Tuesday, October 10, 2017

Seutas Senyum: antara Fiksi dan Nyata

Ada satu bagian menarik yang membuat saya terpikat saat pertama jumpa dengan novel karangan J. Angin ini, sebut saja Premortem. Sebuah karya fiksi yang katanya mengajak pembaca berpikir dan membongkar sendiri semua petunjuk tersembunyi.


Novel ini terbit pada tahun 2012, sekitar lima tahun yang lalu. Dan saya baru membelinya di tahun 2017. Duh, kurang update banget ya saya ini. Faktanya, memang saya bukan penikmat novel tulen, sebutan penikmat novel kere mungkin lebih tepat dibanding tulen.

Baca Juga: Ciptakan Hikmah!


Awalnya sekedar iseng pergi ke Gramedia Pandanaran. Kebetulan hari itu sedang ada pameran buku murah, akhirnya saya cari-cari novel seharga Rp. 10.000-an. Itung-itung buat bahan bacaan kala senggang. Setelah celingukan dan bongkar-bongkar tumpukan buku, ketemulah Premortem dengan cover yang simpel.

Sekilas hanya baca bagian awal saja, setelah itu saya putuskan untuk bawa pulang. Bagi kamu yang sudah membacanya tentu paham apa yang saya maksud. Sekali lagi bagian awal, bagian yang menceritakan seorang karyawan, yang diberhentitugaskan hanya soal senyum. Padahal prestasi baik dan tugas selalu beres. Hanya saja selalu menyendiri, tidak bersosialisasi, tegur sapa seadanya, tanpa senyum.

Rupanya pimpinan peduli dengan itu. Katanya orang seperti itu menjatuhkan semangat. Jika semangat jatuh, perusahaan merugi. Karena itu masalah senyum ini penting bagi perusahaan. Dan bagian inilah yang membuat saya terpikat. Karena saya sendiri seorang karyawan, kerja ikut orang.

Dia pikir rekan-rekannya bahagia berada di sini pagi hingga petang dengan penghasilan secukupnya?  Tidak cukup buat obat. Tidak cukup buat masa depan anak-anaknya. Tidak cukup buat hidup sejahtera.
Dia pikir Atasannya bahagia?
Di sini Atasannya tersenyum karena harus tersenyum, pada bawahan, pada rekan, pada pimpinan. Pada semua orang. Pernah lihat Atasan tersenyum tulus? Tidak perhatikan senyumnya yang sinis dan kecut?

Dia pikir Pak Pimpinan bahagia?
Di sini Pak Pimpinan tersenyum karena pimpinan harus tersenyum, pada semua bawahan, semua relasi, semua aparat, semua pejabat. Pada semua orang.

Karena itu, sekarang kukembangkan seulas senyum di wajahku.
Tidak ada bahagia. Tetapi senyumku kini terentang dari telinga ke telinga. Aku tak tahu senyum apa ini. Aku tak bisa melihat wajahku sendiri.


Kesan awal memang berdampak pada kelanjutannya. Saya masih penasaran dengan karyawan yang berwajah murung itu. Bahkan sampai tamat masih remang-remang siapa tokoh itu. Mungkin saja saya kurang teliti.

Kembali ke masalah senyum tadi. Agaknya saya sependapat dengan pemikiran Pak Pimpinan. Orang yang murung bisa menjatuhkan semangat. Bukan hanya semangat orang itu sendiri. Tapi bisa menular ke orang-orang di sekitar. Sementar itu, dalam dunia kerja harus selalu ada iklim semangat tinggi, kerja keras, dan optimis.

Seberat apapun pekerjaan jika dilakukan dengan hati yang senang tentu akan terasa ringan. Benar bukan? Dan, asal kamu tahu. Senyuman itu bisa menular. Coba saja kamu perhatikan, jika ada orang yang senyum ke kamu – entah itu disengaja atau pun tidak – pasti kamu juga akan membalas senyumannya. Pada saat itulah, bisa dibilang kamu “tertular” senyuman dari orang yang melempar senyumannya ke kamu. Tanpa kamu sadari, mulai dari senyuman yang kamu lakukan itu, dari sana kebahagiaan kamu mulai terbentuk.

Akhir kata, sebagai penutup tulisan ini, saya hanya berpesan jangan sungkan-sungkan tersenyum ya. Banyakin senyum. Jangan takut disangka orang gila. Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment