Ada satu bagian
menarik yang membuat saya terpikat saat pertama jumpa dengan novel karangan J.
Angin ini, sebut saja Premortem. Sebuah
karya fiksi yang katanya mengajak pembaca berpikir dan membongkar sendiri semua
petunjuk tersembunyi.
Novel ini terbit
pada tahun 2012, sekitar lima tahun yang lalu. Dan saya baru membelinya di
tahun 2017. Duh, kurang update banget ya saya ini. Faktanya, memang saya bukan
penikmat novel tulen, sebutan penikmat novel kere mungkin lebih tepat dibanding
tulen.
Awalnya sekedar
iseng pergi ke Gramedia Pandanaran. Kebetulan hari itu sedang ada pameran buku
murah, akhirnya saya cari-cari novel seharga Rp. 10.000-an. Itung-itung buat
bahan bacaan kala senggang. Setelah celingukan dan bongkar-bongkar tumpukan
buku, ketemulah Premortem dengan
cover yang simpel.
Sekilas hanya
baca bagian awal saja, setelah itu
saya putuskan untuk bawa pulang. Bagi kamu yang sudah membacanya tentu paham
apa yang saya maksud. Sekali lagi bagian awal, bagian yang menceritakan seorang
karyawan, yang diberhentitugaskan hanya soal senyum. Padahal prestasi baik dan tugas
selalu beres. Hanya saja selalu menyendiri, tidak bersosialisasi, tegur sapa
seadanya, tanpa senyum.
Rupanya pimpinan
peduli dengan itu. Katanya orang seperti itu menjatuhkan semangat. Jika
semangat jatuh, perusahaan merugi. Karena itu masalah senyum ini penting bagi
perusahaan. Dan bagian inilah yang membuat saya terpikat. Karena saya sendiri
seorang karyawan, kerja ikut orang.
Dia
pikir rekan-rekannya bahagia berada di sini pagi hingga petang dengan
penghasilan secukupnya? Tidak cukup buat
obat. Tidak cukup buat masa depan anak-anaknya. Tidak cukup buat hidup
sejahtera.
Dia
pikir Atasannya bahagia?
Di
sini Atasannya tersenyum karena harus tersenyum, pada bawahan, pada rekan, pada
pimpinan. Pada semua orang. Pernah lihat Atasan tersenyum tulus? Tidak perhatikan
senyumnya yang sinis dan kecut?
Dia
pikir Pak Pimpinan bahagia?
Di
sini Pak Pimpinan tersenyum karena pimpinan harus tersenyum, pada semua
bawahan, semua relasi, semua aparat, semua pejabat. Pada semua orang.
Karena
itu, sekarang kukembangkan seulas senyum di wajahku.
Tidak
ada bahagia. Tetapi senyumku kini terentang dari telinga ke telinga. Aku tak
tahu senyum apa ini. Aku tak bisa melihat wajahku sendiri.
Kesan awal
memang berdampak pada kelanjutannya. Saya masih penasaran dengan karyawan yang
berwajah murung itu. Bahkan sampai tamat masih remang-remang siapa tokoh itu. Mungkin
saja saya kurang teliti.
Kembali ke
masalah senyum tadi. Agaknya saya sependapat dengan pemikiran Pak Pimpinan. Orang
yang murung bisa menjatuhkan semangat. Bukan hanya semangat orang itu sendiri. Tapi
bisa menular ke orang-orang di sekitar. Sementar itu, dalam dunia kerja harus
selalu ada iklim semangat tinggi, kerja keras, dan optimis.
Seberat apapun
pekerjaan jika dilakukan dengan hati yang senang tentu akan terasa ringan. Benar
bukan? Dan, asal kamu tahu. Senyuman itu bisa menular. Coba saja kamu
perhatikan, jika ada orang yang senyum ke kamu – entah itu disengaja atau pun
tidak – pasti kamu juga akan membalas senyumannya. Pada saat itulah, bisa dibilang
kamu “tertular” senyuman dari orang yang melempar senyumannya ke kamu. Tanpa kamu
sadari, mulai dari senyuman yang kamu lakukan itu, dari sana kebahagiaan kamu
mulai terbentuk.
Akhir kata,
sebagai penutup tulisan ini, saya hanya berpesan jangan sungkan-sungkan
tersenyum ya. Banyakin senyum. Jangan takut disangka orang gila. Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment