya. Karenanya, wajib
bagi yang didatangi untuk menyambutnya dengan gembira.[18]
Dengan demikian, sesungguhnya ayat ini berkaitan
dengan objek pendidikan secara global, yaitu seluruh umat manusia, tanpa
terkecuali. Artinya menjadi kewajiban setiap muslim untuk memiliki misi
mendidik seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allah dalam
surat Ali Imran: 110, bahwasanya umat Islam adalah khaira ummah atau
umat yang terbaik.
IV. ANALISIS KETARBIYAHAN
Ayat-ayat tarbawi di atas
menjelaskan kepada kita tentang objek pendidikan, siapa saja yang disebut objek
pendidikan dan cara melayaninya. Objek tersebut yaitu keluarga, kerabat dekat,
dan masyarakat. Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo dalam buku Pengantar
Pendidikan, menyatakan sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan
bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi
kemanusiaannya. Sementara itu, manusia selama hidupnya selalu akan mendapat
pengaruh dari keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Ketiga lingkungan itu
sering disebut sebagai tripusat pendidikan, yang akan memengaruhi manusia
secara bervariasi.
Keluarga merupakan pengelompokkan primer yang terdiri
dari sejumlah kecil orang karena hubungan semenda dan sedarah, karenanya
keluarga menjadi pokok terpenting dalam masalah pendidikan, sebab tumbuh
kembang anak dipengaruhi oleh keseluruhan situasi dan kondisi keluarganya.
Menurut Ki Hajar Dewantoro, suasana kehidupan keluarga merupakan tempat yang
sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan orang-seorang (pendidikan individual)
maupun pendidikan sosial. Keluarga itu tempat pendidikan yang sempurna sifat
dan wujudnya untuk melangsungkan pendidikan ke arah pembentukan pribadi yang
utuh, tidak saja bagi kanak-kanak tapi juga bagi para remaja. Peran orang tua
dalam keluarga sebagai penuntun, pangajar, dan pemberi contoh.
Oleh karena
itu, dalam QS. At Tahrim ayat 6, Allah s.w.t memerintahkan kepada orang-orang
yang beriman agar menjaga diri dan keluarga mereka dari api neraka, proses
penjagaan tersebut melalui nasihat dan pengajaran. Menurut Al-Maraghi, dalam
ayat ini ada isyarat kewajiban seorang suami mempelajari fardhu-fardhu agama
yang diwajibkan baginya dan kemudian mengajarkannya kepada mereka (keluarga).
Kemudian, setelah melakukan pendidikan terhadap keluarga, diperintahkan pula
agar memberi pendidikan berupa peringatan terhadap kerabat terdekat (QS. Asy
Syu’ara: 214) dan masyarakat atau semua manusia (QS. An Nisa ayat 170).
V. KESIMPULAN
Objek pendidikan adalah murid atau orang yang menerima
dan menjalani proses pendidikan yang dilangsungkan oleh subjek pendidikan atau
pun yang dialami langsung oleh objek melalui pengalaman sehari-hari dan relasi
objek dengan subjek dan objek lain serta relasi dengan alam (lingkungan).
Dari empat rangkaian ayat yang disebutkan di atas,
dapat disimpulkan bahwasanya ketika Allah s.w.t. berbicara tentang objek
pendidikan, maka objek pendidikan itu sesungguhnya meliputi seluruh umat
manusia. Kemudian Allah s.w.t. menguraikan satu per satu objek pendidikan yang
harus dilakukan, khususnya oleh umat Islam yang mentaati-Nya. Pada urutan
pertama, mereka adalah keluarga kita sendiri, yakni isteri, anak dan hamba
sahaya, walaupun untuk saat ini sudah tidak ada lagi hamba sahaya. Kemudian
urutan kedua adalah kaum kerabat atau famili kita, yang meliputi orang-orang
yang secara hubungan darah masih dekat dengan kita, selain isteri dan anak. Dan
urutan terakhir dari objek pendidikan adalah bangsa kita, yang membersamai kita
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika mereka semua mampu
kita didik sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah s.w.t., maka Allah s.w.t.
akan memanjangkan usia kita dan memberikan banyak keberkahan buat kita.
VI.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat
pemakalah buat, sebagai manusia biasa pemakalah menyadari dalam pembuatan
makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan untuk itu kritik dan
saran yang bersifat konstruktif sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan
makalah ini dan berikutnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
[1] Tim Pengembangan Ilmu
Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan 1, (Bandung: PT
Imperial Bhakti Utama (IMTAM), 2007).
[2] Mohmmad Ali, Pendidikan
untuk Pembangunan Nasional, (Bandung, Imperial Bhakti Utama (IMTAM), t.th),
hal. 130.
[4] Umar Tirtarahardja dan
S.L. La Sulo, Pengantar Pnedidikan,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008),
cet. Ke-2, hlm. 33-35.
[5] Ahmad Mushthafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Kairo: Syirkah Maktabah wa
Mathba’ah Mushthafa Al-Baby Al-Halaby wa Auladuhu bi Mishra, 1966), juz 29,
hlm. 162.
[8] Imam Ibnu Katsir
Al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’aani al-‘Adziimi (Beirut: Dar
al-Fikr, 1992), vol. 4, hlm. 470.
[9] Ahmad Mushthafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Kairo: Syirkah Maktabah wa
Mathba’ah Mushthafa Al-Baby Al-Halaby wa Auladuhu bi Mishra, 1966), juz 19,
hlm. 109.
[14] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir, (Bandung: Gema Insani Press, 1999), hlm. 64.
[17] Ahmad Mushthafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Kairo: Syirkah Maktabah wa
Mathba’ah Mushthafa Al-Baby Al-Halaby wa Auladuhu bi Mishra, 1966), juz 6, hlm.
26-27.
No comments:
Post a Comment